Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ratusan siswi di Ponorogo, Jawa Timur mengajukan dispensasi nikah karena hamil di luar nikah. Mereka mengajukan dispensasi nikah karena tergolong usia di bawah umur. Ramainya kasus tersebut menarik perhatian banyak orang mulai dari warganet hingga akademisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu akademisi adalah Sri Lestari, Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Surabaya mengatakan memberikan dispensasi pernikahan pada masalah ini menjadi keputusan yang kurang bijak. Hal itu, kata dia, karena berpotensi kembali meningkatkan kasus pernikahan anak. Padahal Undang-undang sudah mengatur terkait batasan minimal usia menikah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Beragam pertimbangan menjadi alasan mengapa pernikahan anak sebaiknya dilarang. Salah satu faktor adalah pertimbangan fisik dan psikologis yang belum siap untuk hamil, melahirkan, dan merawat anak,”ujar Sri dilansir dari laman UM Surabaya pada Senin, 16 Januari 2023.
Ia mengatakan, pernikahan anak ibarat lingkaran setan yang efeknya adalah jangka panjang mulai dari berpotensi memperbanyak kasus stunting, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kemiskinan.
Sri mengatakan hal yang lebih bijaksana terkait solusi kasus ini adalah mempertimbangkan jangka panjang. Menurut dia, seseorang tidak bisa menyalahkan begitu saja tentang efek pergaulan ataupun media sosial tanpa merunut dan menyelesaikan akar permasalahannya.
Banyak yang menyarankan untuk membentengi anak dengan pendidikan agama yang baik menjadi salah satu solusi. Namun, kata Sri, hal itu tak serta merta kasus tersebut jadi hilang. “Namun, kita perlu memikirkan kembali apakah itu benar-benar solusi yang efektif. Padahal, belakangan ini banyak bermunculan kasus-kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum agamawan,” imbuhnya.
Sri mengatakan yang perlu dilakukan untuk menekan kasus tersebut yakni mengajarkan anak tentang penghormatan atas diri sendiri dan orang lain.
“Kita perlu mengajarkan bagaimana menghargai diri sendiri dan tidak melanggar hak orang lain. Berikan pengertian bahwa mereka memiliki hak atas tubuhnya sebagai mana orang lain memiliki hak yang sama juga. Anak memiliki hak untuk menolak disentuh demikian pula dengan orang lain,”ujar Tari.
Kedua, menerapkan pendidikan seksual dari keluarga hingga sekolah. Pendidikan seksual tidak boleh lagi dianggap tabu dalam masyarakat. Seringkali, Sri mengatakan , banyak yang berpikir bahwa mengajarkan pendidikan seksual berarti mengajarkan anak berhubungan seksual. Padahal seharusnya ada kurikulum tertentu terkait pendidikan seksual sesuai jenjang pendidikan anak.
“Jangan hanya pendidikan tentang mengenalkan alat reproduksi saja, namun termasuk juga risiko kehamilan yang tidak direncanakan, kontrasepsi, penyakit kelamin sehingga anak tahu bahwa ada konsekuensi di balik keputusan untuk siap berhubungan seksual,” katanya.
Ketiga, Sri mengatakan perlu ditanamkan pemahaman bahwa pernikahan perlu kesiapan. "Masih banyak yang mempersoalkan berapa sebaiknya usia pernikahan dilakukan. Masih ada tren di masyarakat yang menstereotype keputusan menikah di usia matang sebagai perawan atau perjaka tua," ujarnya.
Terakhir, ujar Sri, libatkan tokoh masyarakat dalam memberantas pernikahan anak. Menurut dia, kultur budaya Indonesia masih mengagungkan tokoh masyarakat sebagai sentral keputusan. Terutama di kultur desa yang sangat kental dengan kultur pesantren atau agamanya.
“Tentu saja yang pertama tokohnya dulu yang perlu di edukasi, sebab masih banyak tokoh yang masih menganggap pernikahan anak sah-sah saja dengan diperkuat dengan dalil agama. Tentu mengubah paradigma ini menjadi hal yang cukup kompleks namun tetap perlu diusahakan,” katanya.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.