RENVILLE
Oleh: Ide Anak Agung Gde Agung.
Penerbit: Sinar Harapan, Jakarta, 1983, 385 halaman.
"ADALAH suatu ironi", kata Prof. Dr. von der Dunk dalam pidato
promosi Anak Agung, "bahwa Anda, seorang bekas menteri dari
Republik Indonesia mendapatkan gelar akademis tertinggi dari
Universitas Utrecht ini." Ironi, memang. Bukankah Universitas
Utrecht dulu terkenal sebagai tempat bersarangnya para pemikir
kolonial yang nyaris reaksioner? "Tetapi", kata promotor ini
melanjutkan, "pendiri universitas ini juga mendapatkan gelar
doktornya di Barcelona." Ketika itu Belanda sedang terlibat
dalam Perang 80 Tahun, dan ingin membebaskan dirinya dari
Spanyol.
Barangkali juga suatu ironi bahwa yang menulis studi mendalam
tentang aspek diplomasi dari konflik Indonesia-Belanda ini
adalah bekas perdana menteri Negara Indonesia Timur (NIT) --
suatu negara yang kehadirannya disponsori oleh Letnan Gubernur
Jenderal HJ. van Mook. Keraguan akan ini berhenti, kalau diingat
bahwa dalam kedudukannya sebagai perdana menteri itu Anak Agung
memupuk keharmonisan antara berbagai unsur kekuatan politik di
NIT. Sehingga mendapat pengakuan dari pemerintah Republik di
Yogya sebagai partner dalam usaha mendirikan negara yang penuh.
Ketika Belanda menjalankan agresi II, sebagai akibat kemacetan
dalam perundingan, Anak Agung meletakkan jabatannya sebagai
tanda protes. Kemudian setelah diangkat lagi ia berhasil
menggalang persatuan di antara beberapa "negara bagian" dan
"daerah swatantra" ciptaan van Mook, hingga tidak mernungkinkan
Belanda mendirikm Republik Indonesia Serikat (RIS) tanpa
Republik Indonesia sebagai suatu keutuhan. Dengan begini, agresi
II telah gagal sejak mulai dilancarkan.
Fokus utama dari buku ini ialah proses perundingan antara
Indonesia dan Belanda sejak di kapal Renville sampai dengan
Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag yang akhirnya
melahirkan Republik Indonesia Serikat. Dengan Renville (Januari
1948), yang disebut penulis sebagai "titik balik dalam hubungan
Indonesia-Belanda", konflik kedua negara ini telah dicampuri
oleh unsur-unsur internasional. Bahkan dimulainya perundingan
ini adalah akibat langsung dari resolusi Dewan Keamanan PBB yang
mengecam agresi I Belanda pada tanggal 20 Juli 1947.
Keterkejutan dunia melihat polah Belanda yang dengan tidak
semena-mena merobek-robek hasil yang telah dicapai dalam
Perjanjian Linggarjati menyebabkan Dewan Keamanan akhirnya
membentuk Komisi Tiga Negara untuk menjaga agar kedua belah
pihak dapat menyelesaikan konflik mereka dengan damai.
Dalam proses perundingan yang bertele-tele ini tampaknya ada dua
hal pokok yang dipakai delegasi Republik sebagai pertahanan
terakhir. Pertama, keutuhan Republik menjelang terwujudnya
negara serikat dalam kaitan ini dengan Kerajaan Belanda. Kedua,
keutuhan Tentara Nasional Intonesia (TNI) sampai terbentuknya
tentara negara baru itu. Dengan pertahanan terakhir inilah
diplomasi dijalankan dan berbagai konsesi diberikan. Suatu kesan
yang tak terelakkan dalam membaca buku yang cukup detil ini
ialah optimisme dan kepercayaan diri dari pihak Republik.
Bahwa optimisme itu ada dasarnya, pengalaman sejarah kemudian
telah menunjukannya. Tidak sampai setahun, RIS, hasil KMB, harus
gulung tikar. Namun dari sudut ilmu sejarah timbul juga
keinginan untuk mengetahui apakah kenyataan yang dihadapi oleh
para pemimpin Republik untuk bisa bersikap demikian? Selain
simpati internasional dan solidaritas dari "kelompok kiri"
negara-negara federal (seperti, NIT Pasundan, dan Madura) yang
diuraikan daiam buku ini, kita tidak mendapatkan jawaban lain.
Hal ini terasa timpang. Karena pergolakan dan pertentangan
politik yang melatarbelakangi berbagai tindak tanduk delegasi
dan militer Belanda cukup jelas diterangkan.
Selain itu ada dua hal penting yang semestinya dapat diberikan
oleh buku ini, tapi kurang terpenuhi. Pertama, tempat Renville,
dan perundingan-perundingan yang mengikutinya, dalam sejarah
perjuangan kemerdekaan. Kedua, peranan diplomasi dengan segala
aspeknya dalam studi perbandingan tentang sejarah lahirnya
negara-negara baru.
Adalah benar penulisan sejarah sangat ditentukan oleh ada
tidaknya bahan. Pada ketimpangan bahan yang tersedia inilah
tampaknya menyebutkan studi yang baik ini "terpaksa" memakai
perspektif Belanda, meskipun tetap diwarnai "moral" Indonesia.
Sebagaimana galibnya disertasi, buku ini "tak kenal ampun" bagi
mereka yang belum mempunyai pengetahuan dasar tentang masalah
dan latar belakang hal yang dibicarakan. Meskipun demikian, buku
ini semestinyalah merupakan "buku wajib" bagi para mahasiswa
atau siapa pun yang berminat dalam sejarah hubungan
internasional dan, khususnya, sejarah diplomasi Indonesia.
Taufik Abdullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini