TOKO buku di daerah pasar itu penuh pembeli Mereka
membalik-balik dan merengut-rengut di hadapan barisan buku komik
untuk anak-anak sampai dengan buku seperti Perubahan-Perubahan
Struktur Dalam Masyarakat Jawa karya D.H. Burger. Deretan itu
panjang. Belum lagi novel, dengan sampul yang merayu - semuanya
dalam bahasa Indonesia, baik terjemahan atau pun asli. Dan
seorang gadis remaja bertanya kepada penjaga: "Ada Raumanen?" la
menanyakan novel Marianne Katoppo. "Ada Pada Sebuah Kapal?" yang
lain menanyakan novel Nh. Dini . . .
Adegan itu bukan cuma khayalan. Itu benar terjadi di tahun ini
di Jakarta, Indonesia -- sebuah negeri di mana "novel sudah
mati, alhamdulillah," begitu ejek Paul Theroux, seorang novelis
Amerika yang pernah berkunjung ke mari lima tahun yang lalu.
Maka boleh bersukurlah para pencinta bacaan dan kecerdasan: jika
ada kemajuan yang jelas nampak di Indonesia selama beberapa
tahun mutakhir ini, salah satu di antaranya adalah di bidang
penerbitan buku. Juga: bertambahnya orang membaca novel.
Memang, orang masih perlu berhati-hati untuk berteriak gembira.
Cuaca perdagangan belum pasti cerah. Penerbit Gunung Agung, yang
dulu termashur oleh buku-bukunya yang terpilih, kini cuma
menganggap buku sebagai sebagian kecil usaha. Gunung Agung
nyambi jadi agen rokok Dunhill, TV Color Crown serta agen tinta
cetak. Gedung tiga-lantainya yang dulu penuh buku, kini cuma
tinggal satu lantai yang terisi bahan bacaan. "Untuk sementara
kita jadi paviliyun buku saja dulu," kata Mas Agung, Direktur
Utamanya setelah 25 tahun makan getah buku dan sering jadi
pelopor penerbitan bermutu. Ia juga berbicara tentang
kebijaksanaan pemerintah yang sejak 1973 untuk impor kertas:
para importir disuruh menggendong bea masuk plus pungutan
lainnya yang cukup tinggi. "Ada kesan seolah kertas termasuk
barang mewah," keluh Mas Agung.
Tapi kendati udara perdagangan cukup buruk, beberapa buah
penerbit yang termasuk mapan mencatat angka-angka yang membiak.
Nyonya Roswita Pamoentjak, direktris penerbit Djambatan, yang
menerbitkan rata-rata 50 judul setiap tahun (kurang lebih 380
ribu buku) mengaku tahun 1976 kemarin tidaklah sesedih 10 tahun
yang lalu. Baik jumlah judul atau jumlah oplah bertambah
mendingan.
Hal ini disangkakannya lantaran keadaan ekonomi tahun lalu lebih
baik dari tahun 1966. Juga karena adanya tunjangan Pemerintah
lewat proyek Inpres. Prospek penerbitan pun kelihatan bertambah
riang, karena ia melihat minat baca bertambah. Anak-anak kecil
di Taman Kanak-kanak sudah belajar dengan buku. Kursusdan
sekolah-sekolah membutuhkan buku. Majalah serta koran tak jarang
membicarakan tentang buku.
Adisubrata, dari penerbit Cramedia yang kini nampak bongsor
usahanya memperkuat kabar baik ini dengan sejumlah angka. Di
tahun 1974 Gramedia sempat menggarap 20 buah judul (3 novel, 12
cerita anak-anak, 5 nonfiksi). Tahun berikutnya menggembrot
sampai 62 buah judul (4 novel, 4 komik, 46 buku anak dan 8
non-fiksi). Tahun kemarin jumlah judul melejit lagi sampai 176
buah (9 novel, 18 komik strip, 66 buku anak dan 15 non-fiksi".
Sedangkan tahun 1977 ini, baru sampai bulan September sudah
tercatat 148 buah judul (16 novel, 24 komik strip, 24 buku
anak-anak dan 24 non-fiksi).
Umumnya sekali cetak omzetnya 5 ribu eksemplar. Bila terjual
habis dalam setahun, sudah dianggap baik. Tetapi novel Karmila
Marga T misalnya, telah menunjukkan loncatan yang unik. Pertama
kali dicetak tahun 1973 memang hanya S ribu. Tahun berikutnya
melonjak sampai 20 ribu. Sejumlah yang sama tahun 1975. Tahun
1976 dan 1977 menurun jadi masing-masing 10 ribu. Tapi tak
kurang dari IX kali cetak ulangnya. Sukses ini juga diikuti oleh
Kugapai Cintamu (6 kali), lalu Cintaku di Kampus Biru (S kali)
keduanya karangan Ashadi Siregar. Sementara oan Badai Pasti
Berlalu Marga T. mencapai cetak ulang 7 kali.
Adisubrata membenarkan, bahwa kemajuan omzet juga diakibatkan
karena novel-novel tersebut difilmkan. Di masa yang akan datang,
ia menduga jalannya penerbitan akan tetap baik. Teorinya.
Mula-mula pembaca hanya menyenangi majalah lliburan. Kemudian
meningkat menyenangi novel. Mengambil pengalaman dari luar
negeri, novel itu tetap digemari, karenaia bisa mengembangkan
cita-rasa. "Pengalaman hidup bisa diali dari novel," kata
Adisubrata menjelaskan.
Tetapi di balik masa depan yang baik itu ia tetap menyembunyikan
kekhawatiran. Penerbit baru muncul bagai jamur dan hukum ekonomi
pun mulai bertindak. Buku-buku bertambah banyak, sehingga
praktis Gramedia tidak bisa memonopoli pasaran lagi. "Makanya
sekarang kami agak mengerem jumlah buku yang dicetak," ujarnya
dengan serius. "Akhir tahun ini untuk bukubuku Ashadi, Marga T
atau Nani Heroe yang biasanya sekali cctak 10 ribu, sekarang
mungkin hanya 5 ribu saja."
Kecemasan Adisubrata, bukan mimpi buruk. Akhir tahun lalu,
sekitar bulan Oktober-Nopember, datanglah para penerbit semacam
"Pancar Kumala" dan "Sastra Kumala" misalnya. Dua buah penerbit
ini didukung oleh beberapa penerbit kecil yang memborongkan
buku-bukunya untuk dijualkan. Ada yang bernama penerbit
"Pelangi," "Kreshno," "Lokajaya," "Karya Baru" dan sebagainya --
yang bersama-sama dapat mengumpulkan 20 judul hanya dalam tempo
1 bulan.
Arus ini makin lama makin gencar memasuki tahun baru 1977, dan
membawa pula wajah-wajah baru dalam usaha penerbitan. Khususnya
dalam penerbitan novel, timbul kesibukan yang nyaris seperti
persaingan, perlombaan dan kebut-kebutan. Muncullah nama
pengarang yang pada mulanya hanya dikenal oleh para pembaca
majalah. La Rose, Edy D Iskandar, Yati Maryati Wiharja, Titiek
W.S, Titie Said Sadikun, Mujimanto, Abdullah Harahap, dan
sebagainya seakan-akan hendak merebut pembaca dari tangan Ashadi
dan Marga T.
Perlombaan yang diam-diam ini, meledak di bulan Maret, sehingga
sehari bisa muncul 2 judul buku baru - terjemahan maupun
karangan asli. Ratarata dalam sebulan itu terkumpul 50 judul.
Catatan ini berdasarkan pengamaan salah seorang direktur sebuah
penerbitan baru.
Menurut dia, bila ditarik sampai bulan ini, tidak kurang dari
200 judul novel saku yang terbit tahun 1977. Kalau dibongkar ke
rak-rak toko buku, berikut sisa stok lama, bahkan mencapai 300
judul baru yang aktif dalam medan jual beli. 30o di antaranya
adalah karya-karya asli pengarang Indonesia. Harganya bergerak
antara Rp 700 sampai Rp 1.500. Ada juga yang berupa novelet (64
halaman) yang dijual dencan hara RD 300.
Semuanya memiliki format buku saku, dengan sampul yang dilukis
meniru buku-buku saku Amerika yang penuh warna-warni. Oplahnya
bergerak sekitar 5 sampai 15 ribu. Di antara buku-buku asli
bahkan ada yang sudah mengalami cetak ulang sampai 3 kali.
Sasaran pembacanya terutama para wanita. Belakangan ini sasaran
beralih ke arah para remaja, karena merekalah justru yang di
samping membaca, juga gemar membeli bukunya.
Waktu tim reporter TEMPO bergerak untuk membuktikan ledakan itu
di beberapa buah toko buku, ternyata angka tersebut bukan isapan
jempol. Meski pun memang ada sedikit penyederhanaan.
Di toko buku Gunung Agung misalnya, dapat dikumpulkan nama 25
buah penerbit dengan 100 buah judul buku. Semuanya fiksi. Angka
ini pasti lebih membengkak, kalau toko buku ini misalnya tidak
mengadakan persyaratan tertentu untuk buku-buku yang rrau
mereka jual. Kuntjoro Wahyu, managernya, berkata: "Kami harus
selektip, Gunung Agung 'kan trade mark." Maksudnya buku-buku
yang berbau "begitu", jelas tidak dikasih pintu. Ia menyatakan
juga bahwa kenaikan penjualan buku fiksi sekitar 3 kali lipat
dibandingkan dengan tahun yang lalu.
Di toko buku Kenari di Pasar Cikini dapat diketemukan buku-buku
dari penerbit Pancar Kumala, Cypress, Gramedia, Pustaka Jaya,
Rose Group, Loka Jaya. Satu dari 4 orang pelayan toko itu
mengatakan, kalau dulu dalam seminggu paling banyak terjual 10
buah buku, sekarang sampai 40 buah. "Pembelinya kebanyakan
wanita. Tidak perduli tanggal tua atau tanggal muda. Apalagi
kalau lagi habis diresensi dalam majalah," demikian ceritanya
pada TEMPO.
Di toko buku Melawai -- Blok M Kebayoran Baru - yang memiliki 20
orang karyawan -- kita ketemukan 13 nama penerbit. Kebanyakan
langganannya bukan wanita tapi anak-anak SMP ke atas dalam batas
usia remaja. Sebuah judul buku baru yang bernama Sok Nyentrik
(Eddy D Iskandar) hanya dalam tempo seminggu sudah ludes 200
buah. Laju penjualannya tahun ini, mencapai 2 kali lipat dari
tahun lalu. Ternyata, nama penulis bagi para pembeli amat sangat
penting.
Dari Yogya muncul kiriman angka, bahwa deras penjualan buku pada
mulanya amat tergantung pada harga dan musiman. Ini mengingat
Yogya memang gudang pelajar dan mahasiswa yang miskin-miskin.
Pada awal tahun sekitar April dan Mei, pasaran meningkat
--kemudian stabil pada bulan-bulan selanjutnya. Menurut Dalimin
Yudopranoto, Bagian Perdagangan Buku Toko Gunung Agung, sebuah
buku seperti Intan Batu Bulan (terjemahan dari karya Collins
Wilkie) yang pakai tarif Rp 1 ribu, sejak tahun 1975 sampai kini
hanya laku sekitar 300 eksemplar. Lain halnya dengan buku Ashadi
Siregar yang dosen Sospol GAMA itu. Dengan harga sekitar Rp
500-Rp 600, sejak terbitnya sudah laku sampai 2000 eksemplar.
Masih di bilangan Yogya juga, Sumartono, pemilik kios buku ANDA
di Shoping Centre Yogya, mengungkapkan buku-buku Ashadi dan
Marga T melonjak cepat setelah dibikin film.
Adakah dukungan film benar ikut membikin ledakan penjualan buku
fiksi? Rupanya telah terjadi kerja sama yang timbal-balik. Entah
siapa sebenarnya yang bersikap jadi tukang katrol, tepat saat
menggebu-gebunya produksi film nasional, berserakan pula
novel-novel yang bisa diangkat jadi film.
Kerja sama ini bukan barang baru. Sudah sejak lama banyak film
Indonesia didasarkan atas buku. Sejak film Pulang, Pagar Kawat
Berduri, dan Si Doel Anak Betawi. Tapi pada tahun 1974 Karmila
ditangani oleh sutradara Ami Priyono.
Laris, seperti bukunya. Dan tahun 1977 ini misalnya tak kurang
dari 5 buah film berdasarkan novel dibikin. Belum lagi yang
sudah dibeli atau dikerjakan sebagai skenario. Ami Priyono
mengatakan bahwa Karrnila sesungguhnya tertolong banyak oleh
saat yang tepat karena penyebaran bukunya telah melepas. Tapi
seperti ungkap Adisubrata, pengaruh kelarisan film dan buku
bersifat timbal balik.
Yang menarik lagi adalah bahwa film agaknya tidak hanya akan
membatasi dirinya pada novel yang gampang dicerna. Ami sudah
menyatakan kesungguhannya untuk mengangkat salah satu karya Iwan
Simatupang yang tersohor sarat dengan pikiran filsafat dan sulit
diikuti orang awam. "Saya optimis novel Merahnya Merah bisa
diangkat ke layar putih," kata Ami. "Logika ceritanya mungkin
sulit, tapi saya kira penonton tidak perlu mengikuti logika,
nggak perlu mengerti. Mereka akan melihat adegan yan
meletup-letup.
Nah, kalau ini sempat terlaksana, bisa diperhatikan: benarkah
akan laris? Dan jika nanti filmnya ternyata laris, adakah ini
akan mengatrol novel Iwan yang biasanya tak dinilai sebagai
"novel pop"?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini