SYARAH KITAB AL TAUHID MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB Oleh: Moehammad Thahir Badrie Penerbit: PT Pustaka Panjimas, Jakarta 1984, 244 halaman SYARAH baru pertama kali ini diperkenalkan dalam bahasa Indonesia dari sebuah buku, yang aslinya, berbahasa Arab. Syarah, yang artinya penjelasan dan penguraian secara luas tanpa mengganggu karya aslinya, merupakan tradisi keilmuan dalam lsiam. Di samping itu, dikenal juga hasyiyah (catatan kaki), yang blasanya terplsah dari naskah aslinya. Baik syarah maupun hasyiyah selalu menampilkan karya aslinya, yang biasanya berbentuk karya ringkas dan memerlukan penjelasan detail, yang kala itu menjadi kebanggaan pengarang untuk membuat "kitab ruwet" dan padat isi. Karya Thahir Badrie ini tidak demikian. Tak jelas pikiran siapa yang merasuk dalam buku setebal 224 halaman itu, jika saja pembacanya tak memaksakan diri untuk menyimak karya asli yang ditulis Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Tapi orang bisa menebak ketika Thahir Badrie memaparkan ssuatu dengan semangat Indonesia. Misalnya, ketika ia mengkritik ucapan sebagian orang Jawa kepada seseorang yang hendak bepergian dengan kata-kata: nyangoni slamet (membekali selamat). Menurut Thahir Badrie, yang agaknya memahami kenyataan secara harfiah, kata-kata seperti itu tak boleh ada. Sebab, yang berhak memberi selamat hanya Allah. Buku ini ternyata tidak memaparkan secara pasti tentang tauhid sebagai ilmu kalam. Buku Kitabuttauhid ini, yang tertulis Kitab Al Tauhid, tak sama dengan buku Risalatuttauhid karya Syaikh Muhammad Abduh, yang memaparkan secara jelas Ietak kepercayaan yang harus diyakini umat Islam dengan berbagal ragam pikiran yang pernah muncul memberi warna tauhid. Buku ini berbeda pula dengan kitab Aqidatul Awam, yang terdiri dari bait-bait intisari tauhid, yang acap kali didendangkan di surau-surau menjelang salat, yang dikritik Thahir Badrie sebagai bentuk yang tak memberi bekas apa pun, dan membuat mustamiin (pendengar) kurang menghiraukannya. Aqidatul Awam, tulis Thahir Badrie, tak punya penjelasan filosofis serta ramuan perkembangan budaya lingkungan masyarakat. Yang menarik, ada hal-hal yang tak disangka muncul dalam buku ini. Yaitu, penjelasan bahwa boleh mempergunakan mantra dari ayat-ayat Quran seperti pernah dilakukan sahabat Nabi. Memungut uang dari ini juga termasuk boleh. Bahkan memakai ayat Quran untuk jimat juga diperkenankan, dan tidak termasuk syirik (hal. 135-136). Meski pembahasannva agak bertele-tele, buku ini memiliki nilai untuk dibaca sebagai pengisi rohani kita. Keindahan tauhid tergambar melalui hikmah-hikmah yang dipaparkan. Muhammad bin Abdul Wahab adalah tokoh yang melahirkan paham Wahabiyah di Saudi, yang gaungnya kemana-mana, dan bahkan telah lama muncul di Indonesia. Musthafa Helmy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini