Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Arti 50 ekor sapi

Penghuni daerah transmigrasi masingai, banjarmasin merasa rugi dengan matinya 50 sapi yang kotorannya dijadikan pupuk kandang. pupuk buatan sangat diperlukan karena tanah disana tidak mengandung zat kapur. (ds)

17 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA dari 50 ekor sapi di daerah transmigrasi Masingai, sekitar 250 Km dari Banjarmasin, beberapa waktu lalu mati. Serta merta 530 kepala keluarga transmigran di sana murung. Bukan sebab mereka harus mengganti sapi titipan pemerintah itu. Melainkan dengan musibah itu jatah kotoran sapi di antara mereka jadi berkurang. Padahal kotoran tersebut adalah satu-satunya jenis pupuk untuk tanaman mereka di tempat itu. Masingai dihuni oleh kaum transmiran sejak Pebruari tahun lalu. Sepintas tanaman mereka subur. Bayangkan singkong rata-rata mencapai ketinggian rata-rata atap rumah. Kacang tanah dan kedelai pun rimbun dan hijau-hijau daunnya. Meski begitu, kecuali singkong, "pohon lainnya tidak ada artinya sama sekali," kata Sastro seorang di antara keluarga transmigran itu. Kacang tanah dan kedelai itu berbuah kerdil. Sastro berasal dari Semarang. Di tanah asalnya dulu ia banyak punya pengalaman dalam urusan pertanian. Setelah beberapa waktu tinggal di Masingai ia pun berkata: "tanah di sini tidak mengandung zat kapur." Petani transmigran yang satu ini memang tidak mempunyai latar belakang sekolah pertanian. Tapi dari pengalamannya di Semarang dulu ia tahu bahwa zat kapur perlu untuk tanaman semacam kacang tanah. Itulah sebabnya kacang tanah dan kedelai yang ditanam Sastro dan kawan-kawannya di Masingai hanya daunnya saja yang subur. Akan hal hasilnya "tidak memadai." Kalangan ahli pertanian di Bogor mengakui bahwa banyaknya daun pada sesuatu jenis pohon memang tidak berarti pohon tersebut produktif. Beberapa jenis tanaman tertentu bahkan harus digunting daunnya manakala melebat agar hasil tanaman itu sendiri bisa berlipat. Misalnya bengkuang. Pupuk buatan maupun pupuk kandang bisa digunakan untuk berbagai jems tanaman. Termasuk kacang tanah atau kedelai. Nah, karena pupuk buatan di daerah transmigran -- setidaknya di Masingai sampai saat ini -- tak ada dijual orang, dengan sendirinya pupuk kandang jadi andalan. Dan itu adalah kotoran sapi tadi. Mengangguk Sastro tidak tahu persis berapa keperluan kotoran untuk setiap hektar tanaman mereka. Tapi ia punya perhitungan begini. Kalau setiap ekor sapi memproduksi 10 kilogram kotoran sehari, maka hasilnya di Masingai hanya 450 kilogram. "Itu tidak cukup, sebab dengan begitu tiap keluarga sehari hanya kebagian tahi sapi 9 ons saja," katanya. Akhir Januari lalu Gubernur Kalimantan Selatan Subarjo kebetulan sempat melongok Sastro dan kawan-kawannya. Kepada Gubernur cerita tadi disampaikannya. Gubernur mengangguk-angguk saja. Sungguhpun begitu kedatangannya bukan tidak membawa berkah bagi kaum transmigran Masingai. Gubernur ketika itu mendondong sejumlah bibit cengkeh dan kopi. Juga 100 ekor kambing. Dengan bantuan jenis hewan yang lain ini Sastro dan kawan-kawan pun tersenyum. Sekalipun mereka masih mempunyai keluhan lain. Yakni, tanah yang mereka dapat rata-rata baru 1 hektar, Padahal menurut janji pemerintah kepada mereka dulu sebagai transmigran akan diberi tanah dua kali jumlah itu. Dan itu betul. Kalangan pembantu Subarjo menjawab: "Pemerintah masih berusaha mencarikan tanah yang lebih bagus untuk mereka bersawah." Namun khususnya 200 di antara 530 kepala keluarga transmigran juga masih mempunyai keluhan yang lain lagi. Mereka sudah genap setahun tinggal di daerah transmigran. Dengan begitu mereka tidak lagi mendapat bantuan uang lauk pauk. Sementara tumbuhan mereka rata-rata hanya singkong saja yang bisa diandalkan. Subardjo menyambut keluhan terakhir ini sebagai akan diperhatikan. Belum diketahui bagaimana jelasnya arti jawaban tersebut. Hanya kepada kaum transmigran itu Subardjo menasehati: agar anak-anak saja yang diberi makan nasi. Artinya para orang tua harus makan singkong untuk beberapa waktu, kira-kira.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus