TIGA grup Topeng Belantek tampil di Gedung Pusat Pengembangan
Kesenian DKI Jakarta -- Kuningan tanggal 3 Pebruari ini.
Masing-masing dari Citayam, Ciseeng, Boyong Gedeh. Esok harinya,
masih sempat dimainkan grup keempat asal dari Pondok Rajeg.
Semuanya dalam rangka Lokakarya Teater Betawi Topeng selantek
yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan DKI.
Panitia kelihatannya terperanjat, bungah, mendapati sebuah
bentuk teater rakyat di bagian Selatan daerah kulturil Betawi.
Lalu buru-buru melimpahkan kepada Rachmat Ruchiat dan Srijono
Sispardjo membuat kertas kerja, masing-masing berjudul:
"Pembinaan Dan Pengembangan Topeng Belantek" serta "Topeng
Belantek dan Permasalahannya." Ditunjuk juga Kasim Achmad dan
Yulianti Parani sebagai pembandingnya.
Bernafas Islam
Dari empat pertunjukan yang dapat disaksikan, kita dihadapkan
kepada sebuah bentuk tontonan dalam keadaan sangat sederhana.
Tehnik bermain amat bersahaja. Pertunjukan memperlihatkan tidak
adanya kehidupan yang kontinyu yang sudah mengasah ketrampilan
para pendukungnya. Seakan-akan ia hanya sisa-sisa yang sudah
ditolak oleh masyarakatnya. Dari beberapa segi ia menunjukkan
persamaan dengan Topeng Betawi dan Lenong.
Sebagaimana umumnya teater rakyat, ciri utama Topeng Belantek
adalah lugu, akrab dan anti formalitas. Merek tidak memiliki
disiplin waktu. Imajinasi juga sangat terbatas. Tontonan itu
merupakan gado-gado antara tari lepas, nyanyian, guyonan,
penampilan sebuah cerita utuh untuk kemudian diakhiri dengan
sulapan. Dinyatakan oleh pemrasaran bahwa Belantek bernafaskan
Islam, karena ia dianggap lahir dan tumbuh dari musik yang
disebut "rebana biang," yang memang dekat dengan Islam.
Keempat grup yang tampil juga memiliki lagu-lagu "Dzikir" dalam
bahasa Arab. Lagu-lagu ini di dalam bahasa Betawi disebut "lagu
Gunung", "lagu topeng" atau "lagu Sarkawi." Mengenai
ke-lslam-annya, ada beberapa peserta lokakarya yang berpendapat
lain. "Jangan hanya karena pertunjukan dimulai dengan membaca
'Bismillah', sebuah pertunjukan dikatakan bernafaskan Islam,"
kata seorang tokoh Betawi.
Topeng selantek mungkin sekali pada suatu masa pernah dipakai
untuk dakwah. Tetapi inipun memerlukan penyelidikan. Yang jelas,
malam itu grup dari Ciseeng juga sedikit menyinggung soal
agama. Tetapi lebih merupakan usaha untuk membela diri, supaya
orang yang taat heribadah, jangan lalu jadi fanatik dan menolak
seni. Usaha iru justru menunjukkan bahwa benruk reater ini
pernah mendapat tantangan dari kalangan tertentu.
Yang juga tidak dapat disetujui oleh beberapa pihak adalah soal
ke-Betawian Belantek. Seorang tokoh Betawi tampil dan bersuara
"Selama 50 tahun sebagai orang Betawi saya belum pernah melihat
yang dinamakan topeng Belantek. Saya terkejut waktu mendengar
ini dianggap sebagal kekayaan budaya setawi." Tambahnya pula
"Tontonan ini malah lebih banyak merusak bahasa setawi karena
unsur-unsur Sundanya yang menonjol. Pencaknya pencak Sunda."
Pada akhir lokakarya, tidak diputuskan apakah selantek memang
bernafaskan Islam dan merupakan kekayaan asli Betawi bahwa
Belantek memiliki ciri-ciri yang bersamaan dengan kesenian
Betawi lainnya dalam soal bentuk maupun jiwanya, itu disepakati.
Adapun kekhususannya menonjol karena Belantek sebagai tontonan
berisi beberapa pertunjukan lepas sehingga lebih merupakan
gado-gado. sarangkali ini sesuai dengan arti kata "belantek"
yang menurut Srijono Sispardjo dapat disalin dengan campur aduk
atau tidak keruan.
Dalihjiun, seorang tokoh topeng dari Cisalak (45 tahun) diundang
bicara mengenai kata "topeng". Di dalam pertunjukan Belantek
ridak dipakai topeng yang juga dapat diartikan "kedok".
Dalihjiun yang sekarang memimpin Topeng Kinang Putra di
Cimanggis, mengaku bahwa ia sendiri tidak tahu apa sebenarnya
arti "topeng". Pada waktu Ibunya masih menjadi sripanggung,"
orang selalu menunggu nomor waktu ibunya keluar memakai topeng.
Tapi waktu itu kalau ada pertunjukan yang jelek, diejek dengan
menyamakannya dengan topeng Relantek," ujar Dalihjiun.
Sebuah Oncor
Satu ketika Dalihjiun penasaran, tanya kepada babenya, apa yang
disebut topeng Belantek. Ternyata didapat kererangan, topeng
Belantek adalah topeng yang belum jadi. Maksudnya penari-penari
topeng yang buruk, ditampung di dalam selantek sampai mereka
cukup pintar. "Jadi kalau kemudian mereka sudah tambah pinter,
wajar kalau Relantek itu tidak ada lagi," ujarnya.
Dari keempat Belantek yang diragakan di dalam lokakarya jelas
tercermin keterangan Dalihjiun. Dengan mempergunakan sebuah
oncor di tengah arena, para pemain selantek memperlihatkan
kelasnya yang memang masih di bawah Lenong atau Topeng Betawi.
Akan tetapi dari kekurangan iru tiba-tiba saja muncul rasa
kerakyatan dan keintiman yang aneh, karena ditontonkan bukan di
depan masyarakat di mana mereka lahir. Misalnya, pemain yang
kebetulan sutradara tak segan-segan memberi instruksi pemainnya
sementara pertunjukan berlangsung. Atau seorang pemain yang
tiba-tiba berkata: "Jadi rumah lhu di sini, kenapa mesti
putar-putar tadi? Kan bisa melompat saja."
Mengenai pengembangan Belantek, pemrasaran Rachmat Ruchiat
mengusulkan untuk menguntit jejak lenong sebagaimana pernah
dikerjakan oleh Sumantri. Atau mengikuti pola pencangkokan
dengan memasukkan bibit pembaharuan ke dalamnya, hal yang sudah
dikerjakan dalam sebuah pertunjukan di Condet. Kedua cara ini
tampaknya mengandung kemungkinan akan mencabut selantek dari
akarnya. Sebab Topeng Belantek yang hidup di pinggiran Jakarta
Selatan, nyaris di wilayah Bogor itu memang payah. Jangankan
berkembang, bertahan saja sudah bagus. Mereka kelihatannya
bahkan tak mengenali lagi diri mereka sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini