Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Buku, juga novel, belum mati, ...

Perdagangan buku di indonesia suram, tapi beberapa penerbit menunjukkan perkembangan cukup baik. terutama penerbit buku buku novel dan fiksi. adanya para pecinta bacaan dan kecerdasan.

17 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TOKO buku di daerah pasar itu penuh pembeli Mereka membalik-balik dan merengut-rengut di hadapan barisan buku komik untuk anak-anak sampai dengan buku seperti Perubahan-Perubahan Struktur Dalam Masyarakat Jawa karya D.H. Burger. Deretan itu panjang. Belum lagi novel, dengan sampul yang merayu - semuanya dalam bahasa Indonesia, baik terjemahan atau pun asli. Dan seorang gadis remaja bertanya kepada penjaga: "Ada Raumanen?" la menanyakan novel Marianne Katoppo. "Ada Pada Sebuah Kapal?" yang lain menanyakan novel Nh. Dini . . . Adegan itu bukan cuma khayalan. Itu benar terjadi di tahun ini di Jakarta, Indonesia -- sebuah negeri di mana "novel sudah mati, alhamdulillah," begitu ejek Paul Theroux, seorang novelis Amerika yang pernah berkunjung ke mari lima tahun yang lalu. Maka boleh bersukurlah para pencinta bacaan dan kecerdasan: jika ada kemajuan yang jelas nampak di Indonesia selama beberapa tahun mutakhir ini, salah satu di antaranya adalah di bidang penerbitan buku. Juga: bertambahnya orang membaca novel. Memang, orang masih perlu berhati-hati untuk berteriak gembira. Cuaca perdagangan belum pasti cerah. Penerbit Gunung Agung, yang dulu termashur oleh buku-bukunya yang terpilih, kini cuma menganggap buku sebagai sebagian kecil usaha. Gunung Agung nyambi jadi agen rokok Dunhill, TV Color Crown serta agen tinta cetak. Gedung tiga-lantainya yang dulu penuh buku, kini cuma tinggal satu lantai yang terisi bahan bacaan. "Untuk sementara kita jadi paviliyun buku saja dulu," kata Mas Agung, Direktur Utamanya setelah 25 tahun makan getah buku dan sering jadi pelopor penerbitan bermutu. Ia juga berbicara tentang kebijaksanaan pemerintah yang sejak 1973 untuk impor kertas: para importir disuruh menggendong bea masuk plus pungutan lainnya yang cukup tinggi. "Ada kesan seolah kertas termasuk barang mewah," keluh Mas Agung. Tapi kendati udara perdagangan cukup buruk, beberapa buah penerbit yang termasuk mapan mencatat angka-angka yang membiak. Nyonya Roswita Pamoentjak, direktris penerbit Djambatan, yang menerbitkan rata-rata 50 judul setiap tahun (kurang lebih 380 ribu buku) mengaku tahun 1976 kemarin tidaklah sesedih 10 tahun yang lalu. Baik jumlah judul atau jumlah oplah bertambah mendingan. Hal ini disangkakannya lantaran keadaan ekonomi tahun lalu lebih baik dari tahun 1966. Juga karena adanya tunjangan Pemerintah lewat proyek Inpres. Prospek penerbitan pun kelihatan bertambah riang, karena ia melihat minat baca bertambah. Anak-anak kecil di Taman Kanak-kanak sudah belajar dengan buku. Kursusdan sekolah-sekolah membutuhkan buku. Majalah serta koran tak jarang membicarakan tentang buku. Adisubrata, dari penerbit Cramedia yang kini nampak bongsor usahanya memperkuat kabar baik ini dengan sejumlah angka. Di tahun 1974 Gramedia sempat menggarap 20 buah judul (3 novel, 12 cerita anak-anak, 5 nonfiksi). Tahun berikutnya menggembrot sampai 62 buah judul (4 novel, 4 komik, 46 buku anak dan 8 non-fiksi). Tahun kemarin jumlah judul melejit lagi sampai 176 buah (9 novel, 18 komik strip, 66 buku anak dan 15 non-fiksi". Sedangkan tahun 1977 ini, baru sampai bulan September sudah tercatat 148 buah judul (16 novel, 24 komik strip, 24 buku anak-anak dan 24 non-fiksi). Umumnya sekali cetak omzetnya 5 ribu eksemplar. Bila terjual habis dalam setahun, sudah dianggap baik. Tetapi novel Karmila Marga T misalnya, telah menunjukkan loncatan yang unik. Pertama kali dicetak tahun 1973 memang hanya S ribu. Tahun berikutnya melonjak sampai 20 ribu. Sejumlah yang sama tahun 1975. Tahun 1976 dan 1977 menurun jadi masing-masing 10 ribu. Tapi tak kurang dari IX kali cetak ulangnya. Sukses ini juga diikuti oleh Kugapai Cintamu (6 kali), lalu Cintaku di Kampus Biru (S kali) keduanya karangan Ashadi Siregar. Sementara oan Badai Pasti Berlalu Marga T. mencapai cetak ulang 7 kali. Adisubrata membenarkan, bahwa kemajuan omzet juga diakibatkan karena novel-novel tersebut difilmkan. Di masa yang akan datang, ia menduga jalannya penerbitan akan tetap baik. Teorinya. Mula-mula pembaca hanya menyenangi majalah lliburan. Kemudian meningkat menyenangi novel. Mengambil pengalaman dari luar negeri, novel itu tetap digemari, karenaia bisa mengembangkan cita-rasa. "Pengalaman hidup bisa diali dari novel," kata Adisubrata menjelaskan. Tetapi di balik masa depan yang baik itu ia tetap menyembunyikan kekhawatiran. Penerbit baru muncul bagai jamur dan hukum ekonomi pun mulai bertindak. Buku-buku bertambah banyak, sehingga praktis Gramedia tidak bisa memonopoli pasaran lagi. "Makanya sekarang kami agak mengerem jumlah buku yang dicetak," ujarnya dengan serius. "Akhir tahun ini untuk bukubuku Ashadi, Marga T atau Nani Heroe yang biasanya sekali cctak 10 ribu, sekarang mungkin hanya 5 ribu saja." Kecemasan Adisubrata, bukan mimpi buruk. Akhir tahun lalu, sekitar bulan Oktober-Nopember, datanglah para penerbit semacam "Pancar Kumala" dan "Sastra Kumala" misalnya. Dua buah penerbit ini didukung oleh beberapa penerbit kecil yang memborongkan buku-bukunya untuk dijualkan. Ada yang bernama penerbit "Pelangi," "Kreshno," "Lokajaya," "Karya Baru" dan sebagainya -- yang bersama-sama dapat mengumpulkan 20 judul hanya dalam tempo 1 bulan. Arus ini makin lama makin gencar memasuki tahun baru 1977, dan membawa pula wajah-wajah baru dalam usaha penerbitan. Khususnya dalam penerbitan novel, timbul kesibukan yang nyaris seperti persaingan, perlombaan dan kebut-kebutan. Muncullah nama pengarang yang pada mulanya hanya dikenal oleh para pembaca majalah. La Rose, Edy D Iskandar, Yati Maryati Wiharja, Titiek W.S, Titie Said Sadikun, Mujimanto, Abdullah Harahap, dan sebagainya seakan-akan hendak merebut pembaca dari tangan Ashadi dan Marga T. Perlombaan yang diam-diam ini, meledak di bulan Maret, sehingga sehari bisa muncul 2 judul buku baru - terjemahan maupun karangan asli. Ratarata dalam sebulan itu terkumpul 50 judul. Catatan ini berdasarkan pengamaan salah seorang direktur sebuah penerbitan baru. Menurut dia, bila ditarik sampai bulan ini, tidak kurang dari 200 judul novel saku yang terbit tahun 1977. Kalau dibongkar ke rak-rak toko buku, berikut sisa stok lama, bahkan mencapai 300 judul baru yang aktif dalam medan jual beli. 30o di antaranya adalah karya-karya asli pengarang Indonesia. Harganya bergerak antara Rp 700 sampai Rp 1.500. Ada juga yang berupa novelet (64 halaman) yang dijual dencan hara RD 300. Semuanya memiliki format buku saku, dengan sampul yang dilukis meniru buku-buku saku Amerika yang penuh warna-warni. Oplahnya bergerak sekitar 5 sampai 15 ribu. Di antara buku-buku asli bahkan ada yang sudah mengalami cetak ulang sampai 3 kali. Sasaran pembacanya terutama para wanita. Belakangan ini sasaran beralih ke arah para remaja, karena merekalah justru yang di samping membaca, juga gemar membeli bukunya. Waktu tim reporter TEMPO bergerak untuk membuktikan ledakan itu di beberapa buah toko buku, ternyata angka tersebut bukan isapan jempol. Meski pun memang ada sedikit penyederhanaan. Di toko buku Gunung Agung misalnya, dapat dikumpulkan nama 25 buah penerbit dengan 100 buah judul buku. Semuanya fiksi. Angka ini pasti lebih membengkak, kalau toko buku ini misalnya tidak mengadakan persyaratan tertentu untuk buku-buku yang rrau mereka jual. Kuntjoro Wahyu, managernya, berkata: "Kami harus selektip, Gunung Agung 'kan trade mark." Maksudnya buku-buku yang berbau "begitu", jelas tidak dikasih pintu. Ia menyatakan juga bahwa kenaikan penjualan buku fiksi sekitar 3 kali lipat dibandingkan dengan tahun yang lalu. Di toko buku Kenari di Pasar Cikini dapat diketemukan buku-buku dari penerbit Pancar Kumala, Cypress, Gramedia, Pustaka Jaya, Rose Group, Loka Jaya. Satu dari 4 orang pelayan toko itu mengatakan, kalau dulu dalam seminggu paling banyak terjual 10 buah buku, sekarang sampai 40 buah. "Pembelinya kebanyakan wanita. Tidak perduli tanggal tua atau tanggal muda. Apalagi kalau lagi habis diresensi dalam majalah," demikian ceritanya pada TEMPO. Di toko buku Melawai -- Blok M Kebayoran Baru - yang memiliki 20 orang karyawan -- kita ketemukan 13 nama penerbit. Kebanyakan langganannya bukan wanita tapi anak-anak SMP ke atas dalam batas usia remaja. Sebuah judul buku baru yang bernama Sok Nyentrik (Eddy D Iskandar) hanya dalam tempo seminggu sudah ludes 200 buah. Laju penjualannya tahun ini, mencapai 2 kali lipat dari tahun lalu. Ternyata, nama penulis bagi para pembeli amat sangat penting. Dari Yogya muncul kiriman angka, bahwa deras penjualan buku pada mulanya amat tergantung pada harga dan musiman. Ini mengingat Yogya memang gudang pelajar dan mahasiswa yang miskin-miskin. Pada awal tahun sekitar April dan Mei, pasaran meningkat --kemudian stabil pada bulan-bulan selanjutnya. Menurut Dalimin Yudopranoto, Bagian Perdagangan Buku Toko Gunung Agung, sebuah buku seperti Intan Batu Bulan (terjemahan dari karya Collins Wilkie) yang pakai tarif Rp 1 ribu, sejak tahun 1975 sampai kini hanya laku sekitar 300 eksemplar. Lain halnya dengan buku Ashadi Siregar yang dosen Sospol GAMA itu. Dengan harga sekitar Rp 500-Rp 600, sejak terbitnya sudah laku sampai 2000 eksemplar. Masih di bilangan Yogya juga, Sumartono, pemilik kios buku ANDA di Shoping Centre Yogya, mengungkapkan buku-buku Ashadi dan Marga T melonjak cepat setelah dibikin film. Adakah dukungan film benar ikut membikin ledakan penjualan buku fiksi? Rupanya telah terjadi kerja sama yang timbal-balik. Entah siapa sebenarnya yang bersikap jadi tukang katrol, tepat saat menggebu-gebunya produksi film nasional, berserakan pula novel-novel yang bisa diangkat jadi film. Kerja sama ini bukan barang baru. Sudah sejak lama banyak film Indonesia didasarkan atas buku. Sejak film Pulang, Pagar Kawat Berduri, dan Si Doel Anak Betawi. Tapi pada tahun 1974 Karmila ditangani oleh sutradara Ami Priyono. Laris, seperti bukunya. Dan tahun 1977 ini misalnya tak kurang dari 5 buah film berdasarkan novel dibikin. Belum lagi yang sudah dibeli atau dikerjakan sebagai skenario. Ami Priyono mengatakan bahwa Karrnila sesungguhnya tertolong banyak oleh saat yang tepat karena penyebaran bukunya telah melepas. Tapi seperti ungkap Adisubrata, pengaruh kelarisan film dan buku bersifat timbal balik. Yang menarik lagi adalah bahwa film agaknya tidak hanya akan membatasi dirinya pada novel yang gampang dicerna. Ami sudah menyatakan kesungguhannya untuk mengangkat salah satu karya Iwan Simatupang yang tersohor sarat dengan pikiran filsafat dan sulit diikuti orang awam. "Saya optimis novel Merahnya Merah bisa diangkat ke layar putih," kata Ami. "Logika ceritanya mungkin sulit, tapi saya kira penonton tidak perlu mengikuti logika, nggak perlu mengerti. Mereka akan melihat adegan yan meletup-letup. Nah, kalau ini sempat terlaksana, bisa diperhatikan: benarkah akan laris? Dan jika nanti filmnya ternyata laris, adakah ini akan mengatrol novel Iwan yang biasanya tak dinilai sebagai "novel pop"?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus