BENDA bulat seperti bom itu ternyata benda kuno. Para pekerja Proyek Pengembangan Air Tanah (P2AT) Kanwil Pekerjaan Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat terperangah ketika benda keras di kedalaman 1,70 meter itu dapat diangkat setelah dikorek-korek selama lebih dari tiga jam. "Rantok emas," seru mereka bersama-sama. Rantok, dalam bahasa setempat, berarti tempat menumbuk padi. Temuan dari Desa Sugian, Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia, Lombok Timur, pada 25 Juli lalu ini segera tersiar cepat. Penduduk dari desa-desa di sekitar terus berdatangan untuk melihat barang kuno itu ketika dipajang di kantor camat Sambelia. Benda yang beratnya sekitar 50 kilogram itu ternyata bukan rantok dan bukan emas. Kalau dibalik, bentuknya lebih menyerupai dandang raksasa alias tempat menanak nasi. "Dandang" itu meliuk dalam tiga bagian yang berbeda diameternya, dengan tinggi keseluruhan 53 sentimeter. Diamater pada bagian atas sampai 63 sentimeter, hingga laki-laki dewasa bisa masuk di dalamnya. Di setiap sisi antara bagian atas dan pinggang terdapat empat buah gantungan. Sayang, gantungan di salah satu sisi tinggal sebuah karena patah ketika penduduk mencoba mengangkatnya dengan linggis. Warna kuning dari emas yang diharapkan tidak muncul, walau sudah tiga kali digosok memakai asam dan batu asah di sungai di belakang kantor camat. Benda itu tetap saja berwarna kehitaman dengan bintik-bintik kehijauan. Tapi, kalau diperhatikan dengan saksama, di tengah bagian atas terdapat gambar bintang bersudut 12 dikelilingi oleh empat ekor burung serupa bangau dan lukisan pilin berbentuk huruf S. Barang temuan itu segera dilaporkan kepada Kepala Museum NTB V.J. Herman. Hasil peninjauannya, walau barang itu bukan dari emas, jelas harganya tidaklah murah. Namanya nekara dan terbuat dari perunggu. Umurnya belum bisa dipastikan. Tapi, menurut arkeolog terkenal H.R. van Heekeren dalam tulisannya di Amerta, umumnya nekara dibuat pada sekitar tahun 300 sebelum Masehi. Masa itu disebut zaman perunggu yang dinamakan juga kebudayaan Dong Son, karena hampir semua benda perunggu yang dihasilkan adalah buatan Dong Son (Vietnam). "Nekara ini adalah masterpiece kebudayan Dong Son," kata V.J. Herman. Nekara mempunyai fungsi utama sebagai alat untuk memanggil hujan. Caranya, alat ini dipukul seperti gendang. Fungsi lain untuk bekal kubur. Ornamen yang indah pada nekara ini, menurut V.J. Herman, menandakan bahwa pada zaman itu orang sudah mempunyai pemikiran untuk menghormati Tuhan. Gambar burung yang ada pada nekara Lombok Timur itu melambangkan Dewa Atas. Biasanya, ada juga gambar kodok untuk melambangkan Dewa Bawah. Kedua dewa ini dipercayai untuk menurunkan hujan pada manusia. Semua nekara yang pernah ditemukan mempunyai ornamen sama. Di bagian atas, pasti ada bintang bersudut mulai dari 8 sampai 16. Lingkaran luar dihiasi dengan garis lurus, pola tangga, atau pola berbentuk huruf S. Selain itu, badan nekara dihiasi dengan pelbagai lukisan yang mempunyai arti sendiri. Misalnya burung, kodok, gajah, kuda dengan penunggang dan penuntunnya -- orang berburu, sampai perahu berbentuk bulan sabit. Menurut H.R. van Heekeren, perahu itu dipercayai sebagai pembawa nyawa orang mati. Ornamen-ornamen seperti ini bisa dinikmati penduduk Jakarta di Museum Nasional. Dalam ruang prasejarah, tersimpan 30 buah nekara atau kepingan nekara dari pelbagai daerah. Yang terkenal dan dinilai paling bagus adalah enam buah nekara dari Pulau Sangiang, Bima, Sumbawa, yang ditemukan pada 1937. Tapi, nekara yang paling termasyhur adalah sebuah nekara raksasa yang ditemukan di Pejeng, Bali. Tingginya 1,98 meter dengan diameter bidang pukulnya 1,60 meter. Sekarang, benda ini disimpan di pura Penataran Sasih di Pejeng. Yang bisa dipastikan, lokasi penemuan nekara itu ada di kota pelabuhan saja. Desa Sugian di Lombok Timur juga dekat dengan pantai. Menurut staf seksi koleksi prasejarah Museum Nasional Sucipto, ini bisa dimengerti karena pada zaman Dong Son, ketika nekara itu dibuat, transportasi lautlah yang maju dan membawa benda ini sampai ke Indonesia. Penemuan purbakala lain juga terjadi di Desa Bacin, Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Penemunya Suwarno, yang menemukan benda purbakala dengan cara sama seperti para pekerja P2AT di Lombok Timur. Ketika sedang menggali ladangnya, 22 Agustus lalu, cangkulnya membentur susunan bata merah di kedalaman 1,25 meter. Bata itu terus saja dihantamnya, sampai ayunan cangkulnya terhenti ketika matanya memandang pecahan batu yang diyakininya sebagai benda purbakala. Benda-benda itu adalah tugu mini bertingkat lima dari tanah liat. Tugu setinggi 46 sentimeter itu mengecil di bagian atas dan mempunyai delapan sisi. Selain tugu itu, petani tersebut juga menemukan benda berbentuk candi bersusun lima dari tanah liat setinggi 35 sentimeter, ditemukan terletak di atas lumpang batu kapur. Pihak Departemen Pendidikan dan Kebudayaan -- yang mendapat laporan -- menduga lokasi itu bekas tempat pembakaran mayat atau tempat bersamadi. Situs itu diperkirakan peninggalan agama Hindu dan dibuat pada abad ke-16. Walau kedua lokasi penemuan benda purbakala ini kini sudah dijaga agar tidak diganggu penduduk, penelitian lebih lanjut dari Dinas Purbakala belum sampai ke sana. Diah Purnomowati, Supriyanto Khafid, dan Bandelan Amarudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini