SEPERTI terdorong angin politik yang tengah berubah arah, belakangan Taufik Kiemas enteng saja bersalat Jumat jauh dari rumah. Pekan lalu, ia rela datang ke Masjid Al Azhar, Jakarta Selatan, untuk bertemu dengan Amien Rais dan Akbar Tandjung. Usai salat Jumat, Akbar berpamitan karena Ketua DPR itu mempunyai acara lain. Sementara itu, di bawah rintik hujan, Amien dan Taufik langsung menuju sebuah ruangan di sebelah masjid untuk mengadakan pertemuan.
Sejumlah politisi ikut berbincang dalam silaturahmi selama satu jam lebih itu. Di antaranya Fuad Bawazier (PAN), A.M. Fatwa (PAN), Bachtiar Chamsyah (PPP), Hamzah Haz (PPP), Mahadi Sinambela (Golkar), dan M.S. Ka'ban (PBB). Tiada pesan yang dilontarkan Taufik usai pertemuan. Tapi, silaturahmi itu sendiri meninggalkan banyak makna.
Salah satu makna yang tersirat disampaikan Amien kepada TEMPO. Kata Ketua PAN itu, ada kesimpulan yang tak terucapkan, tapi semua orang sudah tahu, yakni, "Sebaiknya Gus Dur harus mundur. Makin cepat makin baik." Maka, selain demi menggalang persatuan, di mata Amien, pertemuan itu juga untuk menyiapkan mental kalau terjadi pergantian kepemimpinan nasional.
Di tengah kian menggumpalnya kekuatan anti-Presiden Abdurrahman Wahid di parlemen, kesimpulan Amien tak terlalu berlebihan. Bergabungnya Taufik Kiemas, yang selama ini dikenal sebagai penyokong Abdurrahman, akan semakin memperbesar daya serang. "Mungkin Mas Taufik mulai menyadari apa yang harus diperbuat saat ini," kata Arifin Panigoro, Ketua Fraksi PDI-P di DPR.
Bukan kali ini saja Taufik bersalat Jumat sambil bersilaturahmi. Dua pekan lalu, ia juga datang ke kantor Dewan Dakwah Islamiyah, Jakarta Pusat. Di sana, ia melakukan salat Jumat bersama sejumlah tokoh seperti Fuad Bawazier, Yusril Ihza Mahendra, Hidayat Nur Wahid, Jimly Asshiddiqi, M.S. Ka'ban, dan Eggi Sujana. Yang menjadi khotib dan imam adalah Amien Rais. Seusai salat, mereka mengadakan pertemuan, yang menurut Amien cukup berguna untuk mencairkan tembok politik antara PDI-P dan umat Islam.
Sekat politik tersebut memang pernah menebal menjelang Sidang Umum MPR 1999 lalu. Sebagian tokoh-tokoh Islam menolak calon presiden wanita. Dalam sidang, Megawati, yang dijagokan PDI-P, pun mendapat hadangan keras dari Poros Tengah dan akhirnya gagal menjadi presiden. Luka politik itu sekarang hendak diobati. Maka, Ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif perlu menegaskan bahwa organisasi tidak pernah mempersoalkan jenis kelamin. "Itu fikih kuno," ujarnya.
Bersama para pengurus Muhammadiyah lainnya, yakni Malik Fadjar, Ismail Suny, dan Din Syamsuddin, Kamis pekan lalu Syafii bertemu dengan Megawati di Istana Merdeka Selatan. Di situ terkuak jelas sikap Megawati. Kata Din, Mega tidak pernah mendukung Abdurrahman Wahid sebagai presiden karena kongres PDI-P telah mengamanatkan ketua umumnya menjadi presiden. Jadi, kata Din menirukan ucapan Megawati, "Saya bekerja sama dengan Presiden hanya sebatas tugas saya sebagai wakil presiden,"
Saat itu, sebuah pernyataan juga dilontarkan oleh PP Muhammadiyah. Intinya, organisasi itu memandang kepemimpinan nasional sudah tidak lagi memiliki legitimasi moral dan sosial. Ini tampak dari huru-hara di Sampit, Kalimantan Tengah, yang belum terselesaikan. Lalu, isyarat agar Abdurrahman Wahid mundur dinyalakan. Kata-kata yang disusun Muhammadiyah, "Diperlukan kearifan, keikhlasan, dan sikap kenegarawanan untuk memungkinkan terjadi upaya penyelamatan kepemimpinan nasional secara konstitusional." Dan, Megawati diimbau untuk mengatasi disintergrasi bangsa dan melakukan langkah penyelamatan kepemimpinan itu.
Tak ayal, dukungan Muhammadiyah itu membuat Megawati kian berkibar. Apalagi, sebagian besar fraksi-fraksi DPR juga menyokongnya. Lihatlah, pemandangan yang tak biasa di Bandara Halim Perdanakusuma, Kamis sore pekan lalu. Sepulang dari kunjungannya ke Sampit bersama Ketua DPR Akbar Tandjung, Mega disambut oleh hampir seluruh petinggi fraksi di DPR, kecuali dari PKB. Mereka adalah Hatta Rajasa (Fraksi Reformasi), Arifin Panigoro (PDI-P), Syamsul Mu'arif (Golkar), Ali Marwan Hanan (PPP), dan Ahmad Sumargono (PBB). Yang juga jarang terjadi, begitu turun dari pesawat, Megawati langsung mendatangi kerumunan wartawan. Lalu, ia memaparkan hasil pemantauan di daerah kerusuhan itu. Di mata Alvin Lie dari Fraksi Reformasi, yang juga hadir di situ, sikap Mega itu menyiratkan kesiapannya untuk memimpinan negeri ini.
Dari Halim, para politisi itu langsung menuju rumah Arifin Panigoro di Jalan Jenggala I No.4, Jakarta Selatan. Di sana mereka mengadakan pertemuan sampai pukul 9 malam. Dalam pertemuan itu, kata Alvin, mereka mendengarkan laporan masalah Sampit yang disampaikan oleh seorang anggota DPR yang ikut rombongan Megawati. Dan menurut Ahmad Sumargono, masalah rencana pemanggilan anggota Panitia Khusus DPR mengenai Buloggate dan Bruneigate juga dibahas. "Kalau soal koalisi permanen, itu sudah menjadi pembicaraan sehari-hari," ujar Ketua Fraksi PBB itu.
Diakui oleh Sumargono, dulu ia tidak setuju wanita menjadi presiden. Tapi, "Sekarang kan demi kepentingan bangsa," ujarnya. Apalagi, kata Ketua Persaudaraan Muslim Indonesia itu, itu sesuai dengan konstitusi bahwa wakil presiden akan menggantikan bila presiden mundur. Untuk membentengi Megawati, diperlukan koalisi permanen yang melihat hampir semua fraksi di luar PKB.
Selain itu, Sumargono juga memandang perlu segera dibuat rancangan kabinet koalisi. Agar efektif menjalankan pemerintahan, Mega harus didukung kalangan teknokrat dan profesional yang mempunyai kemampuan manajerial. Tapi, mereka harus didukung oleh partai-partai. Satu lagi, jatah kursi menteri untuk tiap-tiap partai, kata Wakil Ketua Umum PBB, harus pula sepadan dengan perolehan suaranya dalam pemilu.
Sebetulnya gagasan koalisi permanen itu diusung oleh para "koboi-koboi DPR" yang tergabung dalam Kaukus 11 November. Kelompok ini dibentuk seusai aksi curah pendapat yang diprakarsai oleh Kwik Kian Gie tahun lalu. Kebetulan semua pimpinan fraksi partai-partai besar di luar PKB menjadi anggota Kaukus 11. Sampai sekarang mereka terus mengadakan pertemuan informal di luar gedung DPR. Bahkan, menurut Fahmi Idris, salah seorang anggota Kaukus 11, hampir setiap Senin mereka mengadakan pertemuan di Hotel Darmawangsa di Jakarta Selatan.
Ide koalisi permanen itu tercuat dari pertanyaan Sophan Sophian, politisi PDI-P, dalam suatu pertemuan pada awal Februari lalu. "Kalau Gus Dur mundur, apakah Mega nanti juga akan di-Gus-Dur-kan?" demikian pertanyaan Sophan. Lalu, Fahmi mengusulkan adanya kesepakatan tertulis partai-partai untuk mendukung Megawati menjadi presiden sampai tahun 2004. "Bahkan semua ketua umum partai harus tanda tangan," ia menandaskan. Untuk memastikan jaminan itu, kata Ketua Fraksi Partai Golkar di MPR itu, Taufik Kiemas juga telah bertemu sebanyak tiga kali dengan Akbar Tandjung.
Toh, menuntut Arifin Panigoro, sampai saat ini wujud koalisi permanen itu belum jelas benar. Karenanya, soal pembagian kekuasaan pun belum bisa dibahas dalam pertemuan antara fraksi. Untuk menjaga kelangsungan pemerintahan nanti, ia mengusulkan agar sidang tahunan MPR ditiadakan sampai 2004. Pokoknya, "Kami maunya Megawati tidak dibohongi," ia menukas.
Walaupun jaminan bagi Megawati belum sepenuhnya didapat, rencana untuk menggusur Abdurrahman Wahid sudah cukup matang. Sejauh ini, menurut Fahmi, ada tiga skenario yang tengah digodok koalisi permanen. Pertama, mereka akan menekan dan mengusulkan agar Presiden Abdurrahman mundur dengan sendirinya. Skenario ini lebih aman. Tapi, kata mantan Menteri Tenaga Kerja itu, itu sangat bergantung pada jiwa besar Abdurrahman Wahid. Skenario kedua, lewat memorandum II DPR sampai akhirnya mengarah ke sidang istimewa (SI) MPR. Dan skenario terakhir, lewat penyelenggaraan SI yang dipercepat. Lewat tiga sudut serangan itu, ujar Fahmi, "Kali ini, Gus Dur tak bakal mampu menghindar."
Menariknya, kebanyakan jurus-jurus serangan itu diciptakan tokoh-tokoh yang dulu pernah aktif di Golkar. Figur seperti Din Syamsuddin, Fuad Bawazier, dan Arifin Panigoro dulu dikenal sebagai kader Golkar. Malah, Fahmi sampai sekarang masih aktif di partai yang kini dimusuhi kalangan pendukung Abdurrahman Wahid itu. Cuma, kata Achmad Sumargono, tidak bisa hal itu dikatakan sebagai manuver orang-orang Golkar. "Arifin, misalnya, sekarang kan di PDI-P. Dulu pun ia bukan kader utama di Golkar," katanya.
Yang pasti, serangan yang kian gencar itu membuat kalangan PKB sebagai pilar penyokong Abdurrahman berupaya bertahan. Sebuah pertanyaan menggelitik diajukan oleh Ali Masykur Musa, anggota Fraksi PKB di DPR, "Apakah percepatan pergantian kepemimpinan nasional bisa menjamin stabilitas politik dalam negeri?"
Diakui oleh Ali Masykur, sebagai suami Wakil Presiden, Taufik Kiemas mempunyai pengaruh besar di kalangan PDI-P. Tapi, ia bertanya lagi, "Apakah Taufik dan orang-orang di PDI-P semudah itu mengikuti kemauan kelompok Poros Tengah?" Keyakinan dia: PDI-P hanya akan dijadikan alat untuk menjatuhkan Abdurrahman Wahid.
Pada sisi lain, tidakkah PDI-P juga punya potensi sekadar menjadi alat untuk melanggengkan Abdurrahman Wahid? Menjatuhkan atau melanggengkan adalah ironis jika PDI-P, si pemenang pemilu, selalu hanya menjadi alat.
Gendur Sudarsono, Hadriani Pudjiarti, Dwi Arjanto, Rommy Fibri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini