Sebuah film yang mengawinkan film kartun dan film aktor dan aktris dengan teknik dan akting yang sempurna. Hiburan yang serius. WHO FRAMMED ROGER RABBIT Sutradara: Robert Zemeckis Pemain: Bob Hoskins, Joanna Cassidy, Christopher Llyod SEMUA berlangsung begitu saja. Penonton langsung ditarik ke dalam dunia fantasi Toon Town, sebuah kota milik para kartun. Tampak kelinci kartun Roger Rabbit berkejar-kejaran dengan bayi Herman. Tiba-tiba "Cut!" teriak sutradara. Tapi jangan kaget, sutradara ini bukan kartun seperti Roger Rabbit, melainkan manusia sesungguhnya. Ia dengar muka beringas memaki-maki Roger karena aktingnya yang dianggapnya brengsek. Sementara itu, detektif Eddie Valiant (ini juga manusia sebenarnya karena diperankan oleh Bob Hoskins) mengintip peristiwa itu seraya menggerutu, "Huh, manusia kartun. Aku benci mereka!" Dan drama yang diawali dengan adegan pembuatan film di Toon Town itu pun dimulai. Kita dipaksa memasuki sebuah dunia tempat tokoh-tokoh kartun macam Roger Rabbit, Donald Duck, Bugs Bunny hidup bercampur-baur dengan manusia sebenarnya. Selain detektif Eddi Valiant ada pula produser Maroon. Ada pembunuhan. Ada intrik, ada keserakahan, dan ada cinta. Pokoknya, khas intrik dunia perfilman di mana-mana. Jadi, ini memang bukan film kartun biasa, juga bukan film dengan aktor dan aktris biasa. Ini sebuah perkawinan campuran keduanya. Tapi asimilasi itu tak sederajat. Persoalan rasialisme terasa sangat menonjol. Bangsa kartun yang filsafat hidupnya adalah untuk "tersenyum dan membahagiakan orang lain" itu tetap dianggap rendah oleh manusia. Dalam dunia manusia, tokoh-tokoh kartun macam Donald Duck hanya bertugas membuat manusia-manusia tertawa terpingkal-pingkal karena ulahnya di panggung. Tokoh kartun seksi seperti Betty Boop (lahir di zaman film masih hanya hitam-putih) akhirnya hanya jadi pelayan klub malam karena "saya tersingkir oleh tokoh kartun berwarna". Dan Jessica, oh Jessica, itu istri Roger Rabbit yang tubuhnya bak biola, adalah seorang penyanyi klub malam. Suaranya, yang diisi oleh Kathleen Turner, dan liukannya membuat semua lelaki (manusia beneran) ternganga-nganga. Salah satu pengagum Jessica adalah produser Acme, manusia betulan. Tapi sesungguhnya produser Acme yang mata keranjang itu mencintai bangsa kartun dan memikirkan masa depan mereka. Ia membuat sebuah surat wasiat bahwa studionya akan diwariskan kepada manusia kartun. Padahal Hakim Doom (Christopher Lloyd), seorang manusia kartun yang berkedok manusia betulan, berambisi memiliki Studio Acme. Sedangkan produser Maroon, yang selama ini memproduksi film Roger Rabbit, justru kepingin menjual studionya. Doom bersedia membeli studio Maroon asal studio Acme juga bisa dirang- kulnya. Maka, Maroon pun merancang tipu muslihat. Ia memaksa Jessica pura-pura melayani hasrat Acme, agar detektif Valiant bisa memotretnya. Potret-potret itu membuat Roger Rabbit, sang suami, marah dan merana. Ketika esok harinya produser Acme sudah tinggal mayat, tentu saja Roger Rabbit dicurigai. Dapatkah si Roger dikorbankan begitu saja? Ia kelinci yang cerewet dan kelebihan energi. Ia amat lugu dan selalu ingin menyenangkan hati orang. Jadi, Who Frammed Roger Rabbit? Cerita menjadi semakin tegang meski ending bisa ditebak. Ternyata Doom yang rasialis itu adalah biang kerok dari semua pembunuhan. Ia ingin "mencelupkan semua bangsa kartun ke dalam larutan terpentin, agar mereka musnah. Dan Toon Town akan kujadikan sebuah jalan tol yang panjang, yang penuh dengan hotel murah, restoran fastfood ... !" teriaknya, di muka detektif Valiant. Doom pula yang dulu membunuh abang Valiant. Dan malang, kedok Doom terbuka. Ia membenci manusia kartun karena ia sendiri selembar kartun. Ketika terpentin menyentuhnya, tubuhnya pun meleleh. Memang ini adegan yang cukup sadistis. Film-film kartun biasa pun sesungguhnya cukup "kejam" meski kekejaman itu tidak pernah membuat para tokoh kartun mati. Lihat saja dalam film ini. Roger dimasukkan ke dalam oven, terkena setrum, terbanting sampai ke langit-langit rumah, dan ia kembali segar-bugar. Tapi memang selama ini konsep kematian tokoh kartun belum ada. Baru dalam film inilah terpentin diperkenalkan sebagai larutan kimia yang bisa melelehkan kartun. Kekejaman manusia di dalam dunia realita akhirnya menjadi bagian dunia kartun yang biasanya penuh dengan senyum dan tawa. Dan itulah keistimewaan tema cerita film yang berdasarkan buku Who Censored Roger Rabbit? karya Gary Wolf ini. Kelebihan lain adalah teknologi penggabungan akting manusia sungguhan dan tokoh-tokoh kartun. Bayangkan, bagaimana Valiant harus berakting sendirian seolah-olah di mukanya memang ada kelinci sungguhan yang bisa akting. Ini memang bukan ide orisinil. Tahun 1920-an, Max dan Dave Fleischer pernah melakukannya di dalam Out of the Inkwell. Walt Disney sudah berkali-kali menyajikan teknik ini melalui Caballeros, Song of the South, dan Mary Poppins. Kelebihan Zemeckis dan Direktur Fotografi Dean Cundey -- tentu saja dengan bantuan teknologi maju sekarang ini, misalnya komputer -- adalah kemampuan membuat Roger Rabbit dkk. menjadi begitu hidup dan manusiawi. Walhasil ini hiburan serius yang segar. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini