CHINESE SHADOWS
Oleh: Simon Leys
Penerbit: Penguin Books,
New York, 1977
SUDAH banyak buku mengenai RRC yang ditulis oleh orang Barat.
Namun sebegitu jauh buku-buku itu hanya dipenuhi dengan pujian
dan kekaguman. Dan itu seringkali kelewat batas -- sehingga RRC
menjadi mitos tentang masyarakat yang telah lama diidam-idamkan
umat manusia.
Akhirnya mitos itu dipecahkan oleh Simon Leys dengan bukunya
Chinese Shadows. Judulnya agak puitis. Simon Leys memang nama
samaran seorang pencinta keindahan. Nama sebenarnya adalah
Pierre Ryckmans, seorang sinolog dan ahli sejarah kesenian Cina
yang berasal dari Belgia. Kata pendahuluannya mengatakan ". . .
20 tahun dari seluruh kehidupanku dipersembahkan buat
mempelajari Cina, bahasanya kan kebudayaannya, negeri yang
kucintai lebih dari tanah airku sendiri."
Pasal ia menggunakan nama samaran itu punya ceritanya sendiri.
Leys telah menulis satu buku berjudul Les Habits Neufs du
President Mao (Pakaian Baru Ketua Mao). Buku tersebut tidak
bersahabat kepada Mao dan revolusi Cina. Dalam Chinese Shadows
ia mengungkapkan nama sebenarnya, lantaran "agen-agen RRC di
Eropa berhasil mengetahui rahasianya dan melaporkannya ke
Beijing (Peking)." Tadinya ia berharap tak dikenal, supaya
masih bisa bebas keluar masuk RRC.
Jarum Pentul
Chinese Shadows pun ternyata merupakan gambaran kelabu tentang
Cina, seperti yang dialami Leys ketika ia mengunjungi negeri itu
untuk kedua kalinya selama 6 bulan di tahun 1972. Ia mengatakan,
di balik ribuan kata propaganda yang dilontarkan mesin hubungan
masyarakat RRC dan para penulis Barat yang pro-RRC, tersembunyi
suatu kebohongan. Ia beruntung berhasil bisa memergoki kepalsuan
itu berkat kepandaiannya berbahasa Cina, sehingga bisa ngobrol
--secara sembunyi-sembunyi -- dengan orang kebanyakan.
Buat Leys, penulis-penulis Barat pengagum Cina tak lain dari
orang-orang yang tak tahu-apa-apa dan menulis buku setelah
membaca satu-dua nomorPeking Reviews, China Reconstructs dan
People's China serta serentetan bahan propaganda terbitan
Beijing. Edgar Snow, penulis buku klasik Red Stal Over China
disebut Leys sebagai"orang naif".
Satu hal menyolok. kata Leys, adalah kenyataan bahwa pemerintah
RRC telah membuat Cina yang luas dengan sekian ratus juta
penduduk tak lebih besar dari kepala jarum pentul. "Negeri itu
punya ratusan kota, cuma selusin saja yang boleh dikunjungi
orang asing. Dari 800 juta orang Cina, orang asing cuma boleh
pasang omong dengan 60 orang saja." Dan anehnya 12 kota dan 60
orang itu ya itu-itu juga. Ini, menurut Leys, didasarkan pada
ketakutan para penguasa Cina kalau-kalau suatu komunikasi bebas
antara rakyatnya dengan orang asing akan merusak pikiran
mereka.
Dengan menyesal Leys' bercerita bagaimana pemerintah telah
memperkosa segala aspek kebudayaan klasik Cina -- seperti seni
lukis, drama, kesusastraan, musik dan lain-lain -- dan
menggantinya dengan ideologi yang lempeng. Maoisme. Tujuannya,
kata Leys, adalah untuk "menghilangkan rasa peka intelektuil,
mencuci otak dan memompakan ideologi formil ke dalam tempurung
kepala yang sudah dikosongkan."
Leys menulis juga bagaimana realitas berbeda jauh dari teori.
Prinsip "samarata sama rasa" seperti yang didengungkan
propaganda cuma omong kosong belaka. Dalam birokrasi Cina
sekarang ada tak kurang dari 30 hierarki.
Untuk pembagian masyarakat itu Leys memberikan suatu ilustrasi.
Seorang diplomat Asia harus meninggalkan RRC karena tugasnya
telah selesai. Untuk kcnang-kenangan kepada pelayannya yang
telah sekian tahun melayani dia, dibelinya sebuah fulpen buatan
Cina. Tapi, para pejabat di Departemen Luar Negeri yang
sebetulnya atasan si pelayan, merampas fulpen itu. Ketika sang
pelayan melaporkan perampasan itu kepada si diplomat, ia
mengatakan: "Mereka merampas fulpenku. Mereka merampas
fulpenku."
Insiden kecil itu cukup memberi isyarat pada Leys bahwa jurang
antara pemimpin dan rakyat di RRC cukup dalam. Jadi, kata Leys,
tak mengherankan apabila dalam setiap kampanye politik buat
mengganyang seorang tokoh seperti yang kejadian atas diri Lin
Piao, Liu Shao-chi dan lain-lain, "antusiasme massa" selalu
meledak-ledak.
Dari pandangan ini Leys mengemukakan pendapat berbau ramalan
tentang hari depan para penguasa di RRC "Rakyat telah
berpengalaman mengubur 20 dinasti. Dinasti ini pun pasti akan
dikuburkan. Rakyat Cina tak berubah. Sebagai biasanya mereka
sabar, tak terburu-buru. Mereka tahu lebih banyak ketimbang
orang-orang yang menguasai mereka."
Chinese Shadows adalah gambaran negatif dan demistifikasi Cina.
Itu merupakan tamparan cukup 'keras buat mereka yang cuma
memuji-muji sistim politik dan masyarakat Cina. Namun di balik
itu Leys terlalu berat sebelah, sangat subyektif dan sedikit
cengeng. Ia tak mau mengakui sukses-sukses yang telah dicapai
pemerintah di daratan Cina.
Leys pergi ke RRC tahun 1972 semasa "Komplotan Empat" Chiang
Ching dan kawan-kawannya sedang jaya. Barangkali ia akan
mendapat gambaran yang agak lain kalau ia pergi lagi ke RRC
dalam dua atau tiga tahun terakhir ini. Sayangnya kemungkinan
itu kecil.
A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini