SEMUA mahasiswa IAIN Walisongo Cabang Solo menggelar demonstrasi. Mereka berhimpun di halaman kampus, Jalan Slamet Riyadi. Ada yang membaca puisi berganti-ganti dan ada pula yang berteriak-teriak. Sebuah spanduk besar digelar: "Selamatkan kami yang menderita ini." Tampaknya, aksi unjuk rasa 160 mahasiswa Selasa pekan lalu itu sengaja digelar untuk "menyambut" Zamakhsari Dhofir, Direktur Perguruan Agama Islam Departemen Agama, yang tengah melakukan perundingan dengan Rektor Achmad Ludjito, untuk menyelesaikan kemelut yang melanda IAIN Solo sejak beberapa waktu lalu. Dan benar, mereka pun surut setelah Ludjito keluar ruang pertemuan dan mengajak mereka membaca Ummul Quran, "Agar suasana tenang, marilah kita membaca Surat Al-Faatihah...." Setelah suasana terkendali, Ludjito menyampaikan hasil perundingannya dengan Departemen Agama yang diwakili Dhofir sendiri. Ada enam butir yang diputuskan kedua pihak (antara pemerintah pusat dan IAIN). Antara lain, tuntutan mahasiswa, seperti pembangunan kampus di atas tanah lima hektare akan dimulai tahun depan. Pihak perguruan tinggi juga akan segera mendatangkan enam dosen tetap lulusan luar negeri, misalnya dari Al Azhar Mesir, Kanada, dan Australia. Dalam pertemuan dengan Dhofir, menurut Ludjito, juga telah disetujui pengangkatan dekan baru yakni Dr. Usman Abu Bakar untuk Fakultas Syariah dan Drs. Mujahid untuk Fakultas Ushuluddin. "Semuanya sudah disetujui oleh Menteri Agama sendiri," katanya. Dan benar, Surat Al-Faatihah dan pengumuman Ludjito itu mampu menghentikan rangkaian demonstrasi dan aksi mogok kuliah yang dilancarkan mahasiswa IAIN Cabang Solo itu sejak 15 Desember lalu. Demonstrasi bubar, dan mereka mulai kuliah lagi. Namun, masih ada pula yang ragu. Didin, misalnya, seorang mahasiswa Fakultas Ushuluddin, bilang bahwa janji-janji semacam itu sudah acap dilontarkan sejak dua tahun lalu. "Kalau janji itu masih dalam proses, ya sama saja. Kami tetap menderita," katanya. Mungkin, unjuk rasa selama sepekan mahasiswa IAIN yang merasa ditelantarkan itu agaknya yang mempercepat perundingan Departemen Agama dan IAIN. Rektor IAIN Walisongo di Semarang Ludjito dan Direktur Perguruan Agama Islam Zamakhsari Dhofir, secara khusus, datang ke Solo untuk meredamnya. "Ya, kami kan sebenarnya juga ingin cepat mewujudkan cita-cita agar segera terwujud IAIN andal di sini," kata Dhofir pada TEMPO. "Maka, kondisinya juga perlu dilihat." Bagaimana mereka ditelantarkan? Menurut para mahasiswa, perkuliahan di IAIN itu tak lancar sejak berdiri dua tahun lalu. Untuk dua fakultas dengan 160 mahasiswa, hanya ada enam dosen tetap dan 30 orang tak tetap. Itu pun dipinjam dari IAIN Walisongo "induk" di Semarang atau Cabang Pekalongan dan Kudus. Perpustakaan yang ada pun tak komplet. Apalagi janji akan didatangkannya dosen dari mancanegara. Gagasan mendirikan IAIN Walisongo Cabang Solo itu datang dari Munawir Sjadzali, Menteri Agama, dua tahun lalu. Lewat IAIN itu, Munawir mencita-citakan kebangkitan kembali sekolah Mamba'ul 'Ulum sebuah sekolah agama terkenal yang mampu menghasilkan ulama cendekia dan terkenal di masa lalu di Solo. Bahkan, ketika itu Munawir juga berniat menjadikannya sebagai IAIN percontohan. Salah satu cara menghidupkan IAIN Solo itu, menurut Kiai Ali Darokah, Ketua MUI Solo, yang sempat diajak membicarakan hal itu oleh Menteri Munawir ketika itu, adalah dengan mengalihkan IAIN yang sepi. Maka, keluarlah Surat Keputusan Menteri Agama tanggal 15 Juli 1992 yang menginstruksikan kampus IAIN Walisongo Cabang Pekalongan dan Kudus diboyong ke Solo (TEMPO 12 Juni 1993). IAIN Solo pun dibuka. Untuk sementara, dekan Fakultas Syariah dirangkap oleh dekan Syariah di Pekalongan dan dekan Fakultas Ushuluddin dirangkap dekan Ushuluddin di Kudus. Dalam dua tahun terakhir ini, IAIN Solo mengundang murid-murid cemerlang dari Madrasah Aliah Negeri (MAN) Plus sekolah setingkat dengan SLTA yang porsi pendidikannya 70% agama Islam dan 30% pelajaran umum. Bibit unggul inilah yang diharapkan akan digembleng di IAIN itu agar dapat melanjutkan program studi master atau doktor di mancanegara. Sayang, Munawir, yang empunya ide, kini tak lagi menjadi menteri agama. Gedung kuliah, misalnya, masih menumpang di Madrasah Aliah Negeri II Solo bekas gedung Pengadilan Tinggi Agama. Ini pula antara lain yang memicu para mahasiswa melancarkan aksi itu. Sebab, mereka khawatir ditelantarkan setelah Munawir diganti. "Tak ada janji yang terealisasi," kata Hafid, mahasiswa yang ikut demonstrasi. Aksi itu ditempuh, katanya, karena pendekatan baik ke IAIN maupun Departemen Agama selama ini tak membuahkan hasil. Walau menteri diganti, menurut Rektor Achmad Ludjito, Pemerintah tetap akan menjadikan IAIN Solo sebagai percontohan. Hanya saja, pelaksanaannya memerlukan waktu dan bertahap. "Dana yang diperlukan tidak sedikit," katanya. Proyek pembangunan dan pengadaan fasilitas perkuliahan di IAIN Cabang Solo itu diperkirakan makan biaya Rp 5 miliar. "Mahasiswa saja yang kurang sabar," kata Lugito.AB (Jakarta), Rustam F. Mandayun, Kastoyo Ramelan, Bandelan Amaruddin (Jawa Tengah)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini