Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Saatnya Menuntut Ayah

Mahkamah Konstitusi menyatakan anak di luar nikah punya pertalian hak dengan ayahnya. Perlu pembuktian yang ditetapkan pengadilan.

27 Februari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI bawah kilatan lampu kamera, anak lelaki itu tersipu-sipu ketika ibunya mengecup pipinya. Saat sang ibu, Aisyah "Machicha" Mochtar, meminta dicium balik, si anak, M. Iqbal Ramadhan, berusaha mengelak. "Ini kado terindah buat dia," kata Machicha di rumahnya di Jalan H. Toran, Bintaro Jaya, Selasa sore pekan lalu, kepada Tempo. Kado yang dimaksud Machicha adalah kemenangannya dalam uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. "Anak saya segera bebas dari diskriminasi," ujar penyanyi dangdut pada 1990-an itu.

Iqbal adalah anak sulung Machicha dari pernikahan sirinya dengan Moerdiono (almarhum), Menteri-Sekretaris Negara pada era Orde Baru. Hingga kini berumur 16 tahun, Iqbal belum bisa mencantumkan nama Moerdiono di akta kelahirannya. Soalnya, sampai ajal menjemput, Moerdiono tak pernah secara terbuka mengakui Iqbal anaknya. Machicha yakin upaya panjangnya memperjuangkan status hukum anaknya akan berguna bagi semua anak yang lahir di luar pernikahan resmi. "Kemenangan ini bukan hanya untuk Iqbal, tapi juga untuk jutaan anak lainnya," kata dia.

l l l

Ingatan Machicha melayang jauh pada masa kampanye Pemilihan Umum 1992. Saat itu dia diundang Golkar menjadi bintang tamu ketika partai berlambang beringin tersebut menggelar kampanye di Singaraja, Bali. Karena tertidur di kantor kelurahan, Machicha datang terlambat ke arena kampanye. Tak bisa langsung naik panggung, dia duduk di kursi kosong, di barisan depan dekat panggung.

"Eh, rompinya bagus," lelaki separuh baya di samping Machicha tiba-tiba menyapa.

"Rompi artis," jawab Machicha tersipu. Saat itu usianya 22 tahun dan masih gadis.

"Boleh saya pinjam?" kata lelaki bersafari itu, menggoda.

Beberapa menit kemudian, pembicaraan mereka terpotong undangan pembawa acara yang mempersilakan Menteri-Sekretaris Negara Moerdiono naik mimbar. Machicha kaget karena lelaki bersafari itu ternyata Moerdiono, menteri yang bila muncul di televisi bicaranya terlihat terbata-bata. "Saat dia turun panggung, saya cium tangannya," kata Machicha.

Sejak perkenalan itu, hubungan Machicha dengan Moerdiono semakin lengket. Apalagi, seperti tahu arah angin, ke mana pun Moerdiono berkampanye, pengurus Golkar biasanya selalu mengundang Machicha.

Singkat cerita, pada 20 Desember 1993, acara khusus berlangsung di sebuah rumah di Jalan Perkutut, Bintaro Jaya. Ayah Machicha, Mochtar Ibrahim, menikahkan anaknya itu dengan Pak Menteri. Maharnya berupa seperangkat alat salat, uang tunai 2.000 riyal, dan satu set perhiasan emas-berlian. Sekitar 20 anggota keluarga dekat dan kerabat Machicha menyaksikan ijab kabul itu. Tapi, atas permintaan Moerdiono, pernikahan itu tidak pernah dicatatkan ke Kantor Urusan Agama.

Tak sampai dua tahun, Machicha pun mengandung. Akhirnya, pada 5 Februari 1996, bayi lelaki bernama M. Iqbal Ramadhan lahir lewat operasi caesar di Rumah Sakit Bunda, Menteng, Jakarta Pusat. Untuk memperlancar administrasi di rumah sakit, keluarga Machicha sepakat mencantumkan Agus Ibrahim, adik kandung ayah Machicha, sebagai "bapak" di surat keterangan lahir Iqbal.

Meski tak menyaksikan kelahiran, setelah Machicha dan si jabang bayi pulang ke rumah, Moerdiono langsung datang. Selanjutnya, Moerdiono rutin berkunjung dan memberi nafkah sampai Iqbal berusia satu tahun. "Dia pun sering menggendong Iqbal."

Sewaktu usia Iqbal menginjak tahun kedua, Moerdiono tak pernah berkunjung lagi. Pada 1998, Machicha pun nekat membeberkan pernikahan sirinya dengan Moerdiono kepada media. Tapi sikap Pak Moer tidak berubah: tak pernah berkunjung.

Tumbuh membesar, Iqbal makin sering mempertanyakan siapa ayahnya. Tak tega, sang kakek, Mochtar Ibrahim, meminta Machicha tak tinggal diam. Pensiunan lurah itu mendorong Machicha meminta pertanggungjawaban Moerdiono.

Pada Februari 2007, Machicha memohon bantuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Dua kali Moerdiono memenuhi panggilan komisi itu. Salah satu pertemuan berlangsung di Hotel Shangri-La, Jakarta. Moerdiono tetap tak mengakui Iqbal sebagai anaknya. Komisi merekomendasikan Machicha menempuh jalur hukum. Machicha lalu menggugat Moerdiono ke Pengadilan Agama Tigaraksa, Tangerang. Tiga pokok perkara digabungkan dalam satu gugatan: penetapan (isbat) nikah, pengesahan status anak, dan gugatan cerai. Tapi Pengadilan Agama menyatakan gugatan itu tidak bisa diterima.

Pada 2008, Machicha mengajukan permohonan isbat nikah secara terpisah. Bila ini dikabulkan, ia akan meminta pengesahan status anaknya. Lagi-lagi Pengadilan Agama menolak. Dalam pertimbangannya, Pengadilan Agama mengakui fakta hukum pernikahan Machicha dan Moerdiono berlangsung sesuai dengan syariat Islam. Tapi pengadilan menolak permohonan isbat nikah karena Moerdiono menikahi Machicha tanpa izin poligami dari istri pertama.

Gagal di jalur pengadilan agama, pada pertengahan 2010, Machica mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 1/1974 ke Mahkamah Konstitusi. Yang ia gugat pasal 2 ayat 2 yang mengharuskan pencatatan setiap perkawinan dan pasal 43 ayat 1 yang menyatakan anak di luar nikah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.

Kuasa hukum Machicha, Rusdianto Matulatuwa, berargumen, kedua pasal itu bertentangan dengan hak konstitusional Machicha yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945. Menurut dia, konstitusi juga menjamin setiap anak berhak atas kelangsungan hidupnya, tumbuh, serta terlindung dari kekerasan dan diskriminasi. Pada 17 Februari lalu, perjuangan Machicha pun menuai hasil. Mahkamah menyatakan pasal 43 ayat 1 bertentangan dengan konstitusi.

Menurut Mahkamah, anak di luar nikah tak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Si anak juga memiliki hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya. Syaratnya, hubungan darah anak-ayah bisa dibuktikan secara ilmiah atau berdasarkan alat bukti lain menurut hukum. "Ini keputusan revolusioner," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md.

Menurut juru bicara Mahkamah, Akil Mochtar, putusan ini berlaku untuk semua anak di luar nikah atau anak hasil perkawinan yang secara agama dianggap sah tapi dari sisi administrasi negara tidak tercatat atau siri. Akil menyatakan anak yang lahir sebelum putusan ini dibacakan bisa memakai putusan Mahkamah ini untuk mendapat hak perdata dari kedua orang tuanya. "Kalau tidak ada penyangkalan dari ayahnya, pejabat catatan sipil bisa langsung menerbitkan akta lahir," kata dia.

Jika ada sangkalan, ujar Akil, bisa diajukan gugatan ke pengadilan negeri dengan syarat ada pembuktian ilmiah atau alat bukti lain. Bukti ilmiah itu, misalnya, dengan tes DNA. Sedangkan bukti lain menurut hukum, kata Akil, bisa foto saat kedua orang tuanya menikah, dokumen pernikahan, atau keterangan saksi yang mengetahui pernikahan tersebut. "Semangat putusan ini kan melindungi anak," katanya.

Putusan Mahkamah ini mendapat pujian dari berbagai kalangan, khususnya para aktivis perempuan. Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Maria Ulfah Anshor, putusan Mahkamah itu telah mengakhiri kebuntuan yang berlangsung selama puluhan tahun perihal posisi anak di luar nikah. Setelah ada putusan tersebut, kata dia, anak-anak di luar nikah atau hasil nikah siri punya dasar lebih kuat menuntut hak mereka dari ayah biologisnya. Misalnya mendapat nafkah, perawatan, perlindungan, dan biaya pendidikan. "Bahkan sampai warisan," ujar Maria.

Meski jalan sudah terbuka, perjuangan Machicha belum selesai. Menurut dia, sebelum menuntut berbagai haknya dari keluarga Moerdiono, Iqbal perlu mengantongi surat penetapan pengadilan bahwa dia memang anak Moerdiono. "Saya berharap proses ini tak terlalu rumit," katanya.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mendorong Machicha dan Iqbal terus maju memperjuangkan hak-haknya tersebut. "Keberanian mereka berdua bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang," kata Arist.

Jajang Jamaluddin, Wayan Agus Purnomo, Anton Aprianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus