Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Amangkurat I atau Sisi Kelam Kekuasaan

Di ujung usia, di tengah kekalahan, masa lalu Amangkurat muncul dan menggugat. Drama 14 babak, satu setengah jam, mengalir dalam temaram. Di sini, Amangkurat bisa siapa saja.

7 Agustus 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ARENA teater black box itu menyarankan sebuah persembunyian; mungkin sebuah jurang. Menggantung di atas, dalam jaring, mengesankan semak belukar. Siapa bersembunyi? Dialog pada babak II sesudah babak pertama yang singkat, yang menyajikan prosesi pengawalan tandu yang tentunya "orang besar" di dalamnya, mengungkap awal sebuah pertunjukan. Yang duduk di kursi, yang pada babak I diusung dengan tandu: "Mana abdi yang kemarin?" Jawab yang ditanya: "Mereka sudah bukan abdi. Mataram sudah tak ada."

Selanjutnya, selama satu setengah jam yang terbagi dalam 14 babak, pertunjukan tetap dalam suasana temaram; semacam renungan tentang masa lalu dan masa depan seorang penguasa Mataram yang mudah menumpahkan darah, dengan alasan penting atau yang remeh-temeh sekalipun.

Waktu pertunjukan terasa mengalir tenang, menyajikan pentas yang lebih sampai lewat wacan, bukan adegan atau seni laku. Sang Amangkurat, orang besar yang ditandu itu, menampakkan kekuasaannya hanya dengan satu-dua tombak di jagrag di sisi kiri tempat duduknya. Slamet Rahardjo, pemeran sang penguasa yang jatuh karena Keraton Plered dikuasai Trunojoyo itu, terlihat membatasi ekspresi tubuh dan membiarkan kata-kata melayang memenuhi ruang teater. Bicaranya yang datar, sesekali meninggi, ketika "diingatkan" perihal masa lalunya yang kelam, kata lebih merangkai imaji. Amangkurat: "Apa yang akan kauceritakan? Tentang masa lalu? Aku takut."

Kemudian, lewat kata-kata sang Juru Taman (Ahmad Jusmar), tokoh yang antara nyata dan sukma, yang hendak menceritakan masa lalu, terbayang darah meleleh di ruang hitam arena itu. "Pangeran muda melihat Tuan menghukum mati mertua Tuan sendiri.…" Lalu, kepada penonton, ia bertutur tentang suara tangis yang tiap magrib terdengar di jalan-jalan semenjak Amangkurat naik takhta menggantikan Sultan Agung, dan tak seorang pun tahu dari mana datangnya. Ulama-ulama mengatakan Plered dan seluruh Mataram berlumur dosa. Kesimpulan ini diulang-ulang dikhotbahkan di tiap Jumat. Meski tak disebut siapa nama si pendosa, Amangkurat mencatat nama-nama mereka yang mengulang-ulang khotbah itu. Lalu, pada suatu ketika, nama-nama yang dicatat beserta seluruh keluarga mereka dikumpulkan di alun-alun. "Ada 170 algojo yang sudah disiapkan. Dalam waktu setengah jam, 5.000 leher dipenggal, ditikam, juga anak-anak dan perempuan. Alun-alun becek, seperti habis hujan dua hari. Bau amis tidak hilang setelah sepekan."

Slamet Rahardjo hampir tak beranjak dari kursinya, di adegan mana pun. Sang raja memang sakit, tapi mungkin juga ia berniat untuk terus mempertahankan kursinya, walau ketika itu kekuasaan tak lagi di tangannya. Dari kursi inilah kekuasaan membayangi, mungkin lebih tepat mengejawantah, di tiap adegan. Kekuasaan yang tak terkendali, kekuasaan seorang tiran.

Pada adegan dua putra raja, Adipati dan Puger, melakukan latihan kanuragan, kekuasaan itu terasa menggantung di atas mereka. Mereka tak hanya menguji jurus, mencoba tegar serta lenturnya tombak, kerasnya tulang, dan kuatnya otot. Juga saling bersiasat menebak isi hati dan sikap terhadap ayahandanya, dan rencana masing-masing yang mungkin telah dibuat untuk kekuasaan. "Amangkurat hanya menghargai satu orang, raja dalam dirinya," cetus yang satu. "Ah, kau bisa apa? Aku bisa apa?" sahut sang lawan berlatih. "Dialah yang terpilih, wahyu itu turun dari langit hanya untuknya." Tapi tampaknya keduanya kemudian sepakat bahwa "Raja-raja jatuh, Singosari, Majapahit, Pajang…".

Dan kekuasaan itu jugalah yang mengakhiri hidup Sahoyi, gadis yang disimpan, ditunggu akil balignya, sebelum diperselir oleh Amangkurat. Adipati sang putra yang memergoki simpanan itu langsung kasmaran dan disambut hangat. Yang asyik-masyuk melupakan, atau tiada peduli bahwa tak ada rahasia di seluruh Mataram bisa lepas dari pancaindra kekuasaan. Maka Amangkurat pun bertitah, sang putra harus membunuh Sahoyi, telanjang, di pangkuannya dengan tangannya sendiri, di hadapannya.

Di ruang arena teater Salihara, selama tiga hari pada akhir Juli lalu, kekuasaan yang bergerak tanpa kendali itu atas nama Amangkurat I. Upaya mempertahankan kekuasaan dengan sewenang-wenang, dengan mengalirkan darah siapa pun dengan atau tanpa alasan yang masuk akal, ternyata sia-sia. Amangkurat menjelang ajal, berbicara kepada Juru Taman, seseorang yang misterius, yang konon telah dibunuh oleh Sultan Agung dan darahnya menjadi bisa. Seseorang yang berbicara apa adanya; mungkin diakah yang disebut hati nurani? Amangkurat: "Tapi seharusnya kau menghilang, juga Mataram menghilang. Aku tak mencapai apa-apa." Dalam situasi yang hanya ada takut dan putus asa, sendiri di pengungsian, toh, seorang tiran tetaplah tiran: "Aku selalu benar."

Namun sutradara tak mencoba menghadirkan zaman Amangkurat di teater hitam itu. Tempo yang mengalir, mungkin lambat tapi mulus tanpa gangguan berarti berkat kepaduan unsur-unsur pendukungnya (tata arena, kostum, musik, antara lain), menyajikan pementasan terfokus pada kata. Tampaknya sutradara mencoba mengikuti naskah sepersis mungkin ("Yang penting," kata Slamet Rahardjo, sang Amangkurat, "aku hafal dialognya.") dan beberapa catatan untuk pementasannya. Misalnya, "Lakon ini menghendaki panggung yang ’minimalis’, hampir tanpa perabot dan ornamen…," tulis Goenawan Mohamad, penulisnya.

Karena itu, tidakkah Amangkurat Amangkurat, sebagaimana lakon lain yang tidak menggurui, tidak menjadi partisan, tidak menjadi hitam-putih-seperti sejumlah, bagi saya, lakon Shakespeare-melepaskan diri dari ruang dan waktu serta bisa di segala masa dan di segala lingkungan? Tumpas kelor yang dilakukan Amangkurat I, raja terakhir Mataram, apa bedanya dengan, misalnya, "bersih lingkungan" pada suatu zaman di pemerintahan Republik Indonesia?

Bagi saya, asosiasi-asosiasi itu muncul dengan wajar justru karena yang sudah disebutkan: pementasan ini tidak menggurui, tidak partisan. Di arena teater hitam itu sendiri, sejauh yang saya ingat, yang kenes-kenes pun, yang mencoba lebih menonjolkan satu-dua laku, properti, kostum, musik, atau pemeran, tak sempat muncul. Itu tadi, pementasan berlangsung baik air mengalir, bak setarikan napas seorang pelukis ketika menyapukan kuas besar hitam di kanvas abu-abu pekat. Lalu saya membaca naskah, sesudah menyaksikan Amangkurat Amangkurat di arena teater. Sejumlah baris dialog menghadirkan kata-kata yang bernas, membangun suasana yang menyapa.

…banyak hal yang tak bisa dijawab
Baginda pergi dengan aura yang masih tersisa
Dari Sitihinggil sampai hamparan pasir
di Selatan. Tapi ada yang berubah, ketika
Amangkurat naik tahta dan membangun
Kota ini. Aura itu berubah.
Yang terasa hanya gerah yang
menekan. Menekan sampai sini. Tiap hari
selama empat bulan terakhir, turun
hujan abu. Merapi menyalakan
laharnya….

Sebuah pembacaan naskah drama di radio, misalnya, mungkin akan menggambarkan naskah Amangkurat Amangkurat juga bisa dihidupkan hanya lewat kata-kata. Bisa jadi hal ini pun sudah menjadi pertimbangan Iswadi Pratama, sutradara.

Bambang Bujono, Pengamat Seni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus