Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sebuah Versi yang Taat

Ron Howard yang terlalu taat pada novel menampilkan sebuah karya yang tak terlalu menggebrak. Mengapa?

22 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

The Da Vinci Code Pemain: Tom Hanks, Audrey Tautou, Ian McKellen, Jean Reno, Paul Bettany Naskah: Akiva Goldsman (skenario), Dan Brown (novel) Sutradara: Ron Howard Produksi: Columbia Pictures, 2006

Museum Louvre di sebuah malam. Detak- se-patu yang bergegas itu mendekati se-buah- jenazah yang diletakkan sedemikian, se-perti sebuah ”karya seni” yang keji. Dan pembaca fanatik novel populer Dan Brown a-kan segera tahu, itu detak sepatu Profesor Robert Lang-don, hero kita dan inspektur polisi sialan Bezu Fache.

Tetapi, apakah wajah, sosok, gesture, dan penam-pil-an mereka memenuhi imajinasi para pembacanya?

Inilah film yang paling ditunggu dalam dua t-ahun terakhir. Lebih dari 45 juta pembaca buku The Da Vinci Code harap-harap cemas menanti-na-nti bagaimana sutradara Ron Howard menyuguhkan tafsir atas novel Dan Brown itu ke atas layar lebar. Tak kurang petinggi Prancis ikut-ikutan memilih casting pemeran Sophie.

Seorang sutradara akan dihadapkan pada dua -pilihan ketika membuat versi layar lebar dari se-buah- novel yang sudah dihafal luar kepala oleh para -peng-ge-marnya: taat pada naskah asli, atau membuat tafsir be-bas.

Yang mana pun dipilih, ada satu hal yang harus diingat. Buku dan film adalah dua kesenian yang berbeda. Setaat apa pun sineas itu, dia harus mampu me-nerjemahkannya ke dalam bahasa gambar. Karena itu, ketika sebuah novel diangkat, seorang sineas dan penulis skenario harus menciptakan kembali; bukan hanya memindahkan dan menyemprotkan kata-kata itu ke atas layar lebar.

Kesalahan utama sutradara yang terlalu setia dan fanatik pada sebuah kebesaran novel, susunan a-de-gan pada seni sastra memiliki fitrah yang berbeda de-ngan seni visual. Itu yang terjadi pada Harry Potter and the Sorcerer’s Stone. Dan itu pula yang terjadi pada film Da Vinci Code. Ron Howard, sutradara terkemuka yang pernah menggebrak dengan A Beauti-ful Mind itu, memilih jalan ini. Dia merasa modal yang ia miliki dari Dan Brown sudah cukup karena dia menganggap Brown telah menyuguhkan novel dengan sangat filmis. Dia lupa, novel yang filmis itu tetap seni kata-kata.

Akibatnya, kita kemudian menyaksikan sebuah Pa-ris di malam hari dengan debaran jantung penuh harap. Thriller itu terlalu klasik, tidak menggebrak. Kurator Jacques Sauniere yang terbunuh di Museum Louvre, Paris, itu seperti kata novel berposisi seperti dalam lukisan terkenal Leonardo Da Vinci, Vitruvian Man. Telanjang dan mengepakkan tangan seperti elang. Ketika ia mengemukakan teori bahwa Maria Magdalena mengandung anak Yesus, Brown memperkuat argumen dengan lukisan The Last Supper dan Virgin of Rock milik Leonardo, juga kisah heroik Biarawan Sion dengan pasukan Kesatria Templar. Oke…, oke…, lalu?

Kita kemudian disuguhi sinematografi Paris yang indah, seperti kata novel. Bangunan-bangunan kuno seperti Museum Louvre di Paris, Gereja Westminster di London, Rosslyn Chapel di Skotlandia, menunjukkan keanggunan dan keindahannya. Tak ada yang tak disediakan oleh pengarang 42 tahun itu.

Hanya dalam beberapa menit, kita segera tahu, Howard membuang dialog Dan Brown yang puanjang. Bagus! Itu dia. Kita segera memasuki sebuah suasana film The Fugitive. Langdon dan Sophie dikejar-kejar polisi sepanjang film, dan mereka sibuk membuka kode yang nantinya akan menggebrak sejarah dunia. Kira-kira begitulah isi novel Brown yang bikin dunia guncang dan sinting.

Tapi The Fugitive itu menampilkan Harrison Ford, seorang aktor yang semula memang dibayangkan novelis Dan Brown saat menulis novel ini. Ron Howard memilih Tom Hanks yang rambutnya di-rebond. Tak apa. Dia aktor bagus. Tapi dia punya kualitas yang berbeda dengan Harrison Ford yang bisa masuk dalam kategori: ganteng, paruh baya, dan meyakinkan sebagai professor dan tak perlu punya romansa dan lawan mainnya.

Tom Hanks tetap mengisi kalbu, cuma lawan mainnya bikin kita mau mati.

Audrey Tautou, yang konon setengah mati dikejar- Ron- Howard, ternyata mirip sebuah boneka yang me-nga-gumi peran Tom Hanks sepanjang film. Dia imut dan- lucu, tapi ini bukan film Amelie. Kita tak yakin di-a punya masa kecil yang tragis dan kita lebih tak yakin lagi dia-lah- keturunan Maria Magdalena yang selama ini dikejar seluruh pen-juru dunia. Ekspresinya yang da-tar tak me-ngirim apa pun kepada penonton selain rasa kantuk.

Alhamdulillah, Ian McKellen- sebagai sejarawan Sir Leigh Tea-bing dan Paul Bettany yang berperan sebagai ”si albino” Silas merupakan pilihan tepat. Mereka berdua menghidupkan layar. Begitu kamera kembali pa-da Audrey Tautou, badan kita lemes seperti ke-rupuk disiram air. Bayangkan, kita harus menyaksikan acting kaku itu selama tokoh Neveu dan Langdon bekerja sama memecahkan pesan rahasia yang ditinggalkan Sauniere, kakek Neveu. Pesan-pesan itu terkait de-ngan misteri yang melingkupi sejumlah lukisan Leonardo, seperti The Last Supper dan Vi-r-gin of Rock, juga keterlibatan Leonardo dan Sauniere sebagai anggota Biarawan Sion yang berseberangan dengan Vatikan. Peran Maria Magdalena dalam sejarah agama Katolik juga diungkapkan dalam film. Neveu dan Langdon pun meminta bantuan Teabing untuk memecahkan pesan rahasia itu. Saat adegan bertiga Neveu, Langdon, dan Teabing, maka layar ber-sinar kembali. McKellen dengan latar belakang Shakespeare dan matanya yang bersinar itu meniupkan segala roh yang ada pada novel.

Adegan kejar-kejaran organisasi Katolik Roma O-pus Dei, polisi Inggris, dan Neveu-Langdon sebetul-nya- bisa lebih dramatik. Tapi Howard memilih humor-. Dan dia berhasil.

Peran polisi Bezu Fache, yang di-mainkan Jean Reno, sebetulnya ha-rus- pendek, gemuk, dan miste-rius se-bagaimana dalam novel. Gam-baran polisi dengan ”dagu yang menempel kuat pada dadanya” dan ”matanya seperti menghanguskan tanah di depannya” tak muncul pada Reno. Namun, Reno adalah Reno, seorang aktor veteran. Dia menampilkan sosok baru Fache, seorang polisi yang tinggi dan menyebalkan.

Bagaimanapun, Howard berhasil menghidupkan a-degan percakapan antara Langdon, Neveu, dan Tea-bing yang di dalam buku terasa rumit dan panjang. Dialog melelahkan tentang Maria Magdalena, Cawan Suci (Holy Grail), juga Biarawan Sion menjadi cair di tangan Howard. Ia mengeksplorasi lukisan The Last Supper yang memuat gambar Yesus dan Maria Magdalena sebagai alat bantu untuk menjelaskan kontroversi Maria Magdalena.

The Da Vinci Code adalah ”cermin” lain dari no-vel- Brown, dengan kelemahan di sana-sini, term-asuk (mung-kin) tak mulusnya penonton yang belum per-nah- membaca buku Brown untuk memahami film i-ni—juga teks terjemahan bahasa Indonesia yang menghilang tiba-tiba ketika film memasuki m-asalah sen-sitif saat membahas Yesus dan Maria Magdale-na. Te-tapi, hal yang paling memprihatinkan, de-ngan bia-ya Rp 1,1 triliun itu Ron Howard mestinya bi-sa membu-at karya yang jauh lebih menggebrak dari-pa-da film ini.

Yos Rizal S. dan Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus