FILSAFAT ILMU: SEBUAH PENGANTAR POPULER Oleh: Jujun S. Suriasumantri Penerbit: Sinar Harapan, Jakarta, 1984, 382 halaman BUKU ini merupakan sumbangan berarti bagi dunia perbukuan Indonesia yang masih gersang. Sebab, merupakan buku filsafat ilmu, pertama di Indonesia, yang ditulis secara populer sangat komprehensif, karena selain membahas masalah filsafat ilmu (an sich), juga membahas masalah bahasa, sangkut paut ilmu dengan kebudayaan, dan masalah penulisan ilmiah. Jujun Suriasumantri memulai bukunya dengan menjelaskan dasar-dasar pengetahuan. Sesudah itu, ia meningkat pada ontologi, epistemologi. Dan kemudlan berpindah ke sarana berpikir ilmiah: aksiologi ilmu dan kebudayaan, ilmu dan bahasa, penelitian dan penulisan ilmiah. Suatu horison yang amat luas sebenarnya untuk dicakup dalam satu buku. Kendati demikian, Jujun berhasil menyampaikan pesannya secara efektif terutama melalui gambar-gambar dan syair-syair yang sangat relevan. Tapi kekuatan buku ini sebenarnya terletak pada bagian-bagian sesudah Bab IV yang mulai membahas sarana berpikir ilmiah. Banyak buku filsafat ilmu diterbitkan. Tetapi, umumnya, kurang penekanan pada aspek sarana berpikir ilmiah, terutama mengenai hubungan bahasa dengan ilmu. Jujun memerlukan satu bab tersendiri untuk membahas masalah itu - suatu hal yang sangat terpuji karena orang Indonesia banyak yang tidak menginsafi betapa erat hubungan bahasa dan penguasaan bahasa dengan berpikir secara ilmiah (scientific thinkng). Misalnya bahasa Jerman, beserta strukturnya, sangat baik untuk mengutarakan analisa yang berat: pikiran metafisika, epistemologi dan ilmiah. Sebaliknya bahasa Prancis. Bahasa ini sangat baik untuk mengutarakan ide. Karena itu, para ahli bahasa Indonesia, beserta para ilmuwannya, mempunyai kewajiban moral menyempurnakan bahasa Indonesia, agar dapat berfungsi sebagai bahasa ilmiah bukan saja dalam menciptakan istilah-istilah baru, tapi juga menyempurnakan struktur dan kaidah-kaidahnya. Ini, antara lain, terlihat pada penggunaan kata ulang seperti bahan-bahan dan kapal perang-kapal perang. Bentuk jamak demikian sangat tidak efisien dalam penulisan ilmiah. Dalam bab "Nuklir dan Pilihan Moral", Jujun mengemukakan masalah penggunaan senjata nuklir pada Perang Dunia II. Pemilihan subyek ini sangat relevan. Juga diterbitkannya kopi surat Ilmuwan Albert Einstein kepada presiden AS Franklin Roosevelt sangat tepat. Kelemahan buku ini? Jika dicari-cari, tidak ada gading yang tak retak. Sebaliknya, kelebihannya jauh lebih banyak dari kekurangannya. Jujun, misalnya, tidak menyebutkan segi-segl yang tak dapat dijangkau oleh ilmu itu sendiri. Ilmu, sekalipun berdasarkan observasi, tetap bersandar pada semacam kepercayaan bahwa ada keteraturan dalam alam yang tidak dapat diamati dan diterangkan secara rasional. Science (ilmu dalam istilah Jujun) hanya dapat mengatakan tentang "what is and what is not". Sedangkan agama (tepatnya teologi) juga hanya dapat mengatakan tentang "what should and what should not". Di sinilah letak komplementaritas antara ilmu dan agama. Karena itu Einstein mengatakan, "Science without religion is blind, and religion without science is lame." Hal inilah yang benar-benar harus dimengerti khalayak ramai. Di samping itu, masih terlalu banyak orang menganggap ilmu sebagai magicbox, yang segala bisa. Padahal, tidak demikian. Pengertian ini, menurut saya, harus disampaikan kepada khalayak ramai secara populer. Hal ini sangat relevan dengan dilema pilihan menggunakan bom nuklir atau tidak menjelang akhir Perang Dunia II lalu. Kelemahan lain, buku ini hanya dilengkapi indeks sebanyak dua halaman - yang menurut saya sangat kurang. M.T. Zen
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini