Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

"film nasional anak emas"

Menpen mashuri mengeluarkan tiga keputusan mengenai impor dan produksi film. isi keputusan mengutamakan produksi film nasional dan hanya mengizinkan impor film sepuluh judul tiap importir. (fl)

26 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AWAL tahun ini Menteri Penerangan Mashuri sekaligus telah mengeluarkan tiga keputusan mengenai impor dan produksi Film. Para produser menyambut dengan gembira, importir tidak semuanya, senang hati, kabarnya malah timbul keributan di kalangan mereka. Pangkal keributan itu adalah lantaran masih menumpuknya sejumlah film di gudang Halim Perdanakusuma. Dari sinilah kemudian muncul sebuah petisi yang ditanda-tangani 17 importir dan ditujukan pada Menteri Penerangan. Isi petisi itu sebenarnya tidak menentang keputusan Menteri tentang konsorsium, "sekedar minta kebijaksanaan agar Menteri memperhatikan sejumlah film yang di Halim dan menunda pelaksanaan konsorsium sampai tahun 1977", kata salah seorang dari mereka. Mashuri tidak cukup tenang menghadapi petisi itu. "Film itu toh bukan milik bangsa Indonesia. Lagi pula, itu konsekwensi dari tindakan spekulasi", kata Mashuri pada TEMPO. Importir yang ingin membela filmnya yang menumpuk di Halim mengatakan: "Ya memang kami berspekulasi, tapi itu atas dasar peraturan setiap importir harus mengimpor sepuluh judul film". Barangkali importir ini benar. Tapi Menteri boleh punya kebijaksanaan lain bukan? "Pokoknya produksi film Nasional anak emas", kata Menteri. Dari kebijaksanaan Menteri itu kemudian Giprodfin mengambil sikap menskors 17 importir tadi. "Sebetulnya kami tidak tega, mengambil keputusan ini. Sebagai wadah dari para importir mestinya kami membela mereka. Tapi apa boleh buat, kami melihat kepentingan yang lebih jauh dari para importir", kata salah seorang pengurus. Sehari sesudah dikeluarkannya surat dari Giprodfin itu, beberapa importir yang menandatangani petisi ramai-ramai datang ke kantor Giprodfin. Ada yang langsung minta maaf ada pula yang ngotot dulu. Yang minta maaf kebanyakan karena merasa tidak ikut bertanggung jawab atas petisi yang dikordinir Pala Manru dari Kalimantan Film itu. Artis Jaya dan Rapi Film kabarnya merasa tertipu. Dikiranya petisi itu akan ditandatangani oleh semua anggota dan diketahui oleh Giprodfin. "Eh tahu-tahu jalan sendiri", kata Manu dari Artis Jaya Film. Tapi kemudian setelah mendapat penjelasan dari Giprodfin maka semua penandatangan petisi minta maaf pada Giprodfin dan mereka berjanji akan mencabut petisi itu, dan Pala Manru sebagai kordinator mengundurkan diri dari kepengurusan Giprodfin. Putusan pengurus Giprodfin dengan menskors 17 importir itu "tidak lain untuk kepentingan para importir juga". Karena yang menjadi sasaran bukan ke 17 importir itu, tapi justru pada film-lfilm yang ada di Halim. Konon setelah adanya petisi itu Menteri ustru tidal mau tahu akan film yang ada di Halim. "Padahal film-film yang ada di Halim adalah harta satu-satunya para importir", kata seorang pengurus. Bahkan pernah ada yang mengatakan bahwa beberapi importir telah menggadaikan semua harta miliknya hanya untuk film-film yang ada di Halim. Dengan harapan kalau film itu bisa keluar ia akan bisa menebus hartanya kembali. Konon isteri seorang importir dengan menangis pernah menjual perhiasan yang ia pakai hanya untuk menyambung hidup keluarganya. Keadaan para importir yang sampai demikian itulah yang kemudian membawa pengurus Giprodfin untul berbisik-bisik pada drs. Sumadi, Dirjen RTF, supaya film yang di Halim diambil kebijaksanaan. Dan Menteri melalui Dirjen RTF setuju, asal 17 importir itu ditindak. Maka dari sinilah timbul penskorsan itu. Para importir yang terkena skors tidak boleh melakukan kegiatan impor. Penskorsan itu berlaku sampai waktu yang tidak ditentukan. Sertifikat Produksi Barulah kemudian Direktur Jenderal Radio-TV-Film Departemen Penerangan (melalui surat keputusan nomer 09/ kep/Dirjen/RTF/1976) mengeluarkan peraturan mengenai pelaksanaan khusus pengimporan Film untuk kwartal pertama. Quota film untuk kwartal I tahun impor 1976 sebanyak 100 judul. Dengan pembagian untuk film Hongkong/ Taiwan sebanyak 25 judul, Eropa Amerika 48 judul, India 10 judul dan negara lainnya 17 judul. Setiap importir diwajibkan membeli sertifikat Produksi Film dengan harga Rp 50.000. Untuk imbalan ditundanya wajib produksi para importir. Sertifikat produksi itu dikeluarkan oleh PPFI dan dibeli oleh para importir melalui konsorsium. Dari jumlah pengumpulan sertifikal produksi film, akan terkumpul uang sebanyak 50 juta rupiah. Dan jumlah ini nantinya akan dibagikan pada 41 buah judul film cerita nasional yang telah diproduksi selama tahun 1975, Jadi setiap produksi tahun 1975 akan menerima satu juta rupiah, sedangkan untuk 5 film yang menang dalam festival di Bandung mendapat tambahan 1 juta lagi. Selebihnya 4 juta rupiah dipakai untuk biaya pembinaan perfilman nasional. Keputusan Dirjen RTF ini mendapat sambutan baik dari para importir. "Ini lebih bagus, soalnya untuk kwartal pertama kami belum siap untuk produksi", kata Sukardjo pensiunan Jenderal yang sekarang aktif sebagai importir. Produser juga senang, sebab mereka dapat uang cuma-cuma.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus