KELUH-kesah serta kecaman guru dan orang tua murid, bahwa banyak
dari murid-murid SD yang dalam pengajaran membaca permulaan
menggunakan metode SAS, setelah tamat kelas II belum pandai
membaca (TEMPO, NO. 41, 9 Desember 1978 halaman 32), saya kira
memang banyak mengandung kebenaran. Saya dapat mengerti apa
sebab timbul keluh-kesah demikian, dan apa sebab murid-murid
yang sudah dinaikkan ke kelas III belum juga pandai membaca.
Tetapi sebenarnya keluh-kesah itu dan adanya cacat dalam proses
mengajarkan membaca permulaan bukanlah hal yang baru di SD kita
sekarang.
Di antara tahun 1967 dan 1974, sebelum adanya instruksi untuk
menggunakan metode SAS, ribuan guru-guru SD dari seluruh pelosok
tanah air datang mengunjungi SD Laboratorium IKIP Malang, dan
dari mereka banyak kami mendengar bahwa murid-murid kelas III SD
pada umumnya belum pandai membaca. Jadi kekurangan dalam
pengajaran membaca permulaan di SD merupakan suatu cacat yang
lama, dan penggunaan metode SAS hanya berarti penggantian metode
saja, tetapi tidak berarti perbaikan dalam keadaan pengajaran
membaca permulaan di SD.
Oleh sebab itu sangatlah penting adanya bahwa keadaan "sakit
parah" dan gawat yang terdapat dalam seluruh pengajaran membaca
permulaan mulailah diperbaiki, sekarang juga. Dan marilah kita
berharap kiranya sukalah Pemerintah mulai mengayunkan langkah ke
arah perbaikan yang sangat dibutuhkan itu.
Sudah dalam tahun 1973 dapatlah kita membaca dalam sebuah
tulisan di Indonesia ini sebuah pendapat, bahwa:
-- suatu metode yang baik dapat mempercepat belajar membaca dan
menulis
-- kemampuan membaca mempermudah pertumbuhan bahasa
-- kemampuan membaca mempermudah pertumbuhan bahasa kemampuan
membaca dan penguasaan bahasa merupakan dasar untuk belajar
lebih lanjut.
Maka sejalan dengan itu dapatlah dikatakan, bahwa kemampuan
membaca merupakan faktor utama -- sekali pun bukan satu-satunya
faktor -- dalam usaha menciptakan sebuah sistim pengajaran
sekolah yang sehat, kuat dan mantab. Keluhan-keluhan di dalam
masyarakat tentang rendahnya mutu pengajaran dan pendidikan di
sekolah, tentang keengganan membaca pada murid dan mahasiswa,
tentang kecilnya daya serap murid, tentang peristiwa putus
sekolah yang begitu banyak, semua ini bersangkut paut dengan
kurangnya kemampuan membaca pada murid.
Kalau seorang murid SD sudah duduk di kelas III dan belum juga
pandai membaca, ia akan kehilangan kegemaran belajar dan
bersekolah tidak akan menarik baginya. Dan banyaklah hal-hal
negatif yang dapat disebabkan oleh sikap demikian pada murid.
Kalau orangtua murid, terutama di desa, melihat bahwa anaknya
yang sudah duduk di kelas III belum juga pandai membaca,
besarlah kemungkinan ia berpikir: Adakah gunanya anak saya ini
bersekolah? Lama masa belajar pada Sekolah Dasar PPSP agaknya
mau dijadikan lima tahun, sudah tentu dengan tidak mengurangi
mutu pengajarannya. Dapatkah hal ini tercapai bila
murid-muridnya kelas III belum juga lancar membaca?
Membaca permulaan menduduki posisi sentral di dalam seluruh
kurikulum SD. Oleh sebab itu, membiarkan saja mata pelajaran ini
di dalam keadaannya sekarang akan menyebabkan makin merosotnya
mutu pengajaran dan pendidikan pada seluruh sistim persekolahan
kita.
Kemampuan membaca adalah faktor menentukan dalam berhasil
tidaknya usaha belajar seorang murid. Tetapi kemampuan dan
keterampilan serta kegemaran melnbaca hanya dapat diperoleh
murid melalui suatu metode membaca permulaan yang disusun secara
sehat dalam arti metodologis dan didaktis, dan dapat merangsang
dan menantang kegiatan belajar membaca murid. Metode semacam itu
mesti dapat mengusahakan murid lancar membaca pada akhir kelas
I, sebelum dinaikkan ke kelas II.
Sudah terlalu lama membaca permulaan itu menjadi hambatan bagi
kemajuan pengajaran di SD kita.
C.A. PAKASI
Jl. Blitar 8
Malang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini