ORANG Inggeris akan menggunakan predikat eery, maksudnya, aneh
dengan sedikit warna suram yang mengerikan. Begitulah, bahwa
dalam blantika (atau belantara?) lagu-lagu pop modern sekarang
ini, masih ada saja satu dua penyanyi atau kelompok penyanyi
yang masih kampungan, yang sayup-sayup tapi ngotot mengingatkan
kita bahwa dunia ini tidak melulu diisi dengan cinta, cemburu,
patah hati dan air mata. Bahwa di sela-sela kesibukan dan
perhatian kita masih ada ombak, petani, musim bunga, angin dan
burung-burung. Dan yang juga mengherankan adalah bahwa menurut
hitungan sebuah harian di ibukota, lagu-lagu begini berulangkali
muncul di puncak tangga lagu-lagu pop. Nggak tahu bagaimana
menghitungnya.
Syukurlah. Barangkali memang masih banyak di antara kita ini
yang mencintai alam dengan bunga, air, angin dan burung-burung
itu. Rasanya, bahkan sudah ada yang mulai mengenang
barang-barang itu dengan penuh rasa nostalgia: barang-barang itu
sudah mulai langka!
Dalam tahun 1974, kalau pagi hari saya membuka jendela rumah
saya di Condet, beberapa ekor burung yang kesiangan akan
terbangun kaget, meloncat dari dahan salak ke tanah, melakukan
latihan pemanasan sebentar, kemudian terbang. Kalau para relasi
datang dengan anak-anak mereka, anak-anak akan kegirangan
meloncat-loncat menuding, "Burung, bajing! "
Sementara itu secara berkala datanglah rombongan anak muda,
bertiga, berempat atau berlima, dengan senapang angin. Dan
rupanya saya ini munafik juga: saya tidak berusaha melarang
mereka. Dan sekarang, mudah-mudahan segala burung dan bajing itu
sudah sangat jarang kelihatan.
Tapi masalah burung ini bukan masalah Condet, tapi masalah
nasional. Di seluruh negeri ini kabarnya populasi burung sudah
sangat menurun. Lenyaplah sudah burung-burung yang bertengger di
kawat-kawat tilpon, yang membangunkan orang-orang Indonesia dari
tidurnya di pagi hari. Hilang pula sudah burung-burung pemakan
hama padi di pedesaan, sehingga hama itu dapat berkembang dengan
suburnya. Ternyata burung tidak dapat menallan serangan manusia,
dari tiga arah lagi. Ada sebab-sebabnya. Begini.
Pertama, burung merupakan pelengkap hobi yang menantang bagi
manusia yang memiliki senapan angin. Tapi, berapalah jumlah
mereka dan berapa ekorlah yang dapat mereka tembak, kan?
Kedua, burung ternyata ulempunyai nilai komersial yang tinggi,
sebagai hiasan atau musik dalam sangkar, sebagai objek
perlombaan, dan sebagai komoditi ekspor. Di samping sebagai
lauk, tentu saja. Berbicara dengan salah seorang dari para
eksportir (gelap) unggas ini mengingatkan kita pada kanker yang
ganas, yang akar-akarnya menyusup sampai jauh ke desa-desa dan
pegunungan, menyedoti burung-burung yang dapat diperdayakan oleh
para rakyat yang butuh sekadar uang.
Ketiga, burung-burung ini mati konyol, terbunuh tanpa sengaja
ketika manusia menggunakan insektisida membasmi hama. Sebagian
burung mati ketika insektisida disemprotkan, sebagian mati
karena memakan bangkai hama yang mati kena insektisida.
"Tapi," kata seorang ponakan, "insektisida itu kan khusus untuk
hama dan tidak berbahaya untuk burung?"
Nah, inilah suatu mitos. Tidak ada insektisida yang membasmi
serangga tapi aman buat kita, apalagi buat burung. Begitu zat
racun itu memasuki tubuh, melalui mulut, hidung atau kulit, dia
akan bersenyawa dengan lemak dan tidak akan larut lagi, menanti
tambahan dosis herikutnya. Kalau sudah cukup tinggi, burung atau
orang itu akan menggelepar seperti nyamuk kena semprot, dan
mati.
Puyunghai Telor Semut
Ada pukulan berat lain dalam hal penyemprotan ini. Ketika
gelombang hama berangkat menyerang, mereka meninggalkan jutaan
telur yang dapat berdikari sehingga menjadi jutaan hama yang
akan menyerang dalam musim berikutnya. Ketika burung berangkat
cari makan, mereka juga meninggalkan telur dan bayi-bayi, namun
jika burung-burung ini tidak kembali, telur dan bayi-bayi tidak
dapat berdikari menjadi burung. Sedangkan penitipan telur dan
bayi belum mode di kalangan mereka.
Seorang ponakan lain katanya pernah membaca bahwa jika
burung-burung di dunia ini punah, dunia ini tidak dapat bertahan
lebih dari dua tahun, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menutup
semua permukaan bumi dengan serangga.
Saya bilang, bisa saja, tapi ya mbok jangan terlalu pesimistis.
Manusia ini terkenal ulet dan dapat menyesuaikan diri dalam
segala keadaan. Kalau pun keadaan tanpa burung itu tiba, manusia
masih akan terus menghuni bumi ini. Pada waktu itu, sehabis
bekerja sepanjang hari, manusia akan duduk-duduk santai sambil
menikmati kerupuk wereng, puyunghai telor semut, belalang
steak, dsb.
Waktu itu mungkin masih akan ada beberapa orang yang nyentrik,
yang menyimpan rekamar. Iagu-lagu kuno mengenal ombak, musim
bunga, angin dan burung-burung. Sebagai collector's item.
Apalagi lagu-lagu itu diperdengarkan, orangorang yang normal
akan berkomentar begini, "Mustinya lagu itu ditulis oleh tukang
mimpi. Di mana pernah ada barang-barang seperti itu di dunia
ini?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini