Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Teknologi Hujan Buatan Indonesia Merdeka dari Flare Impor

Sering terjadi, peluang hujan buatan hilang dan operasi menjadi mundur atau bahkan batal karena persyaratan dan izin flare belum selesai.

20 Agustus 2021 | 21.41 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi atau BPPT telah merdeka dari kebutuhan impor bahan semai flare untuk misi modifikasi cuaca atau menurunkan hujan buatan. Modifikasi cuaca menggunakan flare dianggap lebih efektif dan efisien daripada cara konvensional menebar garam halus, tapi selama ini kebutuhan untuk bahan semainya itu harus dipenuhi secara impor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baru pada misi menambah tinggi muka air Danau Toba pada April lalu, bahan semai Flare CoSAT (Cloud Seeding Agent Tube) 1000 produksi PT Pindad digunakan secara resmi. Flare CoSAT 1000 menggantikan bahan semai yang selama ini dibeli dari Amerika.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Operasi modifikasi cuaca untuk menambah tinggi muka air Danau Toba tersebut sekaligus menjadi tonggak sejarah terlepasnya Indonesia dari ketergantungan impor flare dari negara asing,” ujar Samsul Bahri, Perekayasa Ahli Utama, Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca – BPPT dalam keterangan tertulis usai Webinar Potensi Pemanfaatan TMC Berbasis Flare di Jakarta, Jumat 20 Agustus 2021.

Flare adalah bahan semai yang bersifat higroskopis (menyerap air) terbuat dari NaCl dan CaCl2. Keduanya akan dibakar dan menghasilkan partikel seperti asap yang ringan dan mudah menyebar, menghantarkan material higroskopis ke seluruh bagian awan yang paling efektif untuk dijadikan hujan.

“TMC berbasis flare adalah teknik penyemaian awan di mana pelepasan partikel kimia ke dalam awan dilakukan dengan cara suar atau flare,” kata Samsul.

Dengan flare, Samsul menerangkan, waktu loading hingga bahan semai siap diterbangkan pesawat menjadi lebih ringkas. Ini, kata dia, memaksimalkan mendapatkan window opportunity untuk menyemai tepat di periode waktu tumbuh awan. “Sehingga lebih efektif dan efisien, serta mendukung keberhasilan TMC yang tinggi,” ujarnya.

Samsul menambahkan, BPPT dan PT. Pindad sebenarnya sudah sejak 2010 berhasil memproduksi flare dalam negeri. Namun, sertifikasi kelaikan baru dikeluarkan November 2020. Terbukti, saat digunakan, CoSAT 1000 sangat praktis, cepat dan mudah dalam operasionalnya.

Pesawat bersiap untuk misi modifikasi cuaca yang menggunakan bahan semai dari flare. Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca, BPPT, menyatakan kini sudah tak tergantung flare impor, tepatnya sejak operasi hujan buatan menambah muka air Danau Toba, April 2021. BBTMC-BPPT.

“Partikel CCN yang dihasilkan Flare/CoSAT 1000 sangat halus, sekitar 0,7–3,3 mikron, dan tidak terjadi penggumpalan bahan semai,” ujarnya.

Kepala BBTMC-BPPT Jon Arifian menuturkan, teknologi modifikasi cuaca berbasis flare sudah mulai diuji coba di Indonesia sejak 1999 lalu. Saat itu misi bertujuan mengisi DAS Larona (Danau Matano, Mahalona dan Towuti) di Sulawesi Selatan. Misi hujan buatan sekaligus uji coba flare melibatkan PT.Inco, Tbk. sebagai perusahaan yang memanfaatkan DAS Larona saat itu.

Hingga saat ini, Jon menyatakan, metode flare sudah beberapa kali digunakan dalam operasi modifikasi cuaca atau hujan buatan baik menggunakan pesawat Piper Cheyenne ataupun dari darat menggunakan menara GBG (Ground Based Generator). “Seperti Operasi pencegahan banjir Jabodetabek dan operasi untuk PLTA dan kebutuhan pertambangan,” kata dia.

Yudi Anantasena, Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT, menilai potensi TMC dari tahun ke tahun meningkat, terutama dengan Flare/CoSAT 1000. Menurutnya, pemanfaatannya mencakup pula upaya pencegahan bencana hidrometeorologi, ketahanan pangan, dan mendukung PLTA.

Untuk penyediaan air danau atau waduk, Yudi mengutip Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2021 tentang Penyelamatan Danau Prioritas Nasional. “Telah ditetapkan 15 danau prioritas nasional, mulai Sumatera Utara hingga Papua,” ujarnya.

Adapun Kepala BPPT, Hammam Riza, berpesan pengembangan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan teknologi internet of things (IoT) untuk bisa lebih membantu BBTMC melaksanakan operasi modifikasi cuaca. Teknologi yang pertama disebutnya menyediakan sebuah evidence-based forecasting terhadap kondisi wilayah daerah target TMC.

Sedangkan yang kedua dapat mendukung otomatisasi pelaksanaan TMC, terutama yang berbasis Flare/CoSAT 1000, menggunakan metode Ground Base Generator.

Namun, di antara semua potensi tersebut, Koordinator Bagian Umum BBTMC–BPPT Budi Harsoyo mengungkap satu kendala yang masih mengganjal. Dia menyoroti pengurusan izin flare yang panjang, baik untuk penggunaan, pengangkutan, penyimpanan, pengalihan penggunaan, pemilikan, serta pemusnahan. Sementara, masa berlaku izin yang kemudian diberikan dinilainya amat singkat.

Penyebabnya, bahan semai flare yang dikategorikan sebagai bahan peledak sekalipun bukan yang high explosive.

Operasi TMC atau hujan buatan. Kredit: BBTMC BPPT

Menurut dia, teknologi modifikasi cuaca sangat tergantung pada keberadaan awan dan cuaca yang sangat cepat berubah. Karena urusan perizinan yang lama, dia mengungkapkan, sering terjadi peluang hilang dan operasi menjadi mundur atau bahkan batal. “Karena persyaratan dan izin flare belum selesai,” ujarnya.

Budi juga mengatakan, penugasan operasi hujan buatan sering kali bersifat mendadak dan darurat bencana. Dia berharap alur perizinan flare dapat dipertimbangkan untuk disederhanakan atau dikecualikan di antara kategori bahan peledak.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus