SEMBAHYANG Jumat termasuk yang 5% (hal yang mutlak) atau 95% (yang nisbi) -- menurut rumusan Prof. Dr. Harun Nasution? Sebuah kasus terjadi di Tanjung Morawa, 22 km dari Medan, Sumatera Utara. Persisnya, di PT Tropical Wood Indotama (TWI), pabrik pengawetan kayu. Seorang karyawan bernama Kasno, 32 tahun, terpaksa kehilangan pekerjaan, 24 Agustus lalu. Pasalnya, "kelakuan peraturan pabrik" yang mestinya tak usah terjadi. Yakni soal salat Jumat. Kasno menginginkan salat Jumat di luar pabrik. Pihak pabrik, sebagaimana dikatakan oleh Adli, direktur utamanya, keberatan. Itu bisa mengganggu waktu kerja. Dan di kompleks PT TWI itu sudah disediakan musala. Demikian pula pendapat pihak Kantor Wilayah Depnaker Sumatera Utara, disertai kepolisian, yang Senin pekan lalu meninjau PT TWI -- karena Kasno menulis surat pengaduan pada Menteri Agama dengan 14 tembusan ke berbagai instansi, antara lain Kanwil Depnaker Sumatera Utara. Menurut Kanwil, alasan pelarangan salat Jumat keluar kompleks bisa diterima. Sebab, itu tadi, pabrik sudah menyediakan musala -- sisa ruangan yang disekat untuk memisahkannya dari kantin pabrik. Yang tak dipersoalkan lebih lanjut, seumpama karyawan ingin melakukan salat Jumat di masjid yang tak jauh dari pabrik, apakah itu bisa dipertimbangkan. Misalnya saja, karena di antara 80 karyawan yang beragama Islam di situ belum ada yang layak jadi imam. Dan keinginan salat di luar pabrik memang diam-diam ada. Setelah muncul kasus Kasno, seorang karyawan mencoba mengumpulkan tanda tangan di pabrik dengan 130 karyawan itu, untuk mendesak majikannya mengizinkan salat Jumat di luar kompleks. Bila petisi itu macet -- sampai pekan lalu cuma lima orang yang berani teken -- itu hanya mengungkapkan bahwa karyawan memang tak seberani Kasno, aktivis Alwasliyah, organisasi massa Islam yang pernah dipimpin oleh bekas Ketua PPP, J. Naro. Bahwa kasus Kasno baru muncul di pekan ketiga Agustus lalu -- sementara ia sudah lima bulan bekerja di situ -- memang baru kali itulah ia mengalami salat Jumat sewaktu sedang bertugas. Bapak dua anak itu baru dipindahkan dari kerja malam sebagai penjaga generator, ke siang sebagai pengawas kayu. Kasno, menurut Syuriah Nahdlatul Ulama, K.H. Ali Yafie, mestinya tak harus kehilangan pekerjaan. Bila hanya karena menjaga produktivitas pabrik, larangan keluar dari kompleks, termasuk untuk melakukan ibadah, kurang kuat dasarnya. Mestinya, kompromi bisa dicapai. Sebab, dalam hal itu tak ada unsur yang tak bisa ditawar. Bahkan Kasno rela bila gajinya dipotong untuk mengganti kerugian pabrik karena ia meninggalkan jam kerja -- yang mestinya cuma beberapa menit. Atau, bila pihak pabrik cukup bijaksana, bisa saja waktu kerja diperpanjang. Yang sulit ditawar, menurut Ali Yafie, misalnya bila waktu yang ditinggalkan untuk melakukan salat Jumat menyebabkan jiwa seseorang terancam. Seorang dokter, misalnya, bisa mendapat rukhshah (dispensasi) untuk tak usah melakukan salat Jumat bila kepergiannya membahayakan pasien. Dokter (anak) H. Sapardiman dari Rumah Sakit Bunda, Jakarta, sekitar setahun lalu pernah meninggalkan salat Jumat karena seorang pasiennya akan melahirkan menjelang jam salat Jumat. Tapi kalau hanya alasan produktivitas, kata Ali Yafie pula, secara teknis itu mudah diatur. Dalam kasus Kasno, menurut Kiai Ali Yafie pula, "semestinya pemilik pabrik menghormati hak karyawan untuk memilih tempat beribadah." Disarankannya, hendaknya kepentingan duniawi dan ukhrawi diletakkan seimbang. "Harus ada pengaturan supaya tidak ada ganjalan batin pada mereka yang menunaikan ibadah," kata Kiai Yafie kepada Dwi Irawanto dari TEMPO. Bila pihak pabrik berkeras dengan peraturannya, bisa juga dicarikan jalan keluar, umpamanya mencarikan imam dan khatib, dan musala diperbaiki. Tampaknya, kiai dari NU itu sejalan dengan pendapat Prof. Dr. Harun Nasution. Mestinya kasus Kasno tak perlu terjadi -- 95-% ajaran Islam boleh ditafsirkan kembali, tentu, asal tak melenceng dari Quran. Mukhlizardi Mukhtar (Medan), Aries Margono (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini