AWAL tahun ini Menteri Penerangan Mashuri sekaligus telah
mengeluarkan tiga keputusan mengenai impor dan produksi Film.
Para produser menyambut dengan gembira, importir tidak
semuanya, senang hati, kabarnya malah timbul keributan di
kalangan mereka. Pangkal keributan itu adalah lantaran masih
menumpuknya sejumlah film di gudang Halim Perdanakusuma. Dari
sinilah kemudian muncul sebuah petisi yang ditanda-tangani 17
importir dan ditujukan pada Menteri Penerangan. Isi petisi itu
sebenarnya tidak menentang keputusan Menteri tentang konsorsium,
"sekedar minta kebijaksanaan agar Menteri memperhatikan sejumlah
film yang di Halim dan menunda pelaksanaan konsorsium sampai
tahun 1977", kata salah seorang dari mereka.
Mashuri tidak cukup tenang menghadapi petisi itu. "Film itu toh
bukan milik bangsa Indonesia. Lagi pula, itu konsekwensi dari
tindakan spekulasi", kata Mashuri pada TEMPO. Importir yang
ingin membela filmnya yang menumpuk di Halim mengatakan: "Ya
memang kami berspekulasi, tapi itu atas dasar peraturan setiap
importir harus mengimpor sepuluh judul film". Barangkali
importir ini benar. Tapi Menteri boleh punya kebijaksanaan lain
bukan? "Pokoknya produksi film Nasional anak emas", kata
Menteri. Dari kebijaksanaan Menteri itu kemudian Giprodfin
mengambil sikap menskors 17 importir tadi. "Sebetulnya kami
tidak tega, mengambil keputusan ini. Sebagai wadah dari para
importir mestinya kami membela mereka. Tapi apa boleh buat, kami
melihat kepentingan yang lebih jauh dari para importir", kata
salah seorang pengurus.
Sehari sesudah dikeluarkannya surat dari Giprodfin itu, beberapa
importir yang menandatangani petisi ramai-ramai datang ke kantor
Giprodfin. Ada yang langsung minta maaf ada pula yang ngotot
dulu. Yang minta maaf kebanyakan karena merasa tidak ikut
bertanggung jawab atas petisi yang dikordinir Pala Manru dari
Kalimantan Film itu. Artis Jaya dan Rapi Film kabarnya merasa
tertipu. Dikiranya petisi itu akan ditandatangani oleh semua
anggota dan diketahui oleh Giprodfin. "Eh tahu-tahu jalan
sendiri", kata Manu dari Artis Jaya Film. Tapi kemudian setelah
mendapat penjelasan dari Giprodfin maka semua penandatangan
petisi minta maaf pada Giprodfin dan mereka berjanji akan
mencabut petisi itu, dan Pala Manru sebagai kordinator
mengundurkan diri dari kepengurusan Giprodfin.
Putusan pengurus Giprodfin dengan menskors 17 importir itu
"tidak lain untuk kepentingan para importir juga". Karena yang
menjadi sasaran bukan ke 17 importir itu, tapi justru pada
film-lfilm yang ada di Halim. Konon setelah adanya petisi itu
Menteri ustru tidal mau tahu akan film yang ada di Halim.
"Padahal film-film yang ada di Halim adalah harta satu-satunya
para importir", kata seorang pengurus. Bahkan pernah ada yang
mengatakan bahwa beberapi importir telah menggadaikan semua
harta miliknya hanya untuk film-film yang ada di Halim. Dengan
harapan kalau film itu bisa keluar ia akan bisa menebus
hartanya kembali. Konon isteri seorang importir dengan menangis
pernah menjual perhiasan yang ia pakai hanya untuk menyambung
hidup keluarganya. Keadaan para importir yang sampai demikian
itulah yang kemudian membawa pengurus Giprodfin untul
berbisik-bisik pada drs. Sumadi, Dirjen RTF, supaya film yang di
Halim diambil kebijaksanaan. Dan Menteri melalui Dirjen RTF
setuju, asal 17 importir itu ditindak. Maka dari sinilah
timbul penskorsan itu. Para importir yang terkena skors tidak
boleh melakukan kegiatan impor. Penskorsan itu berlaku sampai
waktu yang tidak ditentukan.
Sertifikat Produksi
Barulah kemudian Direktur Jenderal Radio-TV-Film Departemen
Penerangan (melalui surat keputusan nomer 09/
kep/Dirjen/RTF/1976) mengeluarkan peraturan mengenai pelaksanaan
khusus pengimporan Film untuk kwartal pertama. Quota film untuk
kwartal I tahun impor 1976 sebanyak 100 judul. Dengan pembagian
untuk film Hongkong/ Taiwan sebanyak 25 judul, Eropa Amerika 48
judul, India 10 judul dan negara lainnya 17 judul. Setiap
importir diwajibkan membeli sertifikat Produksi Film dengan
harga Rp 50.000. Untuk imbalan ditundanya wajib produksi para
importir. Sertifikat produksi itu dikeluarkan oleh PPFI dan
dibeli oleh para importir melalui konsorsium.
Dari jumlah pengumpulan sertifikal produksi film, akan terkumpul
uang sebanyak 50 juta rupiah. Dan jumlah ini nantinya akan
dibagikan pada 41 buah judul film cerita nasional yang telah
diproduksi selama tahun 1975, Jadi setiap produksi tahun 1975
akan menerima satu juta rupiah, sedangkan untuk 5 film yang
menang dalam festival di Bandung mendapat tambahan 1 juta lagi.
Selebihnya 4 juta rupiah dipakai untuk biaya pembinaan perfilman
nasional. Keputusan Dirjen RTF ini mendapat sambutan baik dari
para importir. "Ini lebih bagus, soalnya untuk kwartal pertama
kami belum siap untuk produksi", kata Sukardjo pensiunan
Jenderal yang sekarang aktif sebagai importir. Produser juga
senang, sebab mereka dapat uang cuma-cuma.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini