Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Diplomasi di tengah laut

Pengarang: ide anak agung gde agung jakarta: sinar harapan, 1983 resensi oleh: taufik abdullah. (bk)

9 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RENVILLE Oleh: Ide Anak Agung Gde Agung. Penerbit: Sinar Harapan, Jakarta, 1983, 385 halaman. "ADALAH suatu ironi", kata Prof. Dr. von der Dunk dalam pidato promosi Anak Agung, "bahwa Anda, seorang bekas menteri dari Republik Indonesia mendapatkan gelar akademis tertinggi dari Universitas Utrecht ini." Ironi, memang. Bukankah Universitas Utrecht dulu terkenal sebagai tempat bersarangnya para pemikir kolonial yang nyaris reaksioner? "Tetapi", kata promotor ini melanjutkan, "pendiri universitas ini juga mendapatkan gelar doktornya di Barcelona." Ketika itu Belanda sedang terlibat dalam Perang 80 Tahun, dan ingin membebaskan dirinya dari Spanyol. Barangkali juga suatu ironi bahwa yang menulis studi mendalam tentang aspek diplomasi dari konflik Indonesia-Belanda ini adalah bekas perdana menteri Negara Indonesia Timur (NIT) -- suatu negara yang kehadirannya disponsori oleh Letnan Gubernur Jenderal HJ. van Mook. Keraguan akan ini berhenti, kalau diingat bahwa dalam kedudukannya sebagai perdana menteri itu Anak Agung memupuk keharmonisan antara berbagai unsur kekuatan politik di NIT. Sehingga mendapat pengakuan dari pemerintah Republik di Yogya sebagai partner dalam usaha mendirikan negara yang penuh. Ketika Belanda menjalankan agresi II, sebagai akibat kemacetan dalam perundingan, Anak Agung meletakkan jabatannya sebagai tanda protes. Kemudian setelah diangkat lagi ia berhasil menggalang persatuan di antara beberapa "negara bagian" dan "daerah swatantra" ciptaan van Mook, hingga tidak mernungkinkan Belanda mendirikm Republik Indonesia Serikat (RIS) tanpa Republik Indonesia sebagai suatu keutuhan. Dengan begini, agresi II telah gagal sejak mulai dilancarkan. Fokus utama dari buku ini ialah proses perundingan antara Indonesia dan Belanda sejak di kapal Renville sampai dengan Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag yang akhirnya melahirkan Republik Indonesia Serikat. Dengan Renville (Januari 1948), yang disebut penulis sebagai "titik balik dalam hubungan Indonesia-Belanda", konflik kedua negara ini telah dicampuri oleh unsur-unsur internasional. Bahkan dimulainya perundingan ini adalah akibat langsung dari resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengecam agresi I Belanda pada tanggal 20 Juli 1947. Keterkejutan dunia melihat polah Belanda yang dengan tidak semena-mena merobek-robek hasil yang telah dicapai dalam Perjanjian Linggarjati menyebabkan Dewan Keamanan akhirnya membentuk Komisi Tiga Negara untuk menjaga agar kedua belah pihak dapat menyelesaikan konflik mereka dengan damai. Dalam proses perundingan yang bertele-tele ini tampaknya ada dua hal pokok yang dipakai delegasi Republik sebagai pertahanan terakhir. Pertama, keutuhan Republik menjelang terwujudnya negara serikat dalam kaitan ini dengan Kerajaan Belanda. Kedua, keutuhan Tentara Nasional Intonesia (TNI) sampai terbentuknya tentara negara baru itu. Dengan pertahanan terakhir inilah diplomasi dijalankan dan berbagai konsesi diberikan. Suatu kesan yang tak terelakkan dalam membaca buku yang cukup detil ini ialah optimisme dan kepercayaan diri dari pihak Republik. Bahwa optimisme itu ada dasarnya, pengalaman sejarah kemudian telah menunjukannya. Tidak sampai setahun, RIS, hasil KMB, harus gulung tikar. Namun dari sudut ilmu sejarah timbul juga keinginan untuk mengetahui apakah kenyataan yang dihadapi oleh para pemimpin Republik untuk bisa bersikap demikian? Selain simpati internasional dan solidaritas dari "kelompok kiri" negara-negara federal (seperti, NIT Pasundan, dan Madura) yang diuraikan daiam buku ini, kita tidak mendapatkan jawaban lain. Hal ini terasa timpang. Karena pergolakan dan pertentangan politik yang melatarbelakangi berbagai tindak tanduk delegasi dan militer Belanda cukup jelas diterangkan. Selain itu ada dua hal penting yang semestinya dapat diberikan oleh buku ini, tapi kurang terpenuhi. Pertama, tempat Renville, dan perundingan-perundingan yang mengikutinya, dalam sejarah perjuangan kemerdekaan. Kedua, peranan diplomasi dengan segala aspeknya dalam studi perbandingan tentang sejarah lahirnya negara-negara baru. Adalah benar penulisan sejarah sangat ditentukan oleh ada tidaknya bahan. Pada ketimpangan bahan yang tersedia inilah tampaknya menyebutkan studi yang baik ini "terpaksa" memakai perspektif Belanda, meskipun tetap diwarnai "moral" Indonesia. Sebagaimana galibnya disertasi, buku ini "tak kenal ampun" bagi mereka yang belum mempunyai pengetahuan dasar tentang masalah dan latar belakang hal yang dibicarakan. Meskipun demikian, buku ini semestinyalah merupakan "buku wajib" bagi para mahasiswa atau siapa pun yang berminat dalam sejarah hubungan internasional dan, khususnya, sejarah diplomasi Indonesia. Taufik Abdullah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus