Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APRIL 2003. Lima bulan sebelum syuting Alexander dimulai, Colin Farrell, 28 tahun, terpaku menatap skenario di depannya. Kehidupan Alexander terasa begitu jauh dari yang bisa ia bayangkan. Aktor Irlandia itu melirik dua kata Latin yang dirajah pada lengannya: Carpe Diem (rebutlah hari ini). Tak cukup membantu. Frase itu berasal lebih dari 300 tahun setelah kematian sang legenda.
Sebetulnya Farrell sudah mulai membaca puisi-puisi Yunani terjemahan, karya-karya Sophocles, dan tentu saja Homer, seperti disarankan sutradara Oliver Stone agar bisa menjelajahi dunia pikiran Alexander. Tapi skenario itu baru dimengertinya setelah tiga setengah jam yang sangat menekan, ditemani 20 batang rokok dan empat botol bir. "Alexander," Farrell menyimpulkan, "berusaha mewujudkan kenyataan dari hal-hal yang bahkan tak bisa dilihat orang lain sebagai peluang." Persoalannya, bagaimana ia bisa memerankan karakter yang seoptimistis itu.
Yang tak diketahui Farrell adalah sepotong percakapan antara Stone dan produser Moritz Borman, setelah mereka bertiga sarapan di Hotel Shutters beberapa pekan sebelumnya. Begitu Farrell meninggalkan tempat, Borman menghela napas separuh puas separuh cemas. "Saya yakin inilah Alexander kita. Sekarang, izinkan saya memikirkan bagaimana caranya mencari dana," katanya kepada Stone, yang memilih Farrell berdasarkan aktingnya dalam film Minority Report (2002) dan Phone Booth (2002). Dan Stone, salah satu sutradara paling kontroversial dalam sinema modern, percaya hanya Farrell yang bisa. Bukan Tom Cruise, bukan Brad Pitt, bukan pula Leonardo diCaprioaktor pilihan sutradara Baz Luhrmann dan produser Dino de Laurentiis yang juga sedang mempersiapkan film Alexander pula.
Setelah Farrell dipinang, semuanya menjadi lebih gampang. Termasuk saat merekrut Angelina Jolie dan Val Kilmer, aktor yang pernah dicalonkan Stone untuk menjadi Alexander setelah membintangi The Doors (1991). Tapi kini Kilmer terlalu tua untuk menjadi Alexander. Peran yang cocok? Ya, menjadi ayahnya.
Dengan dana US$ 150 juta (sekitar Rp 1,35 triliun) di kocek, Stone memilih studio Pinewood, London, yang lebih dikenal sebagai tempat untuk pembuatan film-film James Bond. Di sini, istana Babylon dan segenap keindahan interiornya dibangun. Ada dua hal yang bikin pusing, yakni Menara Babel (semacam piramid yang disebut Etumananki) dan Taman Gantung. Etumananki yang asli konon sudah rusak berat akibat serbuan Raja Persia, Xerxes. Bila ingin dirancang ulang, tim properti menghitung dibutuhkan sedikitnya 36 juta bata. Jalan keluarnya, Stone memilih menggunakan computer graphic imaging (CGI). Untuk kebutuhan out door, Stone memilih Maroko (pertempuran Gaugamela), Thailand (untuk adegan-adegan yang melibatkan gajah), dan India (untuk gambar yang melibatkan pegunungan). "Film Gladiator menunjukkan betapa menakjubkannya menggunakan CGI," ujar Stone. "Tapi saya tak mau mendistorsi sejarah sejauh itu," katanya.
Setelah konsep visual selesai, masalah berikutnya menyangkut ilustrasi musik. Robin Lane Fox, profesor sejarah di New College, Oxford, penulis biografi Alexander, The Great yang menjadi konsultan film ini tak bisa merekomendasikan musik jenis apa yang harus dimainkan, termasuk pada saat pernikahan Alexander-Roxane. Kemarahan Stone meledak di sini. "Profesor, saya sudah memberikan kesempatan bagi Anda mempertontonkan musik kuno kepada jutaan orang selama puluhan tahun ke depan, tapi Anda bilang tak tahu? Apakah ini semacam resep rahasia yang Anda sembunyikan seperti Coca-Cola?" Lane Fox tetap tak bisa menjawab. Kompromi dicapai dengan meminta komposer Yunani, Vangelis Papathanassiou, untuk mengerjakan semua detail ilustrasi musik.
Untuk koreografer peperangan, tak ada nama lain di otak Stone selain Kapten Dale Dye, mantan marinir AS yang sejak 1985 mengepalai Warriors Incorporated. Dye, 58 tahun, sudah bekerja sama dengan Stone sejak Platoon, Born on the Fourth of July, serta Heaven and Earth. Dye juga yang membentuk Mickey dan Mallory, dua tokoh di Natural Born Killer, terlihat begitu mahir menggunakan berbagai jenis senjata. Stone punya alasan yang kuat untuk kembali menggunakan Dye. "Saya tak ingin melihat orang-orang dengan baju zirah, bertarung dengan gaya martial art seperti para pesilat Cina," ujar Stone menyindir koreografi laga film Troy yang dibintangi Brad Pitt.
Dengan semua kerewelan itu, Stone membidik film yang proses syutingnya selama 94 hari itu pada satu hal. "Hampir semua orang pernah mendengar nama Alexander. Tapi tak banyak yang tahu mengapa namanya begitu besar."
Akmal Nasery Basral
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo