Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Campur aduk bukan betawi

Dalam rangka lokakarya teater betawi topeng belantek yang diselenggarakan oleh dinas kebudayaan dki, tampil 4 grup. tontonan berisi beberapa pertunjukan lepas sehingga lebih merupakan gado-gado. (ter)

17 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA grup Topeng Belantek tampil di Gedung Pusat Pengembangan Kesenian DKI Jakarta -- Kuningan tanggal 3 Pebruari ini. Masing-masing dari Citayam, Ciseeng, Boyong Gedeh. Esok harinya, masih sempat dimainkan grup keempat asal dari Pondok Rajeg. Semuanya dalam rangka Lokakarya Teater Betawi Topeng selantek yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan DKI. Panitia kelihatannya terperanjat, bungah, mendapati sebuah bentuk teater rakyat di bagian Selatan daerah kulturil Betawi. Lalu buru-buru melimpahkan kepada Rachmat Ruchiat dan Srijono Sispardjo membuat kertas kerja, masing-masing berjudul: "Pembinaan Dan Pengembangan Topeng Belantek" serta "Topeng Belantek dan Permasalahannya." Ditunjuk juga Kasim Achmad dan Yulianti Parani sebagai pembandingnya. Bernafas Islam Dari empat pertunjukan yang dapat disaksikan, kita dihadapkan kepada sebuah bentuk tontonan dalam keadaan sangat sederhana. Tehnik bermain amat bersahaja. Pertunjukan memperlihatkan tidak adanya kehidupan yang kontinyu yang sudah mengasah ketrampilan para pendukungnya. Seakan-akan ia hanya sisa-sisa yang sudah ditolak oleh masyarakatnya. Dari beberapa segi ia menunjukkan persamaan dengan Topeng Betawi dan Lenong. Sebagaimana umumnya teater rakyat, ciri utama Topeng Belantek adalah lugu, akrab dan anti formalitas. Merek tidak memiliki disiplin waktu. Imajinasi juga sangat terbatas. Tontonan itu merupakan gado-gado antara tari lepas, nyanyian, guyonan, penampilan sebuah cerita utuh untuk kemudian diakhiri dengan sulapan. Dinyatakan oleh pemrasaran bahwa Belantek bernafaskan Islam, karena ia dianggap lahir dan tumbuh dari musik yang disebut "rebana biang," yang memang dekat dengan Islam. Keempat grup yang tampil juga memiliki lagu-lagu "Dzikir" dalam bahasa Arab. Lagu-lagu ini di dalam bahasa Betawi disebut "lagu Gunung", "lagu topeng" atau "lagu Sarkawi." Mengenai ke-lslam-annya, ada beberapa peserta lokakarya yang berpendapat lain. "Jangan hanya karena pertunjukan dimulai dengan membaca 'Bismillah', sebuah pertunjukan dikatakan bernafaskan Islam," kata seorang tokoh Betawi. Topeng selantek mungkin sekali pada suatu masa pernah dipakai untuk dakwah. Tetapi inipun memerlukan penyelidikan. Yang jelas, malam itu grup dari Ciseeng juga sedikit menyinggung soal agama. Tetapi lebih merupakan usaha untuk membela diri, supaya orang yang taat heribadah, jangan lalu jadi fanatik dan menolak seni. Usaha iru justru menunjukkan bahwa benruk reater ini pernah mendapat tantangan dari kalangan tertentu. Yang juga tidak dapat disetujui oleh beberapa pihak adalah soal ke-Betawian Belantek. Seorang tokoh Betawi tampil dan bersuara "Selama 50 tahun sebagai orang Betawi saya belum pernah melihat yang dinamakan topeng Belantek. Saya terkejut waktu mendengar ini dianggap sebagal kekayaan budaya setawi." Tambahnya pula "Tontonan ini malah lebih banyak merusak bahasa setawi karena unsur-unsur Sundanya yang menonjol. Pencaknya pencak Sunda." Pada akhir lokakarya, tidak diputuskan apakah selantek memang bernafaskan Islam dan merupakan kekayaan asli Betawi bahwa Belantek memiliki ciri-ciri yang bersamaan dengan kesenian Betawi lainnya dalam soal bentuk maupun jiwanya, itu disepakati. Adapun kekhususannya menonjol karena Belantek sebagai tontonan berisi beberapa pertunjukan lepas sehingga lebih merupakan gado-gado. sarangkali ini sesuai dengan arti kata "belantek" yang menurut Srijono Sispardjo dapat disalin dengan campur aduk atau tidak keruan. Dalihjiun, seorang tokoh topeng dari Cisalak (45 tahun) diundang bicara mengenai kata "topeng". Di dalam pertunjukan Belantek ridak dipakai topeng yang juga dapat diartikan "kedok". Dalihjiun yang sekarang memimpin Topeng Kinang Putra di Cimanggis, mengaku bahwa ia sendiri tidak tahu apa sebenarnya arti "topeng". Pada waktu Ibunya masih menjadi sripanggung," orang selalu menunggu nomor waktu ibunya keluar memakai topeng. Tapi waktu itu kalau ada pertunjukan yang jelek, diejek dengan menyamakannya dengan topeng Relantek," ujar Dalihjiun. Sebuah Oncor Satu ketika Dalihjiun penasaran, tanya kepada babenya, apa yang disebut topeng Belantek. Ternyata didapat kererangan, topeng Belantek adalah topeng yang belum jadi. Maksudnya penari-penari topeng yang buruk, ditampung di dalam selantek sampai mereka cukup pintar. "Jadi kalau kemudian mereka sudah tambah pinter, wajar kalau Relantek itu tidak ada lagi," ujarnya. Dari keempat Belantek yang diragakan di dalam lokakarya jelas tercermin keterangan Dalihjiun. Dengan mempergunakan sebuah oncor di tengah arena, para pemain selantek memperlihatkan kelasnya yang memang masih di bawah Lenong atau Topeng Betawi. Akan tetapi dari kekurangan iru tiba-tiba saja muncul rasa kerakyatan dan keintiman yang aneh, karena ditontonkan bukan di depan masyarakat di mana mereka lahir. Misalnya, pemain yang kebetulan sutradara tak segan-segan memberi instruksi pemainnya sementara pertunjukan berlangsung. Atau seorang pemain yang tiba-tiba berkata: "Jadi rumah lhu di sini, kenapa mesti putar-putar tadi? Kan bisa melompat saja." Mengenai pengembangan Belantek, pemrasaran Rachmat Ruchiat mengusulkan untuk menguntit jejak lenong sebagaimana pernah dikerjakan oleh Sumantri. Atau mengikuti pola pencangkokan dengan memasukkan bibit pembaharuan ke dalamnya, hal yang sudah dikerjakan dalam sebuah pertunjukan di Condet. Kedua cara ini tampaknya mengandung kemungkinan akan mencabut selantek dari akarnya. Sebab Topeng Belantek yang hidup di pinggiran Jakarta Selatan, nyaris di wilayah Bogor itu memang payah. Jangankan berkembang, bertahan saja sudah bagus. Mereka kelihatannya bahkan tak mengenali lagi diri mereka sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus