Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kepada Angin Dan Burung-burung

Burung merupakan pelengkap hobi bagi pemburu, mempunyai nilai komersial yang tinggi. Dan akibat penggunaan insektisida hama tanaman populasinya menurun. Masyarakat kurang memahami bahaya insektisida.

10 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG Inggeris akan menggunakan predikat eery, maksudnya, aneh dengan sedikit warna suram yang mengerikan. Begitulah, bahwa dalam blantika (atau belantara?) lagu-lagu pop modern sekarang ini, masih ada saja satu dua penyanyi atau kelompok penyanyi yang masih kampungan, yang sayup-sayup tapi ngotot mengingatkan kita bahwa dunia ini tidak melulu diisi dengan cinta, cemburu, patah hati dan air mata. Bahwa di sela-sela kesibukan dan perhatian kita masih ada ombak, petani, musim bunga, angin dan burung-burung. Dan yang juga mengherankan adalah bahwa menurut hitungan sebuah harian di ibukota, lagu-lagu begini berulangkali muncul di puncak tangga lagu-lagu pop. Nggak tahu bagaimana menghitungnya. Syukurlah. Barangkali memang masih banyak di antara kita ini yang mencintai alam dengan bunga, air, angin dan burung-burung itu. Rasanya, bahkan sudah ada yang mulai mengenang barang-barang itu dengan penuh rasa nostalgia: barang-barang itu sudah mulai langka! Dalam tahun 1974, kalau pagi hari saya membuka jendela rumah saya di Condet, beberapa ekor burung yang kesiangan akan terbangun kaget, meloncat dari dahan salak ke tanah, melakukan latihan pemanasan sebentar, kemudian terbang. Kalau para relasi datang dengan anak-anak mereka, anak-anak akan kegirangan meloncat-loncat menuding, "Burung, bajing! " Sementara itu secara berkala datanglah rombongan anak muda, bertiga, berempat atau berlima, dengan senapang angin. Dan rupanya saya ini munafik juga: saya tidak berusaha melarang mereka. Dan sekarang, mudah-mudahan segala burung dan bajing itu sudah sangat jarang kelihatan. Tapi masalah burung ini bukan masalah Condet, tapi masalah nasional. Di seluruh negeri ini kabarnya populasi burung sudah sangat menurun. Lenyaplah sudah burung-burung yang bertengger di kawat-kawat tilpon, yang membangunkan orang-orang Indonesia dari tidurnya di pagi hari. Hilang pula sudah burung-burung pemakan hama padi di pedesaan, sehingga hama itu dapat berkembang dengan suburnya. Ternyata burung tidak dapat menallan serangan manusia, dari tiga arah lagi. Ada sebab-sebabnya. Begini. Pertama, burung merupakan pelengkap hobi yang menantang bagi manusia yang memiliki senapan angin. Tapi, berapalah jumlah mereka dan berapa ekorlah yang dapat mereka tembak, kan? Kedua, burung ternyata ulempunyai nilai komersial yang tinggi, sebagai hiasan atau musik dalam sangkar, sebagai objek perlombaan, dan sebagai komoditi ekspor. Di samping sebagai lauk, tentu saja. Berbicara dengan salah seorang dari para eksportir (gelap) unggas ini mengingatkan kita pada kanker yang ganas, yang akar-akarnya menyusup sampai jauh ke desa-desa dan pegunungan, menyedoti burung-burung yang dapat diperdayakan oleh para rakyat yang butuh sekadar uang. Ketiga, burung-burung ini mati konyol, terbunuh tanpa sengaja ketika manusia menggunakan insektisida membasmi hama. Sebagian burung mati ketika insektisida disemprotkan, sebagian mati karena memakan bangkai hama yang mati kena insektisida. "Tapi," kata seorang ponakan, "insektisida itu kan khusus untuk hama dan tidak berbahaya untuk burung?" Nah, inilah suatu mitos. Tidak ada insektisida yang membasmi serangga tapi aman buat kita, apalagi buat burung. Begitu zat racun itu memasuki tubuh, melalui mulut, hidung atau kulit, dia akan bersenyawa dengan lemak dan tidak akan larut lagi, menanti tambahan dosis herikutnya. Kalau sudah cukup tinggi, burung atau orang itu akan menggelepar seperti nyamuk kena semprot, dan mati. Puyunghai Telor Semut Ada pukulan berat lain dalam hal penyemprotan ini. Ketika gelombang hama berangkat menyerang, mereka meninggalkan jutaan telur yang dapat berdikari sehingga menjadi jutaan hama yang akan menyerang dalam musim berikutnya. Ketika burung berangkat cari makan, mereka juga meninggalkan telur dan bayi-bayi, namun jika burung-burung ini tidak kembali, telur dan bayi-bayi tidak dapat berdikari menjadi burung. Sedangkan penitipan telur dan bayi belum mode di kalangan mereka. Seorang ponakan lain katanya pernah membaca bahwa jika burung-burung di dunia ini punah, dunia ini tidak dapat bertahan lebih dari dua tahun, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menutup semua permukaan bumi dengan serangga. Saya bilang, bisa saja, tapi ya mbok jangan terlalu pesimistis. Manusia ini terkenal ulet dan dapat menyesuaikan diri dalam segala keadaan. Kalau pun keadaan tanpa burung itu tiba, manusia masih akan terus menghuni bumi ini. Pada waktu itu, sehabis bekerja sepanjang hari, manusia akan duduk-duduk santai sambil menikmati kerupuk wereng, puyunghai telor semut, belalang steak, dsb. Waktu itu mungkin masih akan ada beberapa orang yang nyentrik, yang menyimpan rekamar. Iagu-lagu kuno mengenal ombak, musim bunga, angin dan burung-burung. Sebagai collector's item. Apalagi lagu-lagu itu diperdengarkan, orangorang yang normal akan berkomentar begini, "Mustinya lagu itu ditulis oleh tukang mimpi. Di mana pernah ada barang-barang seperti itu di dunia ini?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus