Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Minggu sore, 24 Juni 2012, Amsterdam diguyur gerimis tanpa henti. Angin dingin menembus sela-sela kaki penonton yang antre untuk memasuki gedung pertunjukan Carre. The Life and Death of Marina Abramovic karya Robert Wilson disajikan dalam rangkaian program Holland Festival 2012. Tepat pukul tiga sore, pintu dibuka. Dengan keinginan berlindung di ruang yang lebih hangat, publik mulai memasuki gedung. Namun rasa dingin itu berlanjut di dalam gedung pertunjukan. Di atas panggung, tertata tiga peti mati dan tiga mayat yang terbungkus gaun sutra putih. Mayat di sebelah kiri dan kanan bertopeng wajah Marina Abramovic, 65 tahun, yang terbaring seperti mayat di atas peti bagian tengah.
Setelah sekitar setengah jam, lampu ruang penonton dipadamkan. Muncul sosok Willem Dafoe (aktor andal dalam film Platoon, Antichrist) di atas panggung kecil sebelah kanan depan panggung utama dengan setumpukan kotak kardus dan kertas-kertas. Dafoe mulai menuturkan kronologi biografi Abramovic sejak dia lahir, satu kalimat untuk urutan setiap tahunnya. Kepiawaiannya dalam menuturkan peristiwa demi peristiwa menjadi faktor penting dalam karya biografis ini. Dafoe tampak seperti seorang dalang yang memasuki dan terlibat dalam peristiwa-peristiwa yang diceritakannya. Antara tuturan Dafoe dan adegan yang terjadi di atas panggung dirancang sangat mengalir. Keragaman intonasinya yang dominan itu berkelindan di antara musik dan perubahan setting menuju adegan berikutnya.Â
Pilihan peristiwa biografi lebih banyak diambil dari kumpulan material yang disediakan Abramovic kepada Wilson ketika dia merancang pertunjukan ini. Wilson memilih peristiwa penting dan beberapa peristiwa traumatis dari perjalanan hidup Abramovic sejak kecil hingga sekarang dan ditambah rancangan Abramovic sendiri untuk upacara pemakaman kematiannya suatu hari nanti. Wilson sengaja tidak menampilkan kembali karya-karya performance Abramovic. Tidak seperti pada karya biografi Abramovic sebelumnya, The Biography, yang dipanggungkan pada 2004 bersama sutradara Michael Laub, dia berperan aktif merancang dan melakukan kembali (reenactment) karya-karya performancelamanya di atas panggung teater, sejenis retrospeksi. Tapi berbeda dengan The Life and Death of Marina Abramovic,tentang biografi sosok penting dalam sejarah performance art.
Satu setengah jam pertama, mata saya diajak memasuki dunia kehidupan seseorang yang penuh kepedihan. Di antara tuturan kepedihan yang bertubi-tubi itu, mata ternetralisasi oleh setting visual yang secara keseluruhan sangat berlawanan dengan realitas peristiwa itu sendiri. Desain panggung, kostum, tata rias, dan gerak tubuh para pemain diolah menyerupai gambar komik surealis. Sisi emosional yang terdengar dari penuturan cerita terbekukan dalam mimik para pelakunya. Kadang-kadang tekanan suara Willem Dafoe memecah dan, bersamaan dengannya, adegan mengalir dari tragedi di atas panggung beralih pada keheningan.
Selain hadirnya delapan pemain inti, empat performance artist, dan empat aktor teater, Abramovic tampil memerankan beberapa peran, termasuk dirinya sendiri. Mereka bergantian tampil sebagai transformasi sosok Abramovic dalam peristiwa yang berbeda-beda. Pada penuturan kisah masa kanak-kanaknya, Abramovic berperan sebagai ibunya, sosok penting dalam sejarah keluarga berlatar belakang militer dan rumah tangga yang tidak bahagia. Kedua orang tuanya adalah partisan Yugoslavia pada masa Perang Dunia Kedua. Ayahnya, Vojo Abramovic, dikenal sebagai pahlawan nasional, sedangkan ibunya, Danica, berpangkat mayor dan pada 1960-an menjadi Direktur Museum Revolusi dan Kesenian di Belgrade. Sejak perceraian orang tuanya pada 1964, Marina Abramovic hidup bersama ibunya, yang memperlakukan anak-anaknya dengan disiplin militer yang keras.
Dalam adegan mesin cuci, sosok kanak-kanak Abramovic, yang mengalami kecelakaan, diperankan aktor laki-laki yang berpakaian merah bermotif polkadot putih menyerupai pakaian Minnie Mouse. AdeÂgan berikutnya, Abramovic muncul sebagai dirinya sendiri ketika masih kecil dan harus berada di rumah sakit selama setahun karena perdarahan pada gusinya. Menurut dia, itu satu tahun yang paling membahagiakan karena ia mendapat banyak simpati dan kunjungan teman serta terutama bebas dari hukuman ibunya.
Keseluruhan babak pertama dimulai dengan adegan pemakaman tadi sebagai prolog. Lalu dilanjutkan adegan kecelakaan mesin cuci; ironi hidung besar; semir sepatu, sebagai protes Abramovic atas larangan ibunya ketika dia mulai melakukan performance; peristiwa rumah sakit; cerita tentang ibu dan ayahnya; penuturan spirit cooking (resep spiritual yang diciptakan pada 1990-an); Russian roulette; serta pohon apel hijau. Babak kedua dimulai dengan pengisahan pertemuannya dengan laki-laki, dilanjutkan dengan peristiwa perpisahan yang dramatis dengan kekasihnya, Ulay, di tengah rentang Tembok Besar Cina; penuturan dusta pada 1989-2010; cerita tentang rumah kecil; dan ditutup dengan epilog yang kembali menampilkan adegan pemakaman ketika tiga sosok mati melayang di atas panggung.Â
Semua adegan itu diselang-selingi komposisi musik dari Antony (Antony and the Johnsons) yang berwarna khas, terutama lagu-lagu yang diciptakan dan dibawakan olehnya memberi emosi dari peristiwa yang terjadi sekaligus berfungsi sebagai momen perenungan yang puitis. Peran musik dalam karya ini menjadi kuat karena didukung kelompok vokal, yang terdiri atas empat penyanyi dari Serbia, Svetlana Spajic Group, pimpinan Spajic, yang sedang hamil tujuh bulan ketika ikut mengiringi pertunjukan itu. Mereka membawakan tembang-tembang vokal Serbia kuno dengan sangat intensif dalam interval kedataran nada yang alami serta dengan tampilan fisik dan emosi yang kuat. Kehadiran suara mereka sangat dominan dalam adegan Russian roulette, ketika semua pemain tampil dalam pakaian militer memenuhi panggung dan penyanyi-penyanyi Svetlana Spajic Group berpakaian tradisional Serbia. Bendera putih dikibarkan oleh mereka dalam suasana pencahayaan yang mencekam dan diiringi pengulangan konstan lagu-lagu Serbia.
Durasi panjang selama tiga jam diisi gerak-gerak minimal, adegan yang berbau surealis, serta tata panggung yang tampak minimalis, efektif, dan menyatu dalam seluruh adegan. Kejelian terhadap waktu saat momen-momen dramatis kadang dibawakan dalam suasana kesunyian yang merayap, yang memberi peluang bagi saya mengembangkan emosi yang melibatkan pemahaman saya terhadap sebuah peristiwa di luar tubuh saya. Hingga saya akhirnya terdampar pada sebuah pemikiran tentang siklus kematian.
Penuturan biografi ini menjadi sebuah refleksi tentang ketakutan manusia terhadap kematian, sementara peristiwa demi peristiwa kehidupan yang kita jalani sering tampak lebih menakutkan daripada peristiwa berakhirnya hidup itu sendiri. Dan pemakaman Abramovic, yang dirancang sendiri olehnya, menjadi sebuah persiapan yang konsekuen terhadap kenyataan bahwa kematian bisa datang setiap detik tanpa kita bisa menduganya. "Sangat penting buat saya untuk mengontrol hidup saya, termasuk bagaimana pemakaman sebagai ritual atas kematian saya, yang waktunya tidak pernah bisa saya duga sebelumnya," katanya dalam sebuah obrolan setelah pementasan.
Bukankah kita sudah mengalami "berbagai kematian" dalam peristiwa-peristiwa di masa lampau, dan kematian sebagai akhir sebuah peristiwa membuka kehidupan baru pada per
istiwa berikutnya?
Melati Suryodarmo, Performance Artist (Amsterdam)
Perbincangan di Ruang Rias
Marina Abramovic adalah seorang legenda di ranah performance art. Ia lahir pada 1946 di BelgÂrade, Yugoslavia. Pada 1970-an, Abramovic merintis performance sebagai bentuk seni visual. Tubuh digunakan sebagai subyek sekaligus medium. Melalui berbagai karya performance berdurasi panjangnya, yang menyentuh batas-batas daya tahan tubuh, Abramovic berusaha memasuki sisi kemanusiaan dan spiritualitas.
Karya-karya Abramovic menggetarkan berbagai pameran seni bergengsi di Eropa dan Amerika Serikat, termasuk di Venice Biennale (1976 dan 1997) serta Documenta VI, VII, dan IX, Kassel, Jerman (1977, 1982, dan 1992). Berikut ini petikan perbincangan Melati Suryodarmo dengannya di ruang rias gedung pertunjukan Carre, Amsterdam. Melati adalah murid Abramovic ketika ia mengajar di Hochschule fuer Bildende Kunste di Braunschweig.
Karya ini sangat berbeda sekali dengan Biography yang disutradarai oleh Michael Laub pada 2004, yang juga bercerita tentang Anda. Di sana banyak disajikan reenactment: pengulangan beberapa performance Anda sendiri.
Ya, yang sekarang ini beda sekali. Ketika saya dan Michael Laub berproses, saya menyodorkan biografi dan karya-karya saya. Di situ semua yang berbau drama kehidupan pribadiku ditolak oleh Laub. Tapi, saat proses dengan Bob Wilson ini, justru kehidupan pribadiku yang dipakai.
Kini banyak seniman performance melakukan reenactment, menampilkan ulang performance dari seniman lain yang pernah dilakukan di masa lampau.
Ya, saya juga melakukan pameran performance 7 Easy Pieces di Museum Guggenheim, New York (2004). Saya menampilkan ulang kaya Vito Acconci, Gina Pane, Joseph Beuys, Bruce Nauman, dan karya saya yang lama. Menurut saya, reenactment menjadi sangat penting karena menghadirkan tubuh dalam lingkungan publik, waktu, dan tempat yang berbeda. Namun, sayangnya, banyak sekali orang meniru dan hanya melakukan tanpa studi mendalam tentang karya atau pengaruh karya lama, mengambil idenya saja tanpa menyebut sumbernya. Dalam reenactment, yang paling penting adalah menelusuri latar belakang dan mencari sebanyak mungkin dokumentasi dan informasi. Dan yang paling penting menyebut nama senimannya. Ini adalah persoalan respek.
Bagaimana Anda melihat sejarah performance art?
Oh…, itu pertanyaan kompleks. Saya pikir dari gerakan Fluxus dan Happening (di Eropa dan Amerika) lahirlah performance art yang kita kenal sekarang. Saat itu nama seperti Chris Burden, Gina Pane, Terry Fox, Denis Oppenheim, Vito Acconci, Valie Export, Wiener Aktionismus, Rudolf Schwarzkogler, dan Hermann Nitsch melakukan performance dan memiliki konsep yang jelas. Lalu, pada akhir 1970-an, terjadi perluasan yang besar dan banyak sekali performance art yang tidak bagus dan akhirnya kehilangan apresiasi dari publik.
Di dunia seni rupa, muncul sejumlah seniman lukis yang lukisannya banyak terinspirasi performance art. Performance malah seperti hilang. Kemudian muncul pengaruh performaÂnce art dalam karya-karya tari dan teater, misalnya pada karya Pina Bausch, Jan Fabre, Keersmakers, dan Alan Platel. Pengaruh itu lalu muncul di dunia film. Dari film ke media televisi, dari televisi lalu ke musik video, lalu ke iklan, dan seterusnya, sehingga performance art sepertinya kehilangan identitasnya.
Performance artist cenderung menolak mentah-mentah untuk melakukan akting seperti seorang aktor, karena tidak melakonkan sebuah peran....
Tiga puluh tahun yang lalu saya masih memegang prinsip antara konsep dan tubuh tidak ada unsur kepalsuan atau trik apa pun. Namun, setelah sekian lama, saya memasuki poros yang sebaliknya. Keinginan untuk mengetahui realitas dari sisi lain, salah satunya, membuat karya yang melibatkan kepalsuan (fake). Pada Life and Death of Marina Abramovic, tidak ada satu pun yang asli. Apa pun yang ada di atas panggung adalah barang buatan dan tidak ada unsur performance-nya. Para pemain berakting, mulai setting sampai kostum dan make-up nya pun jauh dari realitas.
Dulu Anda mengatakan bahwa seniman tidak membutuhkan psikoterapis....
Ha-ha-ha…. Memang untuk apa seniman membutuhkan psikoterapis? Seniman harus mampu menyembuhkan dirinya sendiri melalui berkarya, dan harus mencari cara penyembuhan mereka itu sendiri melalui proses berkarya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo