HAMPIR tiap tahun Jakarta mengalami banjir. Perbedaannya cuma
dalam volume dan kehebatan akibatnya. Memang secara alamiah,
dilihat dari sudut letak Jakarta yang sebagian di bawah
permukaan laut, adanya daerah rawa dan muara beberapa sungai,
bisa dimengerti bila sejak dahulu kala Jakarta selalu kena
banjir. Sebelum VOC datang, Jakarta sudah selalu tergenang.
Penduduk membangun rumah menycsuaikan diri dan bersahabat dengan
air yang melimpah. Genangan air dimanfaatkan sebagai sarana lalu
lintas. Rumah dibangun bertiang tinggi -- rumah panggung. Air
banjir terkadang dinikmati bisa memancing ikan langsung dari
jendela.
Portugis dan Belanda menyadari masalah banjir Jakarta. Mereka
sempat juga berpengalaman pahit dengan genangan air. Mereka
mengalami sendiri kerusakan barang dan persediaan di gudang
serta bahaya penyakit karena pencemaran air dan lain-lain.
VOC pun kemudian mulai membangun kanal yang kemudian diteruskan
dalam pemerintahan kolonial Belanda. Mereka meniru pengalaman di
negeri asalnya yang tak saja kaya dengan air, dan bahkan hampir
seluruh daerah Negeri Belanda berada di bawah permukaan air
laut.
Hasilnya: selama penjajahan Belanda di Jakarta, tidak terdapat
catatan akan bahaya banjir seperti sekarang ini. Yang ada ialah
genangan air dan udara lembab, sehingga mereka memperluas kota
Jakarta dari daerah Pasar Ikan ke daerah Menteng dan Jatinegara
kemudian disusul dengan rencana Kebayoran Baru.
Cerita Baru
1976 banjir besar. Januari 1979 banjir lebih besar dan agak
aneh. Korban jiwa 20 orang.
Ternyata dari tahun ke tahun bahaya makin mencekam Jakarta.
Kerugian akibat banjir pasti sangat besar: mulai dari korban
jiwa, harta benda, sampai ke kerusakan sarana jalan, kemacetan
ekonomi, kehilangan jam kerja yang secara akumulatif pasti
bermilyar rupiah. Belum lagi korban perasaan dan ketidak
tenteraman.
Banyak analisa tentang sebab banjir: mulai dari got dan alur
sungai yang tidak mampu menampung air hujan sampah-sampah yang
menyumpal got dan alur tinggi permukaan Jakarta yang anjlok 10
cm karena terlalu banyak menyedot air tanah dan ditambah beban
berat bangunan ketidak-teraturan pembangunan yang mengakibatkan
tanah tidak mampu meresap air dengan cepat.
Banjir kiriman lain lagi: penggundulan di bukit-bukit,
pembangunan yang kurang terkendali mengakibatkan air hujan
segera tumpah ke kali dan dikirim ke Jakarta Naga-naganya
masalah banjir Jakarta cukup rumit dan jalan keluar yang tambal
sulam tidak menyelesaikan persoalannya. Perlu dipikirkan
alternatif jalan keluar baru.
Kanal Lingkar Luar dan Kanal Lingkar Dalam
Ternyata peninggian Jalan Thamrin tidak mengurangi bahaya
banjir. Banjir kanal dan got serta waduk yang ada ternyata belum
mampu menyedot dan menjinakkan air hujan yang besar. Rencana
pembuatan banjir kanal yang baru di Waduk Grogol sedang
dipersiapkan. Namun kalau dihitung secara matematis, bahaya
banjir Jakarta dengan kondisi dan kecenderungan yang ada
sekarang ini akan tetap besar. Hujan pasti akan tetap datang.
Pembangunan dengan pertambahan penduduk pasti akan menyita tanah
dan tumbuhan. Tumpahan air dari hulu pasti juga akan tidak lebih
sedikit dan bahkan pasti bertambah. Penyedotan air tanah jalan
terus. Beban Jakarta dan sampahnya pasti bertambah banyak.
Barangkali, di samping jalan keluar yang sekarang sedang dipikir
dan dilaksanakan ada baiknya mengkaji pemikiran baru yang
berdasar pendekatan alamiah: "Mari bersahabat dengan air dan
memanfaatkan air seperti nenek moyang kita telah
memanfaatkannya." Artinya, air jangan dilawan tetapi dijinakkan
dan dimanfaatkan.
Selama ini kita sangat terpesona akan pembangunan jalan raya,
jalan lingkar luar (outer ring road) dan jalan lingkar dalam
untuk mengatasi kemacetan lalu lintas. Jalan baru dibangun terus
dengan biaya yang cukup tinggi.
Tapi mungkin di tahun mendatang kita harus mengatur dan
merencana Jakarta sebagai kota air seperti halnya Bangkok,
Venesia, atau Amsterdam. Kali dan banjir kanal di Jakarta bisa
dikembangkan dan ditingkatkan menjadi kanal baru yang multi
guna: menampung banjir, tempat menanam ikan, sarana transportasi
(barang dan penumpang), sarana turis (acara keliling kota lewat
kanal seperti di Amsterdam).
Pembangunan kanal lingkar dalam dan lingkar luar dapat
direncanakan berbentuk huruf U, bermuara dengan pompa otomatis
di pantai Teluk Jakarta. Pantai harus juga ditanggul dengan
sempurna seperti halnya pantai di Negeri Belanda.
Permukaan air laut dan air kanal diatur dengan pintu air
(sluis). Apabila musim kering, air laut masuk kanal demi menjaga
tinggi minimum debit air untuk keperluan pelayaran di kanal
musim hujan air dipompa secara otomatis dari kanal ke laut.
Rencana ini pasti hebat dan mahal. Tetapi dapat dikerjakan
secara bertahap dan pada akhirnya pasti lebih murah daripada
jalan keluar tambal sulam. Tetapi paling urgen lagi ialah
menciptakan lapangan kerja baru bagi warga Jakarta mulai dengan
penggalian kanal dan pemanfaatan kanal. Juga menolong mengatasi
masalah transportasi yang mulai mencekik Jakarta.
Ide ini lebih jelas lagi mengingat pengalaman Amsterdam dan
Batavia. Penormalisasian kanal buatan Belanda di Jakarta Pusat
pada akhir-akhir ini ternyata telah mengurangi bahaya banjir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini