TEMA untuk kembali ke klasik bukan hanya sekedar gagah-gagahan.
Pukul 5 sore, 2 April yang lalu di Teater Arena TIM, tak kurang
dari 40 remaja telah membuktikannya. Mereka berasal dari Tunas
Musika, Dinas Kebudayaan DKI. Dengan alat-alat tiup mereka
telah mencoba meraih karya-karya Haydn, Schubert, Pleyel, Hook,
Foretier-Cofield, Martini dan von Weber. Tetapi mereka juga
sempat melemparkan lagu-lagu yang lebih populer seperti: Three
Coins in The Fountain, Lara's Theme From Dr. Zhivago, Aquarius
dan sebagainya. Hasilnya lumayan.
Sayang jumlah penonton yang hadir agak menyedihkan. Apakah
publikasi tidak begitu menunjang, ataukah nama Dinas Kebudayaan
yang belum komersiil? Kalau saja publik dari bangku-bangku
sekolah sempat unjuk hidung, ide baik dari penampilan tidak
sia-sia. Bahwa para remaja sudah layak pula unjuk gigi pada
musik macam ini sekarang.
50 Juta
Bermula 8 anak yang mengenakan batik muncul dengan klarinet.
Kemudian 5 orang menyusul dengan saksofon. Kemudian 8 anak lagi
dengan terompet. Kemudian di lewat masa jedah, mereka muncul
beramai-ramai membawakan lagu-lagu lebih populer. Gembira dan
kompak. Memang mereka bukan orang-orang profesional, bahkan
seringkali juga terdengar ada instrumen yang ditiup terlalu
keras. Ada juga yang kewalahan, kekurangan enerji melayani
alat-alat yang tak sedikit membutuhkan tenaga itu.
Maka tak ayal mereka benar-benar berkesungguhan. "Ah, saya nggak
ingat apa-apa Oom, mata saya tertuju ke partitur. Konsentrasi.
Terang dong", kata Rio Ismawan pelajar kelas I SMA yang
memainkan sax. Sementara Anny Setiawati yang memainkan terompet
menambahkan: "Kami juga membawakannya dengan perasaan". Wah.
Penampilan ini adalah konser pertama dari Tunas Musika di muka
umum. Gerombolan ini berdiri pada tahun 1975 dengan dedengkot
Sadikin dan Iswan bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan DKI Jaya.
Bermula mereka mulai dengan peralatan pinjaman. Maklum harga
alat tiup kan tidak murah. "Klarinet, misalnya, berharga di atas
Rp 100 ribu. Terompet Rp 300 ribu Sax lebih mahal lagi. Belum
kena bea masuk, karena barang impor", kata Sadikin (bukan
Gubernur) kepada TEMPO. Beruntunglah kemudian keluar Rp 50 juta
dari Sadikin yang Gubernur. Gara-gara Bang Ali itu tergiur oleh
kebagusan konser remaja negara-negara tetangga seperti Singapura
dan Jepang.
Sadikin, gitaris 44 tahun yang kini mengisi acara dengan
kelompoknya di klab malam LCC, menjelaskan selanjutnya bahwa
pemain alat tiup amat dibutuhkan. "Kami ingin menampilkan youth
brass band. Bila dikelompokkan dengan anak-anak Bina Musika, dan
anak-anak pusat pendidikan musik lain, kelak akan tampil sebuah
orkes remaja yang bisa dibanggakan", ucapnya.
Ia memberikan dasar-dasar klasik karena merasa hal tersebut
merupakan penopang yang kuat bagi pendidikan musik yang baik.
Artinya, selanjutnya ia tidak hanya akan mengkhususkan diri pada
klasik. Juga mengenai lagu-lagu yang diketengahkan, mengapa
tidak ada lagu pribuminya, ia menjawab: "Ini masih dalam rangka
pendidikan. Partitur yang dimainkan itu sudah berbentuk jadi,
dan tersedia. Kalau kelak partilur lagu Indonesia sudah
tersedia, akan dimainkan juga".
Materi-materi yang baik bukan sedikit di kalangan remaja
tersebut. Jakarta yang ketiban rejeki mendapat fasilitas,
mestinya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Bandung dan
Surabaya - 2 kota yang merupakan gudang bibit - tentunya boleh
iri hati oleh fasilitas tersebut. Sadikin menganggap 3 tahun
merupakan jangka waktu yang cukup buat seorang anak untuk
menggaet bekal. Tentu saja tidak termasuk anak-anak bebal 'kan?
"Anak-anak sekarang lebih kaya. Mereka lebih banyak mendengar
dan melihat kelompok-kelompok musik", ujar Sadikin optimistis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini