Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sang Raja Dunia, Bernama Alexander

Film Alexander, sebuah karya kolosal karya sutradara Oliver Stone, kembali mengundang perdebatan. Inilah sebuah interpretasi tentang seorang jenderal yang bukan hanya haus akan penjelajahan dunia dan berhasil menaklukkan beberapa kawasan sekaligus hanya dalam waktu beberapa tahun. Dia juga menjelajah seluruh kemungkinan dalam hubungan seksual dan dalam perkawinan politik dengan beberapa putri raja. Siapakah Alexander di mata para sejarawan? Bagaimana interpretasi Stone, yang dikenal sebagai sutradara yang obsesif dengan teori konspirasi? Bagaimana interpretasi bangsa Melayu tentang Alexander alias Iskandar itu? Ikuti penjelajahan Tempo ke dunia sejarah ribuan tahun lampau.

20 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALEXANDER Sutradara: Oliver Stone Skenario: Oliver Stone, Christopher Kyle dan Laeta Kalogridis Pemain: Collin Farrell, Angelina Jolie, Val Kilmer, Anthony Hopkins Produksi: Warner Bros

Di bawah langit Alexandria, Sang Raja Ptolemy bersabda. Cadmus mencatat kata demi kata, dengan rubungan para budak yang dengan takzim menyodorkan kalam. Ptolemy, yang telah renta itu, membentangkan sebuah peta dunia: dunia di zaman Alexander yang Agung, sahabatnya yang telah tewas 40 tahun silam. Siapakah Alexander? Apakah dia jenderal dengan visi luar biasa, seperti yang dikatakan sejarawan William Tarn? Atau dia seseorang yang "Fuhrer-like" seperti yang dinyatakan sejarawan Fritz Schachermeyr? Ataukah dia seorang raja dan penakluk amoral dan superpragmatis seperti yang ditulis Ernst Badian dan Brian Bosworth? Oliver Stone memilih pandangan sejarawan Robin Lake Fox, penulis Alexander, the Great (1973), yang menganggap Alexander seorang pahlawan, yang memuja dan menjelajahi jejak Achilles.

Maka sutradara Oliver Stone, yang diwakili oleh sang raja tua Ptolemy, membuka sebuah "peta tua" dan berkisah dengan suara bergetar kepada kita:

Syahdan, Alexander lahir pada 20 Juli 356 sebelum Masehi dari pasangan Philip, Raja Makedonia dengan istri keempatnya, Olympias, seorang putri dari Molossia. Alexander lahir pada saat hubungan kedua orang tuanya berada pada puncak ketegangan terburuk. Namun Stone memangkas seluruh persoalan suami-istri itu hingga kita tak segera paham—kecuali jika kita membaca buku sejarah Yunani Kuno dengan intens—mengapa Phillip (Val Kilmer) begitu dendam kepada sang istri jelita (Angelina Jolie), dan mengapa dia senantiasa menghina putranya sebagai "anak haram". Sejarah mencatat, Phillip menyerang Olympias secara keras dan kasar (secara seksual)—masa kini lazim disebut marital rape—hingga Olympias selalu menekankan dengan suara penuh kesumat bahwa Alexander adalah hasil "percintaannya" dengan Dewa Zeus.

Akibatnya, Alexander tumbuh di antara rasa gentar pada ayah yang begitu berkuasa, sementara sang ibu terus-menerus merancang kesumat pada ayahnya. Dalam pesta perkawinan ayahnya dengan istrinya yang ketujuh, putri Attalus, sang ayah mengumumkan pernyataan yang menggelegar; yang sudah diduga oleh Olympias sebelumnya: putra yang nantinya lahir dari rahim istrinya yang baru akan menjadi putra mahkota yang menduduki takhtanya.

Inilah Raja Phillip yang mengabdikan separuh waktunya untuk mabuk atau kawin dengan berbagai wanita. Raja yang menghina ibunya di muka umum, di pesta perkawinannya dengan wanita lain. Perpecahan ayah-anak itu pun terjadi. Alexander menentang sang ayah, dan sang ayah, dalam keadaan doyong oleh bergalon anggur itu, mengusir Alexander dan Olympias dari lingkungan istana.

Dengan demikian, amatlah mudah menuduh Alexander dan ibunya sebagai otak pembunuhan Raja Phillip yang ditikam oleh Pausanias, pengawal Raja. Tuduhan itu berdasarkan beberapa analisis seperti yang dinyatakan ahli sejarah Yunani Universitas Cambridge, Inggris, Paul Cartledge, dalam Alexander the Great (2004): pertama, setelah Raja Phillip menyatakan dengan tegas bahwa bukanlah Alexander yang akan menduduki takhtanya, maka tak heran jika Alexander dianggap bersekutu dengan ibunya untuk menyingkirkan ayahnya. Bukankah Aristoteles, sang guru (Christopher Plummer) telah berkata bahwa "manusia adalah binatang politik"? Kedua, dugaan itu menjadi kuat terutama karena Pausanias tidak diadili sesuai dengan hukum yang berlaku, melainkan langsung ditikam oleh Alexander di muka publik.

Namun Ptolemy, sang pendongeng, seperti juga Oliver Stone, tidak tertarik untuk berkubang dalam teori konspirasi, meski selama ini Stone dikenal sebagai sutradara yang sangat obsesif dalam segala sesuatu yang konspiratif seperti yang disajikan dalam film JFK. Setelah Alexander ditahbiskan menjadi raja Makedonia, ia menunjukkan dirinya bukan sekadar seorang raja seperti ayahnya, tetapi dia seorang penjelajah; seorang jenderal yang mampu menggiring seluruh pasukan lengkap dengan keluarga, pacar-pacar, dan seluruh jiwa raganya ke ujung dunia. Aristoteles telah menunjukkan letak "pinggir dunia" sepanjang pengetahuan bisa menyentuhnya. Alexander melampaui itu. Dia bukan hanya menyatukan seluruh potongan kerajaan di wilayah Yunani tetapi ia juga menembus ke wilayah Persia, Bactria—sembari kemudian mengawini putri Raja Darius yang jelita, Roxanne (Rosario Dawson)—hingga akhirnya dia jatuh di India.

Menyaksikan film sepanjang tiga jam penuh ini sama seperti menyaksikan sebuah drama yang jauh lebih besar daripada kehidupan itu sendiri. Penuh dengan tragedi, pengkhianatan, laga, cinta, dan manipulasi. Semua tema lengkap, penuh, campur aduk, membingungkan, berderap, bersinggungan, berkejaran, dan melelahkan.

Pertama, yang harus dipuji adalah seluruh adegan peperangan Stone yang dibuat dengan penuh gelora, visual yang mengawinkan kebesaran dan kekerasan sekaligus kehancuran dan kesia-siaan. Stone tetap mempertahankan sikap antiperangnya justru dengan memperlihatkan kegilaan seseorang yang tak henti-hentinya menginginkan wilayah dan kekuasaan lebih sebagai bagian dari tantangan hidup.

Kedua, harus diakui—terutama setelah menyaksikan Alexander the Great karya Richard Rossen yang menampilkan Richard Burton sebagai Alexander. Tentu saja karena film ini dibuat tahun 1956, maka hampir semua adegan perang dibuat seadanya karena hampir semua lokasi pembuatan dilakukan di studio Hollywood. Fokus lebih ditekankan pada karakterisasi Alexander dan visinya serta hubungannya dengan sang Raja Phillip, dengan Olympias, dengan Dewa Zeus yang dia percayai sebagai ayahnya, dan hubungannya dengan para istri. Tokoh Roxanne tampil selintas dan hampir tak penting, sementara istri yang lebih ditampilkan adalah Barsine, janda dari musuhnya, Memnon. Rossen—bertindak sebagai sutradara dan penulis skenario—sama sekali tak menyentuh kemungkinan penjelajahan seksual Alexander, apalagi hubungan percintaannya dengan Hephaistion. Dengan akting yang sangat teatrikal dan dialog yang berpanjang-panjang, satu-satunya yang menjadi penyelamat film ini adalah kejantanan Richard Burton yang menjadi prasyarat seorang penakluk seperti Alexander yang menyandang begitu banyak gelar puja-puji bahkan ribuan tahun setelah dia tewas.

Karakterisasi Alexander, yang seharusnya menjadi roh dari film Stone, menjadi persoalan besar. Collin Farrell adalah seorang aktor luar biasa; seorang aktor yang memiliki bakat yang meluap-luap dan siap menendang aktor-aktor pria yang sudah lebih dahulu berada di panggung emas Hollywood—dan hati penonton perempuan—seperti Tom Cruise dan Brad Pitt. Tetapi seluruh wajah dan tubuhnya tak kunjung memberikan keyakinan dialah sang Alexander, sang penakluk. Dia tak cukup gila untuk mampu mendorong pasukannya ke ujung dunia, melibas pepohonan di hutan India, dan meraung di pinggir Amazon. Dia terlalu kelihatan wajar dan logis seperti seorang pangeran tampan yang siap menjadi raja karena dia keturunan raja dan berhati mulia. Di dalam wajahnya yang cantik itu, Farrell tak mengguncang layar seperti halnya Alexander mengguncang peta dunia.

Namun Farrell cukup bisa mengisi sosok Alexander yang ambigu dengan bisikan sang ibu yang berdesis menginginkan sebuah rancangan dendam; dia juga cukup mampu mengisi kegundahan rasa antara cintanya pada Hephaistion (Jared Leto) dan Roxanne, istri yang memiliki tenaga seksual sedahsyat singa betina.

Kecenderungan seksualitas Alexander tampaknya menjadi sorotan utama penonton dunia yang dengan sendirinya mengartikan hubungan sesama lelaki di zaman itu sama seperti hubungan gay masa kini. Menurut para sejarawan, hubungan seorang raja dengan para budak atau pengawal lelaki di masa itu dianggap sebagai satu hal yang lazim—meski tak berarti semua anggota kerajaan melakukannya. Karena itu hubungan Alexander dengan Hephaistion ataupun Boagas, serta perkawinannya dengan beberapa putri raja—yang sangat jelas merupakan perkawinan politik—bukanlah hal yang mengejutkan pada zamannya. Untuk seorang Stone, seorang sutradara yang sering memaksakan diri menjelajah pada "wilayah tak mungkin", film ini tergolong konservatif dan steril. Hubungan Alexander dan Hephaistion digambarkan lebih seperti sepasang abang-adik yang saling mengasihi (mereka hanya banyak berpelukan, saling melirik dan saling cemberut jika sedang cemburu). Mereka tidak berciuman, apalagi bercinta.

Sang pendongeng Ptolemy—alias Stone—juga ingin menampilkan Alexander sebagai "Sang Penyatu" yang bisa meraup simpati dari hati penonton. Setiap kali penaklukan sebuah kerajaan, Alexander memperlihatkan kemanusiaan yang luar biasa. Dia tak menjajah, tak membunuh apalagi menyiksa anggota kerajaan yang ditaklukkannya. Dengan pandai, dia mengawini salah satu putrinya, sehingga seluruh rakyat akan jatuh hati padanya. Bahkan, menurut catatan sejarawan kuno Gaul Trogus, "Alexander mengenakan jubah para raja Persia..., sesuatu yang tak pernah dilakukan raja-raja Makedonia sebelumnya..., dia juga menyarankan teman-temannya untuk mengenakan jubah panjang, ungu keemasan...."

Sebagai seorang Jenderal Besar, Alexander ciptaan Stone sungguh demokratis dan berpikiran terbuka untuk ukuran seorang tiran. Dia membuka perdebatan dengan para jenderalnya saat dia mengumumkan cita-citanya untuk membawa "kerajaan bergerak"-nya ke ujung dunia hingga pencaharian mereka tunai sudah. Para jenderal protes. Alexander membuka perdebatan hingga suara mereka parau. Toh, keinginan Alexander tercapai juga.

Cita-cita Alexander mengawinkan kultur, kebudayaan, dan rakyat Persia menjadi satu dengan Yunani tentu saja tak berjalan mulus. Hampir semua buku sejarah bersetuju bahwa Alexander mendapatkan tantangan luar biasa dari para jenderalnya, terutama ketika dia berniat menikah dengan seorang putri "barbarian". Adegan-adegan dramatis ini disajikan dengan gaya flamboyan, riuh-rendah, dan puluhan lelaki yang berseliweran dengan jubah, permata, dan maskara yang luar biasa tebal. Mungkin inilah suasana ruang-ruang peraduan para raja di zaman itu; mungkin ini pula suasana pesta-pesta di zaman itu, tatkala sang raja ditantang untuk mencium seorang budak (lelaki) yang tampak jelita.

Seperti semua tiran di dunia, seperti semua penguasa dan penjelajah di dunia, seperti semua jenderal perang di dalam sejarah, Alexander mati muda dalam kesendirian dan kesengsaraan. Dibanding adegan kematian Alexander versi Richard Burton yang bersih, steril tanpa derita dan penuh kata-kata; kematian Alexander versi Farrell luar biasa tragis, penuh darah dan tampak penuh rasa sakit. Jiwanya sudah mati sebagian dibawa karena tewasnya Hephaistion (ia meraung bak singa ketika Hephaistion menggelepar di atas tempat tidur).

Kematian Alexander pada usia yang baru mencapai 33 tahun adalah sebuah tragedi. Seorang raja dengan jiwa yang jauh lebih besar dan menggelegak melebihi ukuran tubuhnya; seorang penjelajah yang tak kunjung menemukan tepi cita-citanya; seorang lelaki dengan perasaan yang tak kunjung tentu terhadap ayah dan ibu yang hidup dalam dendam itu akhirnya mati dalam sepi. Dia meninggalkan nama yang terlalu besar melebihi buku-buku sejarah yang menulis tentang dirinya; melebihi panjangnya sungai yang ditelusurinya; melebihi gunung-gunung yang didakinya dan padang gurun yang dilintasinya. Alexander adalah nama yang lebih besar daripada hidup.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus