Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Anak sekarang lebih kaya

Remaja yang bergabung dalam kelompok musik tunas musika, dinas kebudayaan dki, tampil di tim membawakan musik bertema klasik, awal april lalu. tapi penonton kurang.

16 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMA untuk kembali ke klasik bukan hanya sekedar gagah-gagahan. Pukul 5 sore, 2 April yang lalu di Teater Arena TIM, tak kurang dari 40 remaja telah membuktikannya. Mereka berasal dari Tunas Musika, Dinas Kebudayaan DKI. Dengan alat-alat tiup mereka telah mencoba meraih karya-karya Haydn, Schubert, Pleyel, Hook, Foretier-Cofield, Martini dan von Weber. Tetapi mereka juga sempat melemparkan lagu-lagu yang lebih populer seperti: Three Coins in The Fountain, Lara's Theme From Dr. Zhivago, Aquarius dan sebagainya. Hasilnya lumayan. Sayang jumlah penonton yang hadir agak menyedihkan. Apakah publikasi tidak begitu menunjang, ataukah nama Dinas Kebudayaan yang belum komersiil? Kalau saja publik dari bangku-bangku sekolah sempat unjuk hidung, ide baik dari penampilan tidak sia-sia. Bahwa para remaja sudah layak pula unjuk gigi pada musik macam ini sekarang. 50 Juta Bermula 8 anak yang mengenakan batik muncul dengan klarinet. Kemudian 5 orang menyusul dengan saksofon. Kemudian 8 anak lagi dengan terompet. Kemudian di lewat masa jedah, mereka muncul beramai-ramai membawakan lagu-lagu lebih populer. Gembira dan kompak. Memang mereka bukan orang-orang profesional, bahkan seringkali juga terdengar ada instrumen yang ditiup terlalu keras. Ada juga yang kewalahan, kekurangan enerji melayani alat-alat yang tak sedikit membutuhkan tenaga itu. Maka tak ayal mereka benar-benar berkesungguhan. "Ah, saya nggak ingat apa-apa Oom, mata saya tertuju ke partitur. Konsentrasi. Terang dong", kata Rio Ismawan pelajar kelas I SMA yang memainkan sax. Sementara Anny Setiawati yang memainkan terompet menambahkan: "Kami juga membawakannya dengan perasaan". Wah. Penampilan ini adalah konser pertama dari Tunas Musika di muka umum. Gerombolan ini berdiri pada tahun 1975 dengan dedengkot Sadikin dan Iswan bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan DKI Jaya. Bermula mereka mulai dengan peralatan pinjaman. Maklum harga alat tiup kan tidak murah. "Klarinet, misalnya, berharga di atas Rp 100 ribu. Terompet Rp 300 ribu Sax lebih mahal lagi. Belum kena bea masuk, karena barang impor", kata Sadikin (bukan Gubernur) kepada TEMPO. Beruntunglah kemudian keluar Rp 50 juta dari Sadikin yang Gubernur. Gara-gara Bang Ali itu tergiur oleh kebagusan konser remaja negara-negara tetangga seperti Singapura dan Jepang. Sadikin, gitaris 44 tahun yang kini mengisi acara dengan kelompoknya di klab malam LCC, menjelaskan selanjutnya bahwa pemain alat tiup amat dibutuhkan. "Kami ingin menampilkan youth brass band. Bila dikelompokkan dengan anak-anak Bina Musika, dan anak-anak pusat pendidikan musik lain, kelak akan tampil sebuah orkes remaja yang bisa dibanggakan", ucapnya. Ia memberikan dasar-dasar klasik karena merasa hal tersebut merupakan penopang yang kuat bagi pendidikan musik yang baik. Artinya, selanjutnya ia tidak hanya akan mengkhususkan diri pada klasik. Juga mengenai lagu-lagu yang diketengahkan, mengapa tidak ada lagu pribuminya, ia menjawab: "Ini masih dalam rangka pendidikan. Partitur yang dimainkan itu sudah berbentuk jadi, dan tersedia. Kalau kelak partilur lagu Indonesia sudah tersedia, akan dimainkan juga". Materi-materi yang baik bukan sedikit di kalangan remaja tersebut. Jakarta yang ketiban rejeki mendapat fasilitas, mestinya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Bandung dan Surabaya - 2 kota yang merupakan gudang bibit - tentunya boleh iri hati oleh fasilitas tersebut. Sadikin menganggap 3 tahun merupakan jangka waktu yang cukup buat seorang anak untuk menggaet bekal. Tentu saja tidak termasuk anak-anak bebal 'kan? "Anak-anak sekarang lebih kaya. Mereka lebih banyak mendengar dan melihat kelompok-kelompok musik", ujar Sadikin optimistis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus