Ada yang tak biasa di Mabes TNI Angkatan Darat. Kamis pekan lalu, puluhan mobil dinas perwira tinggi AD berjajar memenuhi halaman parkir markas besar yang terletak di kawasan Merdeka Utara, Jakarta Pusat itu. Sebuah hajat besar tengah digelar. Aula Abdul Haris Nasution menjadi saksi pertemuan yang mungkin akan menentukan arah sejarah masa depan republik ini.
Suasana tampak sangat serius. Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Endriartono Sutarto, si empunya hajat, sesekali membalas hormat para jenderal bawahannya. Sederet nama penting memasuki aula tempat pertemuan berlangsung. Bekas KSAD Jenderal Tyasno Sudarto, bekas Wakil Panglima TNI Jenderal Fachrul Razi, Kasum TNI Letjen Djamari Chaniago, Kaster TNI Letjen Agus Widjojo, dan para panglima kodam adalah sebagian perwira tinggi yang terlihat hadir. Bahkan, bekas Pangkostrad Letjen Agus Wirahadikusumah dan bekas Asisten Teritorial KSAD Mayjen Saurip Kadi, perwira yang dianggap berseberangan dengan Endriartono Sutarto, juga tak ketinggalan hadir.
Dalam pertemuan tertutup yang memakan waktu enam jam itu, dan diselingi dua kali istirahat, dibahas agenda mahapenting: sikap AD di tengah situasi politik yang makin panas. Walhasil, berbagai faksi dalam tubuh AD berhasil menyatukan suara. Usai pertemuan, Endriartono menegaskan sikap AD atas kasak-kusuk pencopotan Presiden Abdurrahman. "Kalau penggantian itu konstitusional, AD akan mendukung," katanya. "Namun, kalau proses konstitusional memutuskan presiden sampai 2004, kami akan mempertahankannya."
Netral, memang. Namun, dalam konteks perseteruan memanas antara Presiden dan parlemen belakangan ini, itu jelas menunjukkan AD?kekuatan dominan dalam TNI?tidak 100 persen mendukung Presiden. "AD tak lagi di belakang Presiden Abdurrahman Wahid," kata J. Kristiadi, pengamat militer dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Kristiadi mengaku tak asal omong. Dia memperoleh informasi tentang pembicaraan lebih lugas dalam pertemuan tertutup para jenderal itu. "Saya dapat bocoran dari jenderal tepercaya," katanya.
Apakah ini berarti kudeta? J. Kristiadi menyangkal kesimpulan itu. "Tentara tak akan berani melakukan kudeta," katanya. Alasannya, rakyat dan dunia internasional akan menentang habis-habisan. Langkah terbaik yang bisa dilakukan tentara adalah menunggangi kekuatan sipil yang memiliki legitimasi kuat. Dengan kata lain, tentara ada di belakang Megawati Sukarnoputri.
Kudeta militer memang sangat kecil kemungkinan terjadi. Tapi, "kudeta" jenis lain bukan sesuatu yang muskil. Apalagi, bila kita simak reputasi Jenderal Endriartono Sutarto. Alkisah, pada saat akhir kekuasaan Soeharto, Endriarto yang ketika itu menjadi Komandan Pasukan Pengaman Presiden telah melempangkan jalan bagi turunnya sang jenderal besar. Ceritanya, suatu hari pada Mei 1998, di tengah prahara yang merajalela, Endriartono menghadap Pangab Jenderal TNI Wiranto dan mengajukan permintaan yang luar biasa: Soeharto diharap segera mundur. "Wiranto akhirnya ikut meminta Soeharto mundur," kata seorang sumber TEMPO. Saat dikonfirmasi soal cerita seputar mundurnya Soeharto, Endriartono tak menyangkal.
Kini, menggenggam pangkat jauh tinggi di atas komandan pengawal, bukankah tidak mustahil dia mengajukan permintaan serupa kepada Abdurrahman Wahid. "Persoalannya bukan berani atau takut, tapi soal kepentingan bangsa," tutur Tono kepada Eddy Budiyarso dari TEMPO.
Sikap mengeras para jenderal AD bukannya tanpa alasan. Menurut J. Kristiadi, Angkatan Darat telah lama memendam kekecewaan. Presiden Abdurrahman dinilai sering memunculkan ide yang kontraproduktif. "Terakhir, rencana konyol Presiden untuk membubarkan DPR," kata J. Kristiadi.
Menghadapi terpaan badai politik yang makin kuat, barisan pendukung Presiden Abdurrahman Wahid melakukan perlawanan tak berarti. "Langkah Angkatan Darat jelas inkonstitusional," kata Taufikurrahman Saleh, Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa. Taufikurrahman punya alasan: "Gus Dur dipilih untuk jadi presiden sampai 2004," katanya.
Kini, Presiden Abdurrahman makin terpojok. "Kartu kuning" dari AD telah dijatuhkan. Tak jelas, jurus apa lagi yang akan dimainkan Presiden sepulang dari mencari "suara langit" di Padang Arafah.
Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini