Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Robbin yang loyo di lumpur

Mesin bor perkasa untuk terowongan bawah laut selat Inggris dan mina itu tak berkutik menghadapi lumpur di singkarak. lumpur harus dikeraskan dengan injeksi semen agar bisa dibor.

1 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAI perkakas konstruksi, mesin bor Robbin dikenal punya keperkasaan yang bisa diandalkan. Ia berhasil menembus batuan keras bawah laut di Selat Inggris, untuk jalan kereta Paris- London. Robbin juga berhasil menjebol batuan cadas di Mina, Arab Saudi, untuk memberi jalan tembus bagi para jemaah haji yang ingin melempar jumrah. Tapi siapa sangka, keperkasaan Robbin tiba-tiba loyo di perut Gunung Merapi di daerah Pariaman, Sumatera Barat? Mesin canggih buatan Prancis itu nama lengkapnya Robbin Tunnel Boring Machine (TBM). Sosoknya mirip lokomotif kereta api, panjang 25 meter, berat 290 ton. Ia bergerak di atas sepasang rel. Di ujung depannya ada piringan kepala bor yang bergaris tengah 5,9 meter. Di situ ada hampir 40 mata bajak, yang bentuknya mirip gurinda dan terbuat dari baja superkeras. Bila piringan berputar, mata bajak itu mengiris benda macam apa pun di depannya. Robbin didatangkan untuk menggarap terowongan air sejauh 18,5 km, paling panjang di Indonesia. Kelak terowongan ini bakal mengalirkan air 47 m3 per detik dari Danau Singkarak, pada ketinggian 400 meter dari permukaan laut, ke instalasi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) berkapasitas 175 megawatt di Desa Asam Pulau, Lubuk Alung, 30 km dari Padang. Mesin bor dari Prancis itu, pada hari-hari pertama pengoperasiannya di Singkarak September 1992, sepertinya menjanjikan kerja cepat. Robbin begitu tangkas menembus perut Merapi. Kalau di Selat Inggris dan Mina ia mencatat laju galian rata-rata 13 meter per hari, di Singkarak dia sanggup 17 meter. Bahkan pernah 42 meter sehari. Namun, selama 1 tahun ia hanya menggali 2.150 meter, maklum sering diistirahatkan untuk mereparasi dan persiapan teknis. Sejak awal memang telah diperhitungkan Robbin akan menghadapi situasi yang berbeda dibanding kondisi batu cadas Mina atau batuan di dasar Selat Inggris. Ia harus kerja keras melewati patahan-patahan lapisan bumi yang memang banyak terdapat di sepanjang Bukit Barisan termasuk Gunung Merapi. Kondisi geologis khas di Bukit Barisan, yang disebut Semangka itu, selama ini dituding sebagai biang segala tanah longsor dan gempa bumi. Untuk menembus alur 8 km tersulit yang menjadi tugas pokoknya, Robbin harus mampu melalui 20 patahan. Dan selama setahun pertama di perut Bukit Barisan, kekhawatiran akan problem patahan itu bisa ditepiskan. Dua patahan bumi itu dapat mulus ditembusnya. Maka, tebal optimisme di kalangan pelaksana proyek PLN, yang menelan biaya sekitar Rp 900 miliar itu, bahwa pekerjaan akan selesai sesuai dengan jadwal. Tapi situasinya mendadak menjadi lain ketika mesin harus berhadapan dengan patahan September lalu. Pada pertemuan dua lempeng batuan itu terdapat selapis tanah yang sangat lunak, sudah gembur berair pula. Maka, ketika pisau bajak si Robbin beraksi, lapisan tanah itu pun runtuh. Tiba-tiba saja timbul banjir lumpur yang mengge- nangi terowongan itu sampai 1 meter. Di hadapan Robbin kemudian muncul semacam sungai lumpur selebar 7 meter yang panjangnya 800 meter. Robbin tak berani melangkah maju untuk melanjutkan tugasnya. Salah-salah, mesin bor sewaan dari Prancis ini bisa terperosok, tidak bisa pulang ke negerinya. Maka, sudah lebih dari tiga bulan Robbin menganggur. Para pelaksana proyek sempat grogi menyaksikan kejadian itu. Tapi Pradono Tjiptohandojo, Kepala Staf Teknik Proyek Induk Pembangkit dan Jaringan PLN Sumatera Barat, mengatakan bahwa "musibah" itu bukan berpangkal dari kesalahan perencanaan. "Kasus ini biasa dalam pembuatan terowongan," ujar anggota asosiasi terowongan internasional itu. Untuk mengatasi problem itu, kini telah dibuat lorong pembantu, yang digali secara manual di sisi terowongan utama. Panjangnya 50 meter. Satu tim geolog dari Italia pun didatangkan. Atas saran geolog Italia itu, dibuat langkah penanggulangan. Celah sungai lumpur itu dipadatkan dengan injeksi semen. Sebagian celah itu kini telah keras, untuk lalu lalang para pekerja proyek. Giliran berikutnya adalah memadatkan celah lumpur di depan moncong Robbin. Di situ mereka akan menggali lubang dengan tangan sampai beberapa puluh meter. Lalu di situ dibuat tumpuan yang kuat untuk Robbin. Kemudian dengan sebuah "jembatan darurat" Robbin diseberangkan untuk melanjutkan tugasnya. Pekerjaan untuk menyeberangkan Robbin melewati celah lumpur itu memakan waktu enam bulan. Kalau sisa 17 patahan yang lain menimbulkan problem seperti itu, menurut perkiraan, penggalian terowongan bisa-bisa tertunda bertahun-tahun. Tapi Pradono Tjiptohandojo yakin bahwa untuk tahap berikutnya, para perencana PLTA Singkarak itu tidak akan kebingungan lagi. "Kami mendapatkan pelajaran berharga dari kemacetan yang satu ini. Untuk selanjutnya kami lebih siap," katanya. Lokasi patahan memang telah dipetakan. Kehadiran Robbin di Singkarak dijadwalkan sampai Januari 1995. Tugas mesin berkekuatan 1.200 tenaga kuda dengan kebutuhan catu listrik 1,2 juta watt itu adalah menggali 8 km tersulit dari 18,5 km terowongan PLTA Singkarak itu. Listrik Danau Singkarak itu, menurut rencana, akan "byar" pada 1997. "Kami yakin, target kami tak meleset," kata Pradono, yakin.Putut Trihusodo (Jakarta) dan Fachrul Rasyid (Padang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum