KUGAPAI CINTAMU
Cerita: Ashadi Siregar
Skenario: Arifin C. Noer
Sutradara: Wim Umboh.
***
INI film disutradarai oleh Wim Umboh. Di sini ia betul-betul
cuma sutradara, bukan pengarang cerita yang sekaligus penulis
skenario. Dan Wim, dengan bantuan Arifin C. Noer (skenario)
membuat film berdasarkan novel populer Ashalli Siregar.
Tapi berlainan dengan Ashadi yang bercerita secara kronologis,
susunan cerita yang dihasilkan Arifin memulai perjalanannya dari
ziarah kuburan yan dilakukan oleh Anton (Roy Marten ke kuburan
dua tokoh utama yang telah tiada. Seluruh cerita menjadi sekedar
kenangan Anton yan terduduk di depan nisan kedua temannya.
Barangkali untuk mengingatkan penonton akan hal itulah maka di
tengah-tengah cerita, beberapa kali adegan Anton menabur bunga
di kuburan itu diperlihatkan. Keberanian bercerita macam ini
memang patut dipujikan, tapi bukan tanpa risiko. Paling tidak
risiko mengerutkan kening penontnn. Mungkin akan lebih lancar
jalannya cerita jika pemunculan Anton di kuburan disederhanakan
dengan menyisakan bagian awal dan penutup.
Adapun tentang kisahnya, karya Ashadi Siregar yang amat populer
ini nampak masih juga bersibuk dengan impian-impian pengarangnya
mengenai dunia kemahasiswaan sebagai yang diperlihatkannya dalam
Kampus Biru. Anton-dalam Kampus Biru juga dimainkan oleh Roy
Marten - masih merupakan tokoh kesenangan Ashadi. Cerdas sebagai
penuntut ilmu, hangat dalam pergaulan, Anton juga jago dalam
bercinta. Ini amat berlainan dengan Farai Tody (Cok Simbara).
Serius dalam kegiatan kemahasiswaan, Tody yang mengaku selalu
dikecewakan oleh wanita itu, penampilannya angker dan dingin di
tengah sejumlah gadis. Yang terakhir ini tokoh yang dinasib
-murungkan sang pengarang. Barangkali karena itulah dengan
segala cara, Tody akhirnya dijebloskan ke liang lahat setelah
menderita berbagai tekanan batin.
Irawaty Yang Itu Juga
Yang juga berakhir di liang lalat adalah Irawaty (Jenny
Rahrnan), puteri orang kaya yang gemar rmortin dan pergaulan
bebas. Bagi para penonton tetap film Indonesia, tokoh ini bukan
tokoh yang asing disayangi oleh orang tua secara berlebihan
sedang pengawasan tidak memadai, morfin dan sex bebas
merenggutnya. Dan matinya Irawaty pun haruslah dilihat dalam
moralitas massal yang mendominasi cerita pop dan film-film kita.
Bertahannya Widuri (Lenny Marlina) terhadap maut, meski mendeita
lahir batin, juga sebaiknya dilihat dalam moralitas van sama.
Lalu apa sebenarnya yang ingin dikemukakan oleh Ashadi di sini?
Di dalam lampus Biru -- meski percintaan Anton dan dra Yusnita
agak berlebihan -- tidak urung terasa menyentuh juga impian sang
pengarang. Dengan membandingkan Anton dan Tody, soalnya menjadi
lain.
Paling tidak cara menggambarkan Tody dalam film ini tidaklah
sepadan bagi "hukuman" yang akhirnya dijatuhkan padanya dengan
kematian itu. Tody bukanlah tokoh yang kontras perwatakannya
dengan Anton. Meski cukup berbawa sebagai ketua panitia masa
perkenalan ia toh bisa bercinta dengan gadis "centil" Irawaty di
Kaliurang. Perbedaannya dengan Anton bukanlah perbedaan
diametral melainkan dalam tingkat. Yang satu lebih lincah, lebih
hangat, yang satunya - lantaran pengalaman lebih berhati-hati
dan berperhitungan.
Barangkali saja kesan ini timbul lantaran karya Wim berusaha
sesetia mungkin pada novel Ashadi. Arifin C. Noer kelihatannya
kurang keberanian untuk mengembangkan karya Ashadi itu menjadi
sebuah skenario yang lebih kaya meski memang harus sedikit
"melampaui" novel aslinya. Tapi kesan yang paling keras adalah
bahwa Wim Umboh tidak mengemukakan tafsirannya terhadap cerita
yang difilmkannya. Wim hanya memfilmkan novel Ashadi tanpa
dirinya sendiri terlibat. Ini bisa terlihat pada mengalirnya
cerita tanpa usaha memberi tekanan untuk maksud tertentu dari
sang sutradara.
Tapi film ini mungkin menarik juga untuk ditonton. Selain untuk
melihat - sekli lai -- keterampilan Wim Umboh serta hasil
kerja kamera Lukman Hakim Nain, dengan menyaksikan film ini
orang toh berkesempatan mengikuti cerita Ashadi tanpa harus
bersusah payah berjam-jam membacanya. Seluruh film ini dibuat di
Yogyakarta, suatu hal yang menycbabkannya pemandangan baru di
layar setelah film-film kita berputar di berbagai plosok
Jakarta.
Wim Umboh juga mengedit filmnya sendiri. Sebagai editor terbaik
dalam FFI 1977, di dalam karyanya ini pun Wim tampil dengan
keterampilannya itu. Gerak yang dinamis memenuhi film ini.
Begitu dinamisnya sehingga kadangkadang mengejutkan. Keinginan
Wim bercerita dengan cara memintas memang patut dipuji, tapi
tidak pada adegan pertemuan antara Tody dan ayah Irawaty (Umar
Kayam) atau pada peralihan dari adegan perkelahian di penjual
gudeg ke adegan menerima surat di dalam kampus. Yang pertama
menimbulkan pertanyaan mengenai mudahnya jadi manajer perusahaan
(dalam naskah aslinya, pekerjaan itu diperoleh karena katabelece
sang dekan), sedang pada yang kedua menimbulkan kecurigaan akan
kekurangan imajinasi si pembuat film. Di bagian terakhir, ketika
menjelang ajal Tody, editing yang teramat lincah -- pergantian
close up Tody dan patung kecil bunda Maria -- tidak berhasil
menciptakan suasana sendu yang memukau. Perhatian penonton
terampas dan kematian lolos dari tangkapan.
Film ini memang suatu langkah baru bagi Wim dalam hubungannya
dengan novel. Dalam keadaan demikian, tidak sepantasnya diminta
terlalu banyak dari padanya. Ia tidak berhasil menimbulkan
keharuan, bahkan tidak sempat secara saksama menempa pemainnya.
Tapi Kugapai Cintamu ini toh merupakan salah satu karya Wim yang
jelas ujung pangkalnya, paling tidak, jika dibandingkan dengan
Cinta atau bahkan Sesuatu Yang Indah.
Salim Said
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini