Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Potongan marmer putih itu dibentuk dengan sudut geometris. Ada yang bergelombang seperti papan cucian baju, ada pula yang silinder bergaris vertikal. Lengkungan besi emas ikut menopang tumpukan marmer yang berpostur ramping tersebut. Ketiga patung terbaru karya Gabriel Aries Setiadi berjudul Ceta, Kalyptra, dan Lumella itu bersanding dengan beberapa patung lain yang sepintas bergaya tribal atau kesukuan. Bahan patungnya bukan kayu, melainkan tembaga cor yang dominan berwarna hitam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya-karya itu mewarnai pameran bertajuk “Poetical Vector” di ruang galeri Lawangwangi Creative Space, Bandung, dari 10 Juli hingga 10 Agustus 2020. Pameran itu menyoroti kekaryaan G. Sidharta dengan fokus utama pada patung.
Tajuk “Poetical Vector” dipilih untuk menggambarkan arah perkembangan dan dinamika abstrak di Indonesia, dari periode modern hingga saat ini yang menunjukkan ragam nilai dan makna puitis. “Dalam sejarah perkembangan seni rupa modern Bandung, medium patung merupakan kanal eksplorasi yang merangkul eksperimentasi dan terbuka kepada ragam kemungkinan pengolahan media,” kata Andonowati, pendiri ArtSociates.
Karya Sidharta yang disertakan, antara lain, sebuah patung berujung runcing yang diapit semacam jari berjudul Tumbuhan Persolek. Patung lainnya seperti sosok orang-orangan berjudul Tumbuhan Penolak Bala. Selain patung, karya Sidharta lainnya berupa sketsa dan lukisan. Semua bertema senada, yaitu anatomi tubuh dengan beragam pose. Kesamaan lainnya adalah gambar perempuan telanjang. Koleksi karya dua dimensinya itu buatan 1955, seperti yang berjudul Leleson hingga lukisan cat minyak di kanvas Model Duduk II hasil karya 1997.
Para kurator, Rizki A. Zaelani dan Gumilar Ganjar, menyertakan kekaryaan seniman muda dalam pameran bersama itu yang menanggapi atau terinspirasi oleh kiprah ataupun sosok Sidharta dalam mewarnai dunia seni rupa Indonesia.
Seniman lain, Erwin Windu Pranata, memotong lembaran baja sesuai dengan coretan garis spontan yang dipertebal dan diwarnai cerah dengan cat biru, hijau, kuning, merah, dan putih. Karya bergaya abstrak itu berjudul No.11 dan No.13. Rendy Raka Pramudya melukis di kanvas berukuran 170 x 90 sentimeter dengan gambar seperti daun-daun besar dalam komposisi padat. Bernuansa biru dan merah, seri lukisannya itu berjudul Irama Penciptaan #3 dan #4.
Seniman Mujahidin Nurrahman menyumbangkan dua karya terbarunya berjudul Cultivated Field dan Gesture in Order. Gambar yang dibuat dengan teknik potongan kertas itu ditempelkan pada kanvas berukuran 120 x 160 sentimeter dan 127 x 127 sentimeter.
Dalam catatan kuratorial, empat seniman kontemporer itu dipilih karena mereka dinilai memiliki kepekaan formal. “Dalam diskusi kami yang terus berkembang dengan para seniman, semakin terlihat bahwa sikap dan perspektif G. Sidharta revolusioner dan belum pernah terjadi sebelumnya, namun berhasil secara kontekstual relevan dengan semangat budaya kontemporer kita,” kata kurator Rizki.
Gregorius Sidharta Soegijo lahir di Yogyakarta pada 30 November 1932 dan wafat di Surakarta, 4 Oktober 2006. Jalan seninya bermula dari belajar di Sanggar Pelukis Rakyat pada 1947. Dia termasuk generasi pertama lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta.
Sidharta sempat menginisiasi Pelukis Indonesia Muda di Yogyakarta sebelum melanjutkan studi ke Jan van Eyck Kunst Academie di Maastricht, Belanda, pada 1953-1956. Sepulang ke Indonesia, ia mengajar di almamaternya pada jurusan seni patung. Hijrah ke Bandung dan bergabung ke Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, Sidharta mendirikan jurusan seni patung pada 1965.
Selain mengajar, Sidharta tergolong produktif berkarya, termasuk dalam pembuatan monumen, merancang Piala Citra untuk pemenang Festival Film Indonesia (FFI), dan patung Garuda Pancasila di gedung MPR. Ia meraih banyak penghargaan di dalam dan luar negeri, antara lain Lukisan Terbaik dari Akademi Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional di Belanda dan Patung Terbaik dari Dewan Kesenian Jakarta dalam Pameran Patung Trienial 1986.
Meskipun Sidharta aktif berkesenian dalam konteks dan paradigma nilai seni modern, pameran ini ingin mengangkat ragam gejala seni kontemporer yang berciri plural, inklusif, dan terbuka dalam riwayat eksperimentasi artistiknya. **
ANWAR SISWADI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo