Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Thailand Legalkan Ganja, Ini Studi Terbaru Manfaat dan Efek Samping Ganja Medis

Popularitas dan aksesibilitas dari produk-produk ganja yang semakin tinggi tak diimbangi riset terhadap efek penggunaannya sebagai obat.

11 Juni 2022 | 18.57 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tanaman ganja terlihat saat kampanye untuk membagikan 1 juta tanaman ganja gratis di Provinsi Buriram, Thailand, 10 Juni 2022. Thailand menghapus ganja dari daftar narkotika negara itu, memungkinkan orang menanam ganja jika mereka mendaftar di aplikasi pemerintah, PlookGanja. Kementerian Kesehatan Masyarakat Thailand/Handout via REUTERS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kini semakin banyak negara di dunia yang melegalkan produk penganan dari ganja dengan alasan untuk medis. Setelah Kanada dan Uruguay, Thailand mengisi daftar terbaru negara-negara itu per 9 Juni 2022. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laporan yang paling banyak dari penggunaan ganja untuk medis adalah untuk mengendalikan rasa sakit, dan terlihat diterima sebagai alternatif sebagai jenis opioid atau kelas obat penghilang rasa sakit. Penerimaannya semakin tinggi karena di Amerika Serikat, misalnya, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) menyebutkan lebih dari 20 persen orang dewasa di negara itu hidup dengan sakit kronis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Amerika Serikat, 37 negara bagian telah melegalkan ganja medis dan 19 di antaranya bahkan mengizinkan orang dewasa membeli untuk tujuan rekreasi.

Namun, popularitas dan aksesibilitas dari produk-produk ganja yang semakin tinggi tak diimbangi riset terhadap efek penggunaannya sebagai obat yang masih terbatas. Inilah yang kemudian dikerjakan oleh Marian McDonagh dari Oregon Health & Science University, Amerika Serikat, dan koleganya. Mereka mengkaji lebih dari 3000 studi sebelumnya dalam sebuah studi kajian terbesar yang pernah dilakukan terhadap penggunaan produk ganja medis.

McDonagh dkk ingin memastikan apakah produk-produk dari ganja dapat secara spesifik mengurangi rasa sakit yang kronis--didefinisikan sebagai rasa sakit yang bertahan selama lebih dari 3 bulan--dan bagaimana rasio tetrahydrocannabinol (THC) terhadap cannabidiol (CBD) berdampak kepada efikasi. Laporannya telah dimuat dalam jurnal Annals of Internal Medicine, terbit 7 Juni 2022.

“Kami ingin tahu, akankah ganja untuk mengatasi rasa sakit kronis memiliki benefit lain yang sama (dibandingkan opioid)? Dan tentu saja, kami ingin menelisik ke efek samping, terutama yang lebih serius," kata peneliti bidang epidemiologi klinis dan informasi medis itu

McDonagh dan tim kemudian menyaring dan mengindetifikasi 25 studi yang memenuhi kriteria terketat mereka: studi harus berjalan sedikitnya empat pekan dan memasukkan orang-orang dengan jenis sakit yang berbeda seperti sakit punggung, sakit kepala kronis dan diabetic neuropathy. Dari 25 studi itu, 18 memperbandingkan efek produk ganja dengan plasebo. Tidak ada dari studi-studi itu mencakupkan bahan yang bisa dibeli di toko atau apotek ganja untuk rekreasi.

Apa hasil studi?

Analisa secara keseluruhan mencakup data untuk lebih dari 14 ribu partisipan. Terungkap kalau beberapa produk ganja benar menyediakan pengurangan rasa sakit yang minor sampai moderat saja. Dan produk yang memiliki rasio kandungan THC terhadap CBD yang tinggi hampir selalu menawarkan reduksi rasa sakit paling dramatis, tapi itu kerap disertai efek samping termasuk rasa mual, lemas dan mengantuk.

THC menyediakan efek psikoaktif ganja atau populer disebut 'high'. Sedangkan CBD dilaporkan menghilangkan gejala kecemasan dan peradangan, meski efikasinya sendiri masih diperdebatkan.

Partisipan yang menggunakan produk ganja mengandung sedikitnya 98 persen THC melaporkan kira-kira 30 persen pengurangan rasa sakit. Sebaliknya, tidak ada pemulihan yang signifikan pada mereka yang mengkonsumsi produk dengan kandungan THC lebih rendah dan CBD lebih tinggi.

“Ada begitu banyak informasi di luar sana yang menyebutkan CBD bisa menyembuhkan penyakit," kata McDonagh. “Studi ini bisa membantu merintis klarifikasi apakah itu benar atau salah. Saat ini, yang jelas, tidak ada bukti yang cukup untuk mendukungnya."

Chokwan Kitty Chopaka, pemilik toko Chopaka yang menjual permen ganja tersenyum selama wawancara dengan Reuters di tokonya dekat persimpangan Asoke, di jantung distrik perbelanjaan utama Bangkok, Thailand, 8 Juni 2022. Kementerian kesehatan Thailand mengatakan telah menyetujui 1.181 produk termasuk kosmetik dan makanan, yang mengandung ekstrak ganja. REUTERS/Athit Perawongmetha

Orang-orang yang merasakan manfaat terbesar adalah mereka dengan neuropathic atau gangguan pada satu atau beberapa jaringan saraf yang biasanya menyebabkan sensasi terbakar atau kesemutan. Itu biasanya neurophatic yang disertai diabetes.

Tetap, harus datang ke dokter

Para penelitinya mencatat bahwa, sementara produk ganja bisa direkomendasikan, hasil studi itu berbasis bukti yang masih terbatas yang mereka bisa kumpulkan. Studi lebih lanjut diperlukan sebelum ganja medis bisa direkomendasikan sebagai sebuah alternatif potensial untuk obat resep mengatasi rasa sakit. Dan karena kebanyakan uji yang dikaji terentang satu sampai enam bulan, masih belum jelas apakah produk ganja bisa menawarkan pemulihan jangka panjang yang bermakna.

McDonagh mengatakan, keputusan untuk menggunakan ganja medis seharusnya bergantung pula kepada pengobatan apa yang sudah dijalani atau dicoba dan apa keluhan secara spesifik. "Untuk setiap pasien, yang terbaik adalah memulai dengan dokter Anda untuk melihat apa yang lebih baik untuk Anda," katanya.

NEW SCIENTIST, ACP JOURNALS

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus