ASPEK HUKUM DAN ETIKA KEDOKTERAN DI INDONESIA
Oleh: Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A. dr. Kartono Mohamad
Penerbit: PT Grafiti Pers, Jakarta, 1983, 154 halanan.
SEORANG ahli sosiologi hukum tan seorang dokter telah bekerja
sama untuk menyusun buku ini. Sebagaimana diterangkan oleh
mereka dalam prakata, akhir-akhir ini masalah etika ketokteran
terus-menerus mendapat sorotan dari masyarakat. Dan pelanggaran
terhadap kode etik tidak jarang pula mengakibatkan seorang
dokter terlibat dengan hukum formal.
Namun, menurut kedua pengarang itu, mengaitkan pelanggaran kode
etik kedokteran secara tegas dengan hukum di Indonesia ternyata
tidak selamanya mudah. Karena pembicaraan tentang kode etik
kedokteran dan aspek hukumnya agak terputus dan kurang ada
benang penyambung yang jelas, maka buku ini disuguhkan kepada
masyarakat.
Benar, memang. Berdasarkan isi surat-surat kepada redaksi yang
dimuat dalam berbagai penerbitan pers, beberapa waktu lalu,
banyak sekali kecaman dari pihak masyarakat -- secara tepat
maupun tidak yang diajukan ke arah para dokter dalam melakukan
tugas mereka. Ada yang mengeluh tentang tarif yang dianggap
terlalu tinggi, ada yang mengkritik keengganan beberapa dokter
untuk mengadakan kunjungan kepada pasien di rumahnya, ada yang
marah-marah akibat diagnosa dan pengobatan yang salah yang
dilakukan oleh dokter tertentu.
Dan tak cuma itu. Ada juga berita-berita mengenai dokter
(laki-laki) yang mengganggu pasien wanitanya. Malahan ada dokter
yang sampai dibawa ke pengadilan sebagai tersangka, karena
dituduh menimbulkan kematian kepada pasiennya, dan pengadilan
telah menjatuhkan hukuman bersalah terhadap dokter yang
bersangkutan.
Semua kritik masyarakat terhadap para dokter, menurut kesan saya
dalam mengikuti berita-berita pers tersebut, sering kali
mencampuradukkan antara pengertian pelanggaran terhadap kode
etik (kedokteran) dan pelanggaran terhadap hukum. Pelanggaran
terhadap kode etik tidak selamanya merupakan pelanggaran
terhadap hukum. Tapi ada kalanya suatu perbuatan sekaligus
pelanggaran terhadap kode etik maupun terhadap hukum. Karena itu
memang tepat ada usaha bersama antara seorang ahli hukum dan
seorang dokter untuk membahas aspek hukum dan etika kedokteran
di Indonesia sekarang ini -- sebagaimana mereka katakan untuk
"menggugah pengertian dan motivasi".
Buku ini memberikan uraian populer tentang kedudukan sosial
dokter dalam masyarakat, mengenai sejarah sumpah dokter, tentang
etik kedokteran yang terwujud dalam Kode Etik Kedokteran
Indonesia. Disusul dengan pembahasan tentang tanggung jawab
hukum (baik perdata maupun pidana) dari seorang dokter dalam
penegakan hukum. Ditambahkan pula, sebagai lampiran, berbagai
undang-undang dan peraturan hukum lainnya yang menyangkut dunia
kedokteran, di samping teks lengkap dari Kode Etik Kedokteran
Indonesia yang merupakan hasil Musyawarah Kerja Nasional Etik
Kedokteran II di Jakarta, 14-16 Desember 1981. Kode Etik
Kedokteran Indonesia itu dibuat berdasarkan teks Kode Etik
Kedokteran Internasional, yang di sana-sini disesuaikan dengan
keadaan di Indonesia. Adapun lafal sumpah dokter di Indonesia
telah dikukuhkan dengan Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1960.
Mengenai Kode Etik Kedokteran Indonesia dalam buku ini diberikan
tafsiran tentang pasal-pasalnya. Tafsiran ini sifatnya pribadi
-- dengan sendirinya tidak mengikat. Oleh karena itu alangkah
baiknya apabila di kemudian hari ada tafsiran resmi dari Ikatan
Dokter Indonesia (IDI), yang disahkan oleh Kongres, sehingga
tafsiran itu mengikat.
Sekalipun untuk menjaga pelaksanaan Kode Etik Kedokteran ini ada
Majelis Kode Etik Kedokteran di Indonesia, ternyata, sebagaimana
disorot oleh para pengarang buku ini, belum ada
peraturan-peraturan atau mekanisme untuk mendeteksi serta
mengadili anggotanya yang melakukan pelanggaran. Termasuk pula
macam dan tingkat hukuman yang diancamkan (halaman 51).
Sebagai perbandingan dapat dikemukakan di sini bahwa di
lingkungan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ada Dewan
Kehormatan PWI untuk mengawasi pelanggaran terhadap Kode Etik
Jurnalistik. Dewan Kehormatan PWI berwenang memanggil seorang
wartawan anggota PWI yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap Kode Etik Jurnalistik -- terlepas ada atau tidak ada
pengaduan dari masyarakat. Dewan Kehormatan PWI berwenang
menjatuhkan hukuman disipliner terhadap wartawan yang terbukti
melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik.
Mutatis mutandis hal yang sama berlaku di lingkungan Persatuan
Advokat Indonesia (Peradin) dengan Kode Etik Advokatnya. Peradin
malahan memiliki Dewan Kehormatan di setiap cabangnya, sedangkan
Dewan Kehormatan Pusat merupakan dewan pembanding. Akan PWI
hanya memiliki Dewan Kehormatan di Pusat saja.
Pengalaman-pengalaman di lingkungan PWI dan Peradin kiranya
dapat dijadikan bahan untuk lingkungan kedokteran dalam menjaga
mutu dan integritas profesi.
Dalam bagian akhir buku ini dibahas peranan dokter dalam
penegakan hukum. Sayangnya, sekalipun dalam permulaan bab yang
bersangkutan (halaman 81) dikemukakan bahwa Kitab UU Hukum Acara
Pidana (KUHAP) telah menggantikan kedudukan HIR (Herziene
Indonesisch Reglement), yang dikutip ternyata hanya pasal-pasal
HIR saja. Seyogyanya, bersama-sama dengan pasal-pasal dari HIR
(sebagai pelengkap sejarah) dimuat juga pasal-pasal dari KUHAP
sebagai penggantinya. Apalagi buku ini terbit tahun 1983 dan
KUHAP telah diundangkan tahun 198i. Semoga hal ini dapat
dilakukan dalam edisi ke-2 yang akan datang.
Kendati demikian buku ini bermanfaat dibaca masyarakat umum
untuk mendapat pengertian tentang seluk-beluk dunia kedokteran.
Tapi apabila di lingkungan wartawan dan advokat bisa dijadikan
ukuran, yaitu banyak wartawan yang tidak mengetahui tentang Kode
Etik Jurnalistik dan banyak advokat yang tidak mengetahui
tentang Kode Etik Advokat, buku ini pun sangat berguna untuk
dimiliki setiap dokter.
S. Tasrif
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini