RINGAN", seperti yang diantisipasi banyak orang, bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkan konser Bel Canto Seri Ke-6 di Hotel Dharmawangsa, akhir 22 Februari lalu. Yang terjadi, dan kemudian membekas dalam sanubari, adalah kepiawaian dalam membawakan lagu-lagu yang indah, intim, dan menggugah hati dengan ringan dan lepas, seakan tanpa beban. Dan mengingat bahwa lagu-lagu ini dipersembahkan oleh dua soprano terbaik di negeri ini, Binu D. Sukaman dan Aning Katamsi, dengan iringan piano virtuous Ananda Sukarlan, hal ini tidaklah mengejutkan.
Dan memang, "Malam Jazzy and Funky: Karya-Karya Vokal Komponis Amerika", yang menampilkan karya-karya Aaron Copland dan komponis-komponis Amerika abad ke-20 lainnya seperti George Gershwin, Leonard Bernstein, John Cage, Charles Ives, Alberto Ginastera, dan Elliot Carter, mengemban suatu misi yang lebih dalam daripada sekadar membuat musical statement bahwa tradisi musik vokal Amerika bukan hanya mengenai Broadway atau karya-karya musikal seperti An American in Paris (Gershwin) atau West Side Story (Bernstein). Karena banyaknya komponis lain yang diikutsertakan dalam program, konser ini juga tidak jadi dikemas sebagai perayaan 100 tahun komponis Aaron Copland, seperti yang menjadi tujuan awal pergelaran ini.
Namun, jangan dikira konser ini dimaksudkan sebagai sebuah apologia bagi kerancuan definisi tentang yang sampai sekarang disebut—itu pun secara sangat tentatif—sebagai "musik Amerika". Binu, Aning, dan Ananda bahkan lebih jauh mengatakan bahwa "musik Amerika" itu sendiri bagi mereka praktis tidak ada; yang ada hanyalah karya-karya komponis Amerika. Hal ini penting disimak, terlebih karena pada abad ke-20, musik dan seni telah berhasil membebaskan diri dari kungkungan konvensi ataupun batasan-batasan tradisional. Inilah yang membuat definisi dan apresiasi sebuah genre menjadi jauh lebih lentur.
Secara mendasar, tampaknya inilah yang berusaha ditampilkan—bahwa musik vokal Amerika tidak harus "lahir" dari suatu tradisi musik tertentu untuk mendapatkan pengakuan atau tempat yang layak dalam sejarah musik sebagai sebuah kategori atau sistem kesatuan. Dengan semakin "mendunianya" musik, pengakuan tersebut lambat-laun juga menjadi "milik" khalayak umum. Dan pada titik inilah kita bisa kembali kepada Aaron Copland.
Selama sekitar dua abad, Copland, yang secara langsung dan tidak langsung memberikan bentuk kepada "musik Amerika": sebagai musik yang demokratis, berorientasi kerakyatan, berbicara dalam bahasa sederhana dan mudah dicerna, dan penuh dengan inspirasi alam dan musik rakyat (folk music). Dalam konteks tersebut, bisa dikatakan bahwa semua komponis yang karyanya ditampilkan pada konser ini mempunyai hubungan dengan Copland, yaitu sebagai teman (Bernstein), murid (Ginastera), atau rekan (Carter). Sayangnya, latar belakang inilah yang membuat pencantuman kata "jazzy" dan "funky" sebagai tema konser ini terasa tidak tepat, sangat elementer, bahkan sedikit ironis. Ironis, karena apa yang bisa ditampilkan pada malam tersebut adalah sebuah khazanah musik yang demikian kaya—tidak hanya dari segi variasi, tapi juga dari segi kematangan, imajinasi, dan juga identitas. Bahkan, banyak karya yang dipersembahkan malam itu jauh dari kesan jazzy ataupun funky. Yang pasti, beberapa lagu terasa demikian hangat, intim, layaknya sesuatu yang disampaikan dari hati ke hati.
Lihatlah bagaimana Binu Sukaman melantunkan Why Do They Shut Me Out of Heaven, dan The World Feels Dusty, yang diambil dari karya Aaron Copland, Twelve Poems of Emily Dickinson. Kedua lagu ini, terutama The World Feels Dusty, membuktikan bahwa kekuatan kata-kata (baca: puisi) dan kekuatan musik bisa sama, sejajar, dan saling mendukung. Saya tidak bisa membayangkan komponis mana pun yang bisa mengemas desahan jiwa Emily Dickinson dengan begitu sederhana tapi mengena.
Keindahan dua lagu ini juga mempersiapkan kita untuk mencerna lagi sosok Binu dalam The Wonderful Widow of Eighteen Springs, karya meditatif John Cage yang terinspirasikan oleh novel James Joyce yang terkenal, The Finnegans Wake. Diiringi oleh ketukan Ananda Sukarlan pada empat titik tertentu piano yang tertutup, Binu, yang terbalut dalam sinar biru keperakan, menyanyi bak tersihir. Tersihir oleh kekuatan lirik James Joyce, seorang logofil legendaris, oleh kekuatan rintihan seorang eksperimentalis (John Cage), atau mungkin juga oleh kekuatan suaranya sendiri, yang dapat mengalun dalam melodi tiga-nada tanpa vibrato, dan masih mampu menggetarkan kalbu. Apa pun yang menyihir Binu dan menyihir kita pada saat itu, John Cage berbicara mengenai kesedihan dan kesunyian Irlandia. Dampak alam pada jiwa juga mengalir deras dalam lagu-lagu Charles Ives yang dilantunkan dengan penuh perasaan oleh Aning Katamsi. Terkesan bahwa komponis yang sering dibanding-bandingkan dengan Gustav Mahler ini melihat kehidupan sebagai sesuatu yang kelabu: dalam empat lagunya, ia berbicara mengenai masa kecil, penderitaan, kematian, dan kehidupan eternal—hal-hal yang semuanya bertolak belakang tapi terjalin dalam sebuah alur yang sama-sama gelap, berat, dan melankolis. Hampir semua lagunya menggunakan analogi alam, yang dilihatnya sebagai sumber, pengayom, sekaligus perusak kehidupan. Jika dimensi inilah yang menyebabkan Charles Ives sering disalahartikan oleh khalayak pencinta musik, saya rasa ini adalah murni masalah selera. Dan kunci kedua-duanya, interpretasi dan selera, masih tetap kebebasan.
Maka, apabila persembahan Binu, Aning, dan Ananda malam itu bisa dijadikan sebuah patokan, dan apabila kita sama-sama sepakat bahwa karakter jazzy atau funky juga bisa didapati dalam karya-karya seseorang yang begitu "Inggris" seperti Sir Michael Tippett, jazzy dan funky tidak dapat diatributkan secara eksklusif kepada "musik Amerika", yang notabene tidak mudah didefinisikan. Jadi, tema ini seharusnya ditiadakan saja karena ia menafikan esensi dari "musik Amerika" itu sendiri. Dari segi program, penyajian boleh terkesan tidak terstruktur. Tapi, saya pikir itu merupakan salah satu letak pesona konser ini: menitikkan air mata satu menit, tertawa terkikik-kikik setelahnya; terbuai ke alam masa lalu, untuk kemudian tersentak oleh kejamnya kekinian. Rata-rata lagu-lagu yang ditampilkan pun relatif pendek, hingga tidak terlalu sukar dinyanyikan secara bulat dan utuh. Belum lagi, Binu dan Aning bukan hanya penyanyi soprano yang andal, tapi juga pembawa-pembawa cerita (storytellers) yang terampil dan karismatis. Dan tentunya, menyaksikan Ananda—duta seni kita—menanggalkan mantel solisnya juga merupakan sebuah pengalaman yang menyegarkan, walaupun sering kali "iringannya" seakan "melumat" vokal Binu dan Aning.
Satu-satunya bagian dari konser yang mengingatkan saya pada nuansa Amerika ala Hollywood ataupun "musik Amerika" ala Broadway adalah sajian encore Never-Land, yang diambil dari karya Leonard Bernstein berjudul Peter Pan, yang menyatukan Aning dan Binu dalam sebuah duet penutup yang manis. "Troubles don't exist, no one is a pessimist, everyone's exactly what he wants to be" (Permasalahan tidak eksis, tidak ada seorang pun yang pesimistis, setiap orang menjadi pribadi yang dikehendakinya). Dan sesuai dengan formula Hollywood, kapan lagi memunculkan pesan ini, The Great American Dream, kalau tidak pada penutupan?
Hanya, kalau kita ingin adil, itu pun merupakan bagian tak terpisahkan dari pesona Amerika, yang pada akhirnya selalu mengembalikan pengharapan (hope) kepada rakyat jelata (the common man). Sengaja atau tidak, di sinilah letak tribut konser ini kepada Aaron Copland: setiap lagu yang ditampilkan merupakan manifestasi kecil dari mahakaryanya yang terkenal, Fanfare of the Common Man (fanfare rakyat jelata).
Laksmi Pamuntjak Djohan, pianis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini