Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suara hujan terdengar mengguyur tanpa henti. Di ruang itu Alfian, yang biasa dipanggil Dogi oleh istrinya, tinggal seonggok tubuh renta yang digerogoti kelumpuhan dan penyakit-penyakit lain. Bekas raja pisang kepok di Lampung itu tergeletak di sofa sambil terus batuk-batuk. Kesibukannya hanya satu: menonton televisi, yang dia kendalikan dengan sebatang tongkat. Sesekali dia minum alkohol, yang disembunyikannya di balik selimutnya. Di loteng, Hedar Ratu Liwat, perempuan paruh baya yang lebih suka dipanggil Helly, sibuk menjahit pakaian sambil mengomeli Dogi.
Kedua laki-bini itu bercakap-cakap dengan nada tinggi. Hedar, yang cerewet, menuding suaminya hanya suka bermalas-malasan, enggan berjalan keluar dan bekerja. Alfian beralasan kakinya lumpuh. "Kamu cuma ingin melihat aku mati dan lalu kawin lagi, kan?" kata Alfian. "Ya, iyalah. Masak, aku ikut kamu ke liang kubur?" kata Hedar, ketus.
Percakapan yang lucu dan getir ini membuka pertunjukan Anak yang Dikuburkan oleh Teater Satu di Teater Salihara, Jakarta, Jumat-Sabtu dua pekan lalu, yang sekaligus menutup Forum Naskah Adaptasi yang berlangsung selama Juni di sana. Kelompok asal Lampung yang pernah terpilih sebagai Grup Teater Terbaik Majalah Tempo 2008 itu membumikan Buried Child, drama karya Sam Shepard dari Amerika Serikat yang mendapatkan Hadiah Pulitzer pada 1979.
Naskah Shepard berlatar kehidupan di pertanian Amerika pada 1970-an yang mengalami keguncangan sosial, ekonomi, dan spiritual. Kisah berpusat pada sebuah keluarga yang berantakan dan kehilangan nilai-nilainya: ibu yang melakukan inses dengan anaknya, ayah yang membunuh putranya, dan orang-orang tanpa tujuan hidup. Masalah ini terangkat ketika sang putra, yang dikira mati dibunuh, ternyata masih hidup dan kembali ke rumah itu untuk menemukan jati dirinya.
Di tangan sutradara Iswadi Pratama, naskah itu dibongkar dan ditata ulang, disesuaikan dengan masalah aktual Indonesia, tapi juga berusaha dipertahankan "keamerikaan"-nya. Dia memindahkan latarnya ke perkampungan di Kabupaten Mesuji, Lampung, di masa kini, yang tergerus industri perkebunan sawit. Masalah inses dihilangkan dan berganti kawin kontrak. "Untuk menyesuaikan kondisi hingga di Lampung, ada reduksi yang tidak bisa dihindarkan. (Tapi) saya tetap menghadirkan nuansa Amerika Serikatnya," kata lelaki kelahiran Tanjung Karang yang pernah menyabet gelar Sutradara Terbaik Festival Teater Alternatif Indonesia 2003 ini.
Adaptasi tokoh juga dilakukan. Iswadi mengganti nama-nama tokohnya, tapi juga membiarkan mereka saling menyapa dengan menyebut nama tokoh dari naskah aslinya. Sang tokoh juga mengalami penyesuaian karakter di sana-sini. Misalnya tokoh Tilden, lelaki mantan bintang basket yang berzina dengan ibunya, berubah jadi Thea, perempuan bekas atlet angkat besi yang melahirkan anak di luar nikah, sempat pergi menjadi tenaga kerja wanita, dan pulang dalam keadaan depresi.
Karakter tokoh, pergantian nama, dan persoalan yang diangkat drama ini dimunculkan dalam dialog yang kocak. Misalkan pada ketika Thea, putri Alfian-Hedar, muncul sambil membawa jagung. Alfian menuduh Thea mencuri jagung itu karena tak ada lagi kebun jagung di belakang rumah mereka. "Woi, Samiut! Semenjak wilayah ini ditanami kelapa sawit, tak seorang pun yang punya tanah yang ditanami jagung. Adanya buka warung, berdagang mereka," kata Alfian.
Thea, yang dijuluki Samiut, membantah bahwa itu memang jagung dari belakang rumah. Alfian lantas bertanya kepada Hedar, apakah ada kebun jagung di belakang rumah mereka. "Tidak. Sejak kamu lumpuh kontemporer, itu sudah tidak ada lagi," jawab Hedar.
Plot drama tiga babak karya Shepard ini sederhana, tapi ceritanya absurd dan hubungan antartokohnya rumit. Banyak pertanyaan yang dibiarkan menggantung di akhir, seperti anak siapa yang dibunuh itu, siapa bapaknya, benarkah Iben Supendi adalah anak yang dulu dibunuh, atau mengapa Bahnan lumpuh, dan seterusnya.
Iswadi membiarkan pertanyaan itu mengambang dan berusaha menampilkan lakon yang realistis dan dikenali penonton Salihara. Dia juga lebih memusatkan pada penyampaian isu-isu yang dibalut dalam komedi. Dengan cara ini, Teater Satu, yang telah mementaskan lebih dari 50 drama sejak 1996, dapat membumikan lakon Shepard dengan mulus dan memberi pula bonus humor kepada penonton, sesuatu yang tak akan didapat penonton dari lakon asli Shepard yang muram dan padat dialog.
Kurniawan, Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo