Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Para ahli masih belum mengetahui mengapa begitu sedikit kasus infeksi virus corona baru, COVID-19, yang dilaporkan di Afrika. Negara-negara di Afrika mestinya tak terkecuali dalam paparan penularan virus itu karena Cina--negara pertama yang mengalami epidemi--menjadi mitra dagang utama benua pemilik populasi 1,3 miliar orang itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejauh ini, saat sejumlah negara di Asia, Eropa, Timur Tengah, dan Amerika harus berjibaku melawan wabah virus corona tersebut, hanya Mesir di Afrika yang tercatat memiliki kasus menonjol. Sepanjang akhir pekan lalu, jumlah kasus infeksi COVID-19 di Mesir melonjak menjadi 59. Sedang di seluruh Afrika jumlah kasusnya tetap rendah.
Sampai dengan Selasa pagi, 10 Maret 2020, hanya ada 95 kasus infreksi yang terkonfirmasi di benua itu. Di antaranya adalah Togo dan Kamerun yang melaporkan kasus pertama pada akhir pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ancaman penyebaran wabah penyakit di Afrika selalu menjadi perhatian karena rapuhnya sistem kesehatan masyarakat di banyak negaranya. Wabah yang pernah dan sedang mencabik Afrika adalah malaria, TB, dan HIV.
Terkait ancaman dari virus corona, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan telah bergegas meningkatkan kemampuan negara-negara di Afrika untuk mendeteksi dan menguji keberadaan virus itu. WHO juga melatih para dokter di sana dalam merawat para pasien yang terdampak. Hingga akhir Januari lalu, misalnya, hanya Senegal dan Afrika Selatan yang dilaporkan memiliki laboratorium yang dapat menguji virus, tapi kini ada sebanyak 37 negara yang memiliki kemampuan uji itu.
Mary Stephen dari WHO di Brazzaville, Republik Kongo, percaya dengan data jumlah kasus virus corona COVID-19 yang ada di Afrika saat ini. Dasarnya, hasil pemeriksaan yang sudah dillakukan terhadap lebih dari 400 orang sejauh ini.
Keyakinan sama diungkap peneliti Universitas Edinburgh, Inggris, Mark Woolhouse. Menurutnya, selalu ada kemungkinan salah perhitungan dari sebuah data di manapun data itu berasal. Tetapi dia percaya minimnya kasus saat ini memang menunjukkan belum ada wabah besar yang terdeteksi.
"Jika ada seperti yang sedang terjadi di Italia atau Iran, di mana pun di Afrika ini saya pasti akan melihat angka kematian yang jauh lebih besar," kata Woolhouse. Per Selasa suda sebanyak 10.149 warga Italia terkonfirmasi terinfeksi virus corona COVID-19 dan 631 di antaranya meninggal. Di Iran, 354 orang meninggal dari total kasus terinfeksi 9.000 kasus.
Jimmy Whitworth dari London School of Hygiene and Tropical Medicine mengatakan sebagian besar kasus infeksi COVID-19 di Afrika diimpor bukan dari Cina, tetapi dari Eropa. Isolasi yang dilakukan terhadap setiap pendatang asal Eropa diduganya berperan menekan perkembangan wabah. "Empat negara Afrika telah memberlakukan karantina pada pengunjung dari hotspot virus corona," kata Whitworth.
Vittoria Colizza dari Sorbonne University di Perancis, penulis makalah tentang kerentanan negara-negara Afrika terhadap COVID-19, mengatakan jumlah kasus yang rendah itu hanya bisa dijelaskan dengan kombinasi faktor. Dia menyebut di antaranya, kurangnya kapasitas untuk memantau dan melakukan pengawasan aktif.
Menurut WHO, sebagian besar dari 37 negara di Afrika dengan kapasitas uji memang hanya memiliki 100-200 kit pengujian. Para peneliti sepakat lebih banyak kit uji akan diperlukan ketika kasus menyebar. "Tetapi ini sudah jauh lebih baik memiliki beberapa daripada tidak memiliki kapasitas sama sekali," kata Woolhouse.
Sebagian kalangan menganggap karakter populasi Afrika yang berusia jauh lebih muda daripada di Eropa dan Cina sebagai satu keuntungan tersendiri menghadapi ancaman virus corona. Usia populasi rata-rata di Inggris adalah 40,2 tahun dan di Cina adalah 37 tahun, tapi di Nigeria, negara terpadat di Afrika, angkanya 17,9 tahun.
"Jika Anda melihat statistik dari Cina, orang-orang yang memiliki prognosis yang lebih buruk adalah orang yang lebih tua," kata Stephen. "Tapi memang sisi buruknya adalah sistem kesehatan masyarakat pada umumnya lebih rapuh di banyak negara Afrika."
NEWSCIENTIST | WHO