Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Bermula dari Galeri Agung

The Da Vinci Code mengambil sejumlah tempat bersejarah sebagai latar cerita. Imajinasi kreatif penulis masih sangat dominan

22 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

The Da Vinci Code meluncur menapaki babak-babak penting di Westminster Abbey, menjelang akhir cerita. Di dalam gereja yang berlokasi di London, Inggris, itu dua orang—Robert Langdon dan Sophie Neveu—tampak bergegas. Mereka sedang menuju ke satu titik di dalam gereja: makam Sir Isaac Newton. Keduanya memburu sebuah kunci untuk menguak rahasia Cawan Suci (Holy Grail) di dalam makam tersebut.

Cerita lalu mengalir menelusuri lorong-lorong di dalam gereja megah itu. Dibangun Raja Edward pada 1045, gereja bernama resmi The Collegiate Church of St. Peter itu bergaya katedral-katedral Amiens, Chartres, dan Canterbury. Lokasinya berada di sekitar- magnet Kota London, Sungai Thames dan Big Ben.

Sejak digunakan sebagai tempat penobatan William Sang Penakluk pada Natal 1066, gereja itu telah menjadi saksi upacara para bangsawan. Mulai penobatan Erdward Sang Pengaku, pernikahan Pangeran Andrew dan Sarah Ferguson, hingga pemakaman Henry V, Ratu Elizabeth I, dan Putri Diana.

Dan Brown dalam The Da Vinci Code menjadikan gereja itu sebagai latar cerita. Fokus utama Brown dalam karya keempatnya itu adalah makam Newton. Brown menulis, ”... saat ini Robert Langdon tidak tertarik pada sejarah kuno biara itu, kecuali pada pemakaman kesatria Inggris Sir Isaac Newton.”

Cerita petualangan di makam Newton itu telah memikat turis untuk membanjiri kompleks gereja. Sabtu siang dua pekan lalu, misalnya, antrean ratus-an pengunjung mengular di depan pintu masuk utama. Sejak 1998, Westminster Abbey memberlak-ukan tiket masuk ke dalam gereja. Harganya 10 pound sterling (sekitar Rp 150 ribu). Sejak itu pula, ada sejumlah marshal baru—petugas yang berjaga dalam gereja itu, berjubah panjang warna merah—direkrut. Awalnya, kebijakan itu ditujukan untuk mencegah para turis sekadar duduk-duduk di dalam gereja—menanti kereta supercepat Eurostar di Stasiun Waterloo, yang hanya berjarak sepelemparan batu dari kompleks gereja itu.

Menurut Martin Howles, salah seorang marshal, se-jak 1998 pengunjung gereja mulai membludak. Setelah novel The Da Vinci Code dirilis pada 2003, gereja itu pun dibanjiri ribuan pengunjung setiap hari. Mereka ingin melihat makam Newton seperti yang dikisahkan dalam novel. ”Makam itu ada di ruangan The Nave, sebelah kanan altar besar,” kata Howles kepada Citra Dyah Prastuti, pembantu lepas Tempo di London, seraya menunjuk jalan ke tempat itu.

Untuk mencapai makam itu, ada jalur khusus de-ngan sejumlah penjaga siap mengatur lalu-lalang pe-ngunjung. Pergerakan pengunjung pun tak bisa terlampau cepat. Begitu masuk, pengunjung diarahkan ke sisi kiri—ke bagian timur gereja—melintas di Lady’s Chapel, Confessor’s Chapel, sampai akhirnya tiba di sisi selatan gereja.

Di sisi selatan ini terdapat High Altar, lokasi peno-batan raja berlangsung. Tempat ini juga menjadi sak-si upacara kematian Putri Diana serta Ratu Elizabeth. High Altar tak mungkin luput dari perhatian pengunjung mengingat bentuknya yang megah, de-ngan altar keemasan dan mosaik Perjamuan Ter-akhir di latar be-lakangnya. Di sini para turis mengagumi keindah-an altar keemasan itu.

Kuburan Newton terletak dalam ruangan bern-ama The Nave and the Grave of the Unknown Warrior, di bagian tengah ke arah sisi barat gereja. Ukuran r-uangan The Nave jauh lebih besar jika dibandingkan dengan ruangan lain. Ini adalah bagian tengah ge-reja, tempat umat menyalakan lilin dan berdoa di hadapan altar.

Di tempat yang dikenal sebagai Sudut Ilmuwan itu terdapat monumen Newton, terbuat dari pualam putih dan abu-abu. Peti mati batunya memiliki sebuah panel yang memperlihatkan beberapa patung anak lelaki menggunakan peralatan matematika Newton. Di atas peti itu bertengger patung Newton sedang berbaring menyamping. Menurut catatan, Newton di-makamkan di dalam kompleks gereja pada 28 Maret 1727. Ia dibaringkan di Kapel Yerusalem dan diha-diri sejumlah bangsawan Inggris. Pengusung peti-nya adalah Lord Chancellor, dua orang adipati (duke), dan tiga orang bangsawan (earl).

Saat keluar dari gereja itu, yang juga menarik mungkin pemandangan di Abbey Shop, toko kecil yang terletak persis sebelum pintu gerbang keluar kompleks biara. Di antara deretan buku yang dipajang di sana tak ada karya Dan Brown, The Da Vinci Code. Yang ada justru buku ”penentangnya”—Da Vinci Code and the Secret of the Temple karya Robin Griffith-Jones.

Tahun lalu, ketika Westminster Abbey akan dijadikan lokasi shooting film The Da Vinci Code, kepala gereja itu menolaknya. Alasannya, novel Brown yang menjadi sumber film itu, ”tak masuk akal secara teo-logis”. Ini membuat kru film kemudian terpaksa memindahkan lokasi pengambilan gambar ke Katedral Lincoln, masih di Inggris.

Begitulah. Selain London, tempat lain sepe-rti Prancis dan Skotlandia pun dijadikan latar cerita oleh Dan Brown. Dan kisah novel misteri itu dimulai di Museum Louvre, Paris, Prancis, menjelang te-ngah malam. Kala itu, di Galeri Agung museum itu tergeletak sosok kurator Jaques Sauniere yang sudah tak bernyawa.

La Musee du Louvre—museum terbesar di dunia yang melatari novel Brown itu—membentang di antara Sungai Seine dan Rue de Rivoli, Paris. Bekas istana itu dibangun Philip Augustus di area sebuah benteng besar pada abad ke-12. Sekitar dua abad berselang, Charles V mengubahnya menjadi istana barang-barang seni. Semasa kekuasaan Henry IV (1589-1610), koleksinya kian bertambah. Sebagai pencinta seni, Henry mengundang ratusan seniman untuk tinggal dan bekerja di sana. Itu terus berlangsung hingga Napoleon menghentikannya 200 tahun kemudian.

Pada 1980-an, museum yang mengoleksi sek-itar 65 ribu benda seni itu diperbarui. Di halamannya di-bangun piramida setinggi sekitar 24 meter terbuat dari kaca dan baja rancangan arsitek Amerika berdarah Tionghoa, I.M. Pei. Dalam The Da Vinci Code disebutkan, piramida itu memiliki 666 jendela kaca. Aslinya, ia memiliki 675 jendela berbentuk berlian dan 118 jendela biasa.

Di museum itu juga terdapat bangunan piramida terbalik, La Pyramide Inversee. Piramida yang terletak di bawah tanah itu seluruhnya berbahan kaca. Yang jelas, untuk melihat semua koleksi di ruang pamer seluas sekitar 45 ribu meter persegi itu dibutuhkan kira-kira lima hari berjalan kaki.

Masih di Paris, Brown juga mengambil latar cerita di Gereja Saint-Sulpice. Gereja seluas 110 x 57 meter itu berlokasi di sudut Jalan Palentine di Place de Sulpice. Mulai dibangun pada 1646 dari sisa-sisa bangun-an gereja yang lebih kecil, Saint-Sulpice memiliki me-nara kembar yang tampak berat dan besar.

Dalam novelnya, Brown menyebut Garis Mawar alias Rose Line yang terdapat di ruang gereja itu. Sebetulnya, garis itu merupakan gnomon, semacam alat astronomi penunjuk waktu dengan bantuan sinar matahari. Alat itu dibuat atas permintaan Pastor Laguet de Gercy pada 1727 untuk membantu menentukan hari Paskah. Fungsi gnomon itulah yang membuat Saint-Sulpice aman dari kobaran api Revolusi Prancis. Hingga kini banyak yang percaya, termasuk Dan Brown, bahwa di tempat gereja itu berdiri merupakan lokasi pemujaan Isis—meski belum terbukti.

Terbang ke Skotlandia, Brown mengakhiri pe-tua-langan The Da Vinci Code di Kapel Rosslyn. Ini sebuah gereja di Desa Rosslyn, Middlothian, yang di-bangun pada abad ke-15. Desainer gereja itu, William Sinclair atau biasa dikenal St. Clair, merupakan keturunan para kesatria Norman yang menurut legenda memiliki hubungan dengan kesatria Templar, yang awalnya dibentuk untuk melindungi jalan para pezia-rah ke Yerusalem.

Kapel Rosslyn dikenal karena dua pilarnya, Apprentice Pillar dan Master Pillar, yang mengapit Journeyman’s Pillar. Brown menjuluki gereja berna-ma- asli Collegiate Chapel of St. Matthew itu dengan- ”Ka-tedral Kode-Kode”. Kapel itu juga dikenal sebagai ”Permadani dalam Batu” (The Tapestry in Stone), ”Sebuah Taman dari Batu” (A Garden in Stone), dan ”Gubuk Nomor Satu” (Lodge Number One). Yang di-sebut terakhir merupakan julukan masyarakat ibu kota Skotlandia, Edinburgh, karena memiliki kedekatan dengan pendiri organisasi Freemasonry.

Beberapa julukan itu menunjukkan Kapel Rosslyn memiliki sebuah pesan yang jauh melebihi gedung-gedung Kristen lain. Buku The Holy Blood and the Holy Grail (Baigent, Leigh, dan Lincoln) dan The Hiram Key (Knight dan Lomas) menulis bahwa ada kemungkinan gereja itu menyimpan Cawan Suci.

Itu memang bukan cerita baru. Legenda St. Clair mengisahkan tiga peti abad pertengahan yang terkubur di bawah Kapel Rosslyn. Beberapa kalangan menebak, isi satu di antara tiga peti itu adalah Holy Grail—meski hingga kini penelitian yang digelar belum membuktikannya. Brown menjadi orang kese-kian yang mempercayai legenda itu.

Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus