"TIDAK semua masalah dirinci dalam Quran," kata Prof. Dr. Harun Nasution, suatu hari. Belum lama ini, Dekan Fakultas Pascasarjana IAIN Syarief Hidayatullah itu merinci ucapannya tersebut di atas, yang persisnya ia ucapkan di saat ia merayakan ulang tahunnya ke-70, tahun lalu, di kampusnya: "95% ajaran Islam hasil ijtihad ulama nisbi sifatnya, hanya 5% yang bersumber dari Quran dan hadis." Itu dikatakannya dalam wawancara dengan majalah Amanah, akhir bulan lalu. Berikut wawancara wartawan TEMPO Julizar Kasiri dengan tokoh yang disebut-sebut penganut neo-mutazilah yang di masa menjadi Rektor IAIN Syarief Hidayatullah (1973-1984) banyak membawa perubahan, yang Ahad depan genap 71 tahun. Dari mana Anda mendapat kesimpulan itu? Dari mempelajari agama Islam, kita tahu bahwa sumber ajaran yang utama adalah Quran. Dan seperti yang dijelaskan ulama-ulama, hanya kurang lebih 500 ayat yang berkaitan dengan akidah, ibadah, dan muamalah (kewajiban sosial). Inilah yang pokok dalam Islam. Sedangkan buku-buku yang menjelaskan ayat-ayat itu sangat banyak. Ambil buku fikih, berapa banyak bukunya. Begitu pula buku teologi, tafsir, dan lain-lain. Jadi, kalau kita ambil buku-buku itu, dan bandingkan dengan jumlah ayat tersebut, perbandingannya kira-kira 95% banding 5%. Jadi, yang absolut itu -- yang 5% -- hanya ada dalam Quran dan hadis. Selain yang absolut itu, adalah karangan para sahabat dan ulama yang tidak maksum (bebas dari kesalahan). Kalau ajaran yang nisbi, itu tidak sesuai dengan perkembangn zaman, bisa kita tinggalkan, kembali ke Quran, mencari penyesuaian dengan keadaan sekarang. Inilah pembaruan dalam Islam. Apa contoh yang 5% itu? Misalnya, makan daging babi itu haram. Juga, riba itu haram. Sedangkan bunga bank tidak disebut-sebut dalam Quran. Karena itulah timbul perdebatan. Apakah yang 95% itu merupakan penyimpangan dari Quran? Ini bukan penyimpangan, tapi penafsiran terhadap yang 5% itu. Dan seharusnya begitu. Kalau tidak diberi tafsiran, bagaimana pelaksanaannya? Jadi, mesti ada orang yang ahli menafsirkannya. Kalau dalam hukum, ya, ahli hukumlah yang menafsirkannya. Adakah kaitannya antara ajaran Islam yang 95% ini dan keadaan umat Islam sekarang? Ada. Masih adanya keterikatan dengan ajaran-ajaran yang tidak cocok dengan keadaan sekarang ini, itulah yang membuat umat Islam mundur. Penafsiran yang baru, sesuai dengan tuntutan zaman, inilah yang membuat umat Islam maju. Tapi bukankah kita, selain berpedoman pada Quran dan hadis, juga dianjurkan berpedoman pada pendapat para ulama terdahulu? Yang kita tinggalkan apa? Adalah pendapat para ulama dahulu yang tidak cocok dengan kita, misalnya tentang poligami dan wanita. Dulu, ada pendapat bahwa wanita tidak boleh belajar karena akan merusak dirinya dan masyarakat. Kita sekarang menganggap wanita itu teman kita. Tanpa dia, kita tidak bisa maju. Kemudian soal pemikiran yang berkembang sesudah zaman klasik, yaitu pemikiran jabariah (fatalisme). Kalau itu masih kita pegang, kapan kita akan maju. Sesudah abad ke-13, yang dipentingkan adalah ibadah, sedangkan dunia tidak penting. Bagaimana kita akan maju? Umat Islam kalah dengan Barat karena Barat bersikap sekuler, meninggalkan dogmanya. Sesudah abad ke-13, kita mementingkan ilmu akhirat, berbeda dengan masa sebelumnya, kita mementingkan dunia dan akhirat. Datanglah Barat menjajah umat Islam. Padahal, sebelumnya, di zaman klasik (650-1250), Islam itu maju. Maju dalam sains, matematika, kedokteran, fisika, dan lain-lain. Jadi, sekali lagi, lihat ajaran yang ada kembali, masihkah sesuai dengan kondisi kita sekarang. Kalau masih, ya, pakailah. Kalau tidak, tinggalkan. Kembalilah ke Ouran. Cobalah interpretasikan Quran itu sesuai dengan zaman kita ini. Sejak kapan umat Islam jatuh ke paham yang sempit ini? Sejak abad ke-13. Sebelum itu, tidak. Sebelum abad ke-13, muncul ulama-ulama besar yang luas pandangannya. Kemudian pandangan umat Islam menyempit. Mereka tidak mau berpikir lagi. Apakah tasawuf termasuk pandangan yang maju atau terbelakang? Bisa dianggap terbelakang. Tapi, sekarang ini zaman cenderung materialistis, maka bisa dipahami bila tasawuf timbul kembali. Tasawuflah yang bisa mengimbangi materialisme itu. Pada masa lampau, tasawuf itu dianggap menghambat. Sekarang tidak, dalam konteks sebagai obat materialisme. Apakah tasawuf tak menyebabkan kemunduran? Tidak. Yang menghambat itu kan tarekat yang prakteknya meninggalkan dunia. Ada tarekat yang tidak meninggalkan dunia, misalnya tarekat di Pondok Pesantren Suralaya, yang merayakan ulang tahun ke-85 belum lama ini. Pondok itu banyak menolong anak-anak yang kecanduan narkotik dengan pengobatan rohani. Jadi, tidak dapat kita katakan semua tarekat sama. Tapi penafsiran kembali membutuhkan penafsir yang memang mampu. Sudahkah kita mempunyainya? Benar. Mereka dituntut tidak hanya tahu agama. Tapi juga paham dengan perkembangan zaman modern ini. Tahu sosiologi, ekonomi, dan pendidikan. Tidak cukup hanya ilmu dari pesantren. Jadi, kira-kira para penafsir itu datang dari mana? Itu kita harapkan dari sarjana-sarjana baru yang dihasilkan oleh IAIN. Karena IAIN sudah menuju ke sana sekarang. Upaya menuju ke sana itu, antara lain dengan membuka program doktor. Jadi, jelasnya bagaimana. Apakah Quran dan hadis kita tafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman, atau sebaliknya? Zaman juga mesti kita kaitkan dengan ajaran absolut dalam Quran. Itu tidak bisa bertentangan. Umpamanya, riba itu haram. Maka, dalam hal bunga bank, banyak ulama yang berpikir ke masa lampau. Seharusnya kita pergi ke sejarah masa lampau itu -- untuk melihat bentuk perdagangan yang berlaku pada waktu itu. Bagaimana kedudukan riba di waktu itu? Mengapa ia diharamkan Quran? Baru kita bisa mengetahui bentuk riba di zaman lampau itu. Baru dipersoalkan identikkah ia dengan bunga bank. Kalau identik, ya, haram. Segala penafsiran lama itu tidak ada masalahnya kalau masih sesuai dengan perkembangan zaman. Tapi, kalau tidak sesuai, tinggalkan. Ambillah interpretasi baru untuk sesuai dengan zaman kita, agar Islam tidak ditinggalkan orang. Ada contoh, timbulnya mazhab hukum sebenarnya sesuai dengan perkembangan zaman dan kondisi tempat. Seperti mazhab Maliki dan Abu Hanifah, misalnya. Maliki tinggal di Madinah tempat Nabi hijrah, karena itu banyak hadis. Abu Hanifah tinggal di Kufah, jauh dari Madinah, karena itu hadis Nabi tidak ada di sana. Maka, timbullah dua mazhab hukum yang berbeda. Maliki, yang tinggal di Madinah, memecahkan masalah dengan mencari hadis. Maka, mazhabnya disebut mazhab sunah. Abu Hanifah tidak bisa mencari hadis. Maka, dia pakailah pendapatnya. Ini mazhab rakyu (akal), namanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini