Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG lelaki nun di desa terpencil di Kabupaten Bone Bola-ngo, Gorontalo, menaruh harap-an pada dua buah tenda. Itu hanya tenda plastik, bukan tenda mewah seperti yang dipakai para pendaki gunung. Dengan bekal tenda murahan itu ia setengah berlari menapaki Gunung Malahu. Lelaki itu berebut mencari kapling tenda, bersaing dengan ratusan tetangganya yang menyerbu ke gunung itu.
Aswin Ahmad, lelaki itu, seperti halnya penduduk Desa Huangobotu lainnya, berlari dengan bayangan ketakutan di kepalanya. Ia juga memboyong anak dan istrinya. ”Kami mendengar informasi tsunami bakal datang hingga 28 Juli,” ujarnya.
Tsunami, sebuah kata yang ampuh untuk memobilisasi—juga menakuti—penduduk saat ini. Hanya dalam tempo singkat, Gunung Malahu berubah jadi bak bumi perkemahan pramuka. Puluh-an tenda plastik warna-warni berjejal-an di lereng-lereng sempit.
Dua hari sebelum Aswin mengungsi, daerah itu memang digedor gempa berkekuatan 6,6 skala Richter. Pusat gempanya ada di laut Teluk Tomini, sekitar 150 kilometer dari Luwuk Banggai atau sekitar 90 kilometer dari Gorontalo—ini dua daerah yang rawan gempa dan tsunami. Karena itu, banyak warga di sepanjang pesisir teluk itu mengungsi ke dataran tinggi.
Gempa beberapa detik itu juga membikin gonjang-ganjing Sulawesi Tengah. Ribuan warga yang tinggal di pesisir Teluk Palu berlarian menuju daerah pegunungan. Termasuk Rustam, warga Kelurahan Benawa, Kabupaten Donggala. Dia membawa istri dan tiga anaknya mengungsi ke lereng Gunung Donggala. ”Saya menerima pesan singkat lewat ponsel soal ancaman tsunami,” katanya.
Siapa yang tak takut tsunami? Pe-sisir selatan Pulau Jawa baru saja dihantam gelombang maut itu. Padahal, ba-nyak war-ga di sana tak hanya merasakan gem-pa kecil. Pertengahan Maret 2006, Pulau Buru, Maluku, yang cuma ”berjarak” beberapa jam dari Gorontalo, di-sapu tsunami setelah gempa berkekuatan 6,7 skala Richter datang. Sebanyak 241 rumah hancur, tiga orang meninggal.
Ancaman seperti itulah yang terus berputar di kepala Aswin, Rustam, dan orang-orang di pesisir Sulawesi. Apalagi, sejarah mencatat tsunami pernah terjadi di wilayah ini. Dari catatan Badan Meteorologi dan Geofisika, Gorontalo pernah ditampar gelombang laut pada 1939 ketika gempa berkekuatan 8,56 skala Richter mengguncang provinsi ini. Bencana serupa pernah terjadi di Kota Luwuk, Sulawesi Tengah, beberapa tahun lalu.
Sulawesi atau Celebes dan Kepulauan Maluku memang unik. Pulau ini terbentuk karena pergerakan tiga lempeng bumi. Sekitar 30 juta tahun silam, Sulawesi masih tercerai-berai—sebagian menempel di Kalimantan dan Jawa. Baru setelah 1 juta tahun lalu, pulau ini terbentuk. Saat itu Papua masih me-nempel di Australia (lihat infografik). Karena pergerakan lempeng bumi itu, para ahli menemukan wilayah itu kini berada di titik pertemuan tiga lempeng benua, yakni lempeng Eurasia di bagian barat, lempeng India-Australia di selatan, dan lempeng Filipina di utara.
Dari penelitian geodinamika, menurut Dina Angraeni Sarsito, geolog Institut Teknologi Bandung, diketahui daerah di sekitar tumbukan tiga lempeng itu remuk. Tak ayal lagi, pulau-pulau di atasnya, seperti Sulawesi, Maluku, dan Halmahera, ikut menjadi carut-marut oleh sesar atau patahan kulit bumi. Wilayah itu, kata Dina, terfragmentasi seperti remah-remah, dan tiap blok kecil itu bergerak saling melepaskan diri akibat jepitan dan hunjaman tiga lempeng yang mengelilinginya.
Keadaan ini menjelaskan mengapa daerah timur Indonesia menjadi tempat paling rawan bencana gempa bumi sekaligus tsunami. ”Daerah ini super-berantakan,” kata Dina, yang menjadi peneliti geodinamika dari Jurusan Geodesi, Institut Teknologi Bandung.
Cecep Subarya, Kepala Bidang Geodinamika Pusat Geodesi dan Geodina-mika Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), men-jelaskan tumpang-tindihnya lempenglempeng bumi di sana membuat wilayah di atasnya seperti mengapung, yang dikenal dengan nama buoyant atau shear zone. Wilayah ini luasnya 300 kilometer persegi, membentang dari daerah kepala burung Papua, Halmahera, Laut Banda, hingga Sulawesi. ”Zona pecahan semacam ini paling luas di dunia,” kata sang doktor itu.
Menurut Cecep, yang ahli geodesi, di Sulawesi sendiri terdapat beberapa patahan. Misalnya patahan Palu, yang letaknya di bawah Kota Palu. Lalu patahan Matano, yang melewati daerah Soroako. Ada juga patahan Mayu, yang memanjang dari Sulawesi sampai Pulau Halmahera.
Karena tingginya ancaman gempa dan tsunami di Sulawesi, Bakosurtanal dan ITB sudah memasang beberapa alat global positioning system (GPS) yang secara terus-menerus mengirimkan si-nyal posisi. Menurut Dina, rekaman data pemindai posisi mencatat bahwa sesar (patahan) Palu-Koro merupakan tipe yang bergerak saling geser (slip fault). Kecepatan saling geser dua lempeng itu mencapai 3,8 sentimeter per tahun.
Dina mendapati bahwa sesar itu me-ngunci gerakan saling geser yang terjadi pada pertemuan patahan itu, dan sesar itu ternyata masih aktif. ”Diduga- sedang menimbun kekuatan untuk ter-lepas dalam (bentuk gempa) satu waktu yang tidak bisa diperkirakan,” kata-nya. Itulah yang menakutkan Aswin. Masalahnya, sampai kapan Aswin bisa menaruh harapan di tenda plastiknya?
Untung Widyanto, Ahmad Fikri, Verrianto Madjowa (Gorontalo), Darlis Muhamad(Palu)
Mencari Lindu yang Asli
PULUHAN lelaki berdasi di Jalan Sudirman, Jakarta, tiba-tiba berlarian menuruni gedung jangkung. Gara-garanya cuma sebuah pesan pendek yang menjalar melalui ponsel. Pesan singkat itu mengabarkan: Badan Meteorologi dan Geofisika Jepang memberitahukan ”rencana” datangnya gempa 8 skala Richter dan tsunami ke Kota Jakarta.
Para pejabat buru-buru memberi klarifikasi atas pesan palsu itu. Kini, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) membangun jaringan untuk menyebarluaskan informasi soal ancaman tsunami dan di mana lokasi lindu atau gempa. ”Agar warga cepat melakukan evakuasi dan upaya memberi pertolongan,” kata Kepala Bidang Gempa Bumi BMG, Suharjono.
Agar tak termakan isu gempa palsu, ada baiknya melakukan hal di bawah ini:
- Jangan pernah percaya pada pesan pendek atau surat elektronik yang mengatakan gempa bakal datang pukul 14.00 atau semacamnya. Pesan itu pasti bohong. Badan meteorologi mana pun di dunia belum bisa meramalkan kehadiran gempa dengan menyebutkan jam kejadian.
- Percayai sumber resmi. BMG selalu mengirimkan info gempa lewat pesan pendek kepada pejabat tinggi yang memiliki jaringan untuk menggerakkan aparatnya. Misalnya presiden, wakil presiden, dan Menteri Dalam Negeri. Lalu kepada gubernur, bupati, dan administrasi pelabuhan.
- Cek juga media elektronik dengan reputasi baik, seperti televisi atau radio pemerintah. Selama ini informasi bencana baru ditampilkan di televisi lewat running text. Kelak, kata Suharjono, media harus menghentikan acaranya dan langsung menyiarkan informasi dari BMG.
- Perhatikan sirene. Di pantai-pantai tertentu kini sudah dipasang sirene gempa, seperti di pesisir Sumatera Barat.
- BMG menyampaikan informasi lewat website milik publik yang terkenal atau banyak dikunjungi. ”BMG juga menghimpun alamat e-mail individu,” kata Suharjono. Orang yang mendaftarkan e-mail-nya di website www.bmg.go.id akan mendapat info instan soal gempa dari BMG.
Untung Widiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo