13 buah karangan bunga ada di kaki piano Iravati Sudiarso dan
Rudy Laban. Ini terjadi di Teater Tertutup TIM (4 - 5 April) di
tengah kunjungan penonton yang deras. Malam penampilan itu telah
mengetengahkan karya-karya Jean Phillippe Rameau (1683 - 1764),
Sergei Rachmaninoff (1873-1943), Benyamin Britten (1913-1976),
Bela Bartok (1881-1945) dan Witold Lutoslawski (1941).
Dua sekawan ini sudah hampir 3 tahun tidak unjuk gigi
bersama-sama. Hari-hari panjang Iravati kebanyakan ludes di
belakang meja - bukan di belakang piano. Jangan lupa dia salah
seorang ketua Dewan Pekerja Harian DKJ yang banyak kerja (juga
menjadi salah satu juri festival film yang menghebohkan barusan
itu). Wanita 37 tahun kelahiran Surabaya ini bahkan pernah
dikhawatirkan akan terkubur di situ saja. Syukurlah lulusan
Peabody Conservatory Baltimore AS ini, yang mencapai master of
musicnya tahun 1964, menjawab kekhawatiran itu dengan kerja yang
nyata. Ia muncul lagi dengan kelenturan yang tak kurang dari
prestasi yang pernah dikibaskannya.
Masalah Khusus
Sementara Rudy yang lahir di Bogor dan memegang piano sejak usia
5 tahun, tetap merupakan pasangan setia. Wajahnya yang seperti
anak sekolah, sopan dan tekun itu, nongol di atas dasi
kupu-kupu. Ia mendampingi Ira dengan mantap. Keduanya kira-kira
2 jam tetap bersemangat, enerjetik, tetapi penuh kontrol.
Interpretasi karya-karya masa kini sempat mereka lontarkan
dengan baik. Mereka telah mencoba mendekati karya-karya itu
dengan hati yang polos, jernih. Tanpa memberikan ulah atau
kecenderungan-kecenderungan lain.
Demikianlah kita benar-benar ditatapkan pada pribadi orang-orang
mukibat itu. Sebuah pengalaman yang berharga buat para penonton
yang benar-benar ingin meresapi musik yang tertib. "Tidak ada
masalah yang khusus dari permainan mereka. Hasil duo itu cukup
memadai" komentar Frans Haryadi, sesudah menyatakan secara
pribadi tidak menyukai komposisi Rachmaninoff yang baginya
merengek-rengek.
Mendengarkan karya-karya abad 20 itu, kita tidak saja merasa
dirasuki keindahan murni -- sebagaimana yang ditembakkan
karya-karya yang lebih tua. Kita merasa ada dinamika, yang
benar-benar langsung melibatkan kita pada keadaan dunia yang
lebih gawat. Musik0-musik itu tidak hanya menghimbau, tidak saja
melantun dengan anggun, tetapi juga menyobek bagian-bagian yang
telah rapuh dalam hidup. Bersama dengan itu terasa pula bunyi
yang ada dalam komposisi-komposisi itu lebih bebas. Ini
barangkali karena kegelisahan.
Tujuh kepingan dari Mikrokosmos Bela Bartok (Bulgarian Rythm,
Chord and Trill Study, Perpetuum Mobile, Short Canon and its
Inversion, New Hongarian Folk Song, Chromatic Invention, dan
Ostinato) merupakan nomor yang pantas dicatat. Dalam ke-7 cerita
ringkas itu, watak Bartok yang bohemian terasa nongol dan
memikat.
"Dalam membawakan komposisi yang dimainkan, saya berusaha
membawakan seperti apa yang dibuat komponisnya. Misalnya untuk
komposisi Bartok yang polyritmik", ujar Iravati. Sementara Rudy
yang berada di sampingnya membenarkan. "Saya berusaha agar
penonton bisa pulang membawa salah satu komposisi yang kami
mainkan. Bukan membawa pulang Iravati atau Rudy", kata Iravati
selanjutnya. Ini merupakan kalimat yang mencakup konsep
penampilannya malam itu.
Adanya usaha menampilkan komposisi-komposisi baru memang pantas
membuat piano duo ini menarik. Apalagi penonton tampaknya setuju
untuk mengatakan bahwa pasangan malam itu tetap kompak. Seperti
yang diakui Ira sendiri: "Kami sudah cukup mengerti apa yang
dikehendaki teman bermain. Sehingga saya tak akan mungkin
mencari pasangan yang lain".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini