TANPA upacara protokolar. Tanpa pengeras suara. Juga tanpa
pemberitaan yang luas sehingga tak banyak yang sempat menggubris
penampilan itu. Tapi kelima pemusik Inggeris dari "The Academy
of Ancient Music" tersebut telah membawakan musik-musik yang
luar biasa bagusnya. Selama 2 hari berturut-turut - Saptu dan
Minggu terakhir bulan Nopember yang lalu mereka membuat gereja
Emanuel di mana pergelaran itu dilangsungkan -menghidupkan
kembali karya awal abad 17 dari tangan Monteverdi, Cavalli,
Buonamente, Purcell, Couperin, Scarlatti dan Handel.
Ngomong-ngomong, kita sebetulnya tidak perlu mengeluh karena
kehausan mendengarkan musik barat yang bagus dengan penampilan
yang mampu menjawab tuntutan-tuntutan teknik maupun estetik.
Sebab hitung-hitung cukup banyak musikus-musikus besar yang
lewat di sini. Hanya saja malangnya hampir tidak ada yang rajin
menyinggahkan mereka untuk main di Tanah Air kita ini. Sementara
itu banyak hal-hal yang tidak perlu justru terjadi. Misalnya ada
sebuah Lembaga Kebudayaan Asing di Jakarta ini yang tidak
malu-malu mendatangkan seorang pianis yang hanya mengiringi film
bisu "200 tahun".
Intim
Memang kalau dibandingkan dengan penonton wayang,
pendengar-pendengar musik di Jakarta sekalipun - pada umumnya
masih dalam taraf baru mulai keranjingan. Dengan bahasa yang
agak kasar, katakanlah kwalitas mendengar pada umumnya masih
mentah. Kita misalnya belum trampil untuk membedakan lagu
anak-anak yang segar dengan nyanyian anak-anak bikinan orang
dewasa. Ini kalau tidak segera dibina, daya tangkap pendengar
lama-lama bisa menjadi bosok, seperti buah yang tidak pernah
matang.
Itulah sebabnya kenapa konser orang-orang Inggeris itu boleh
dianggap sebuah kejadian yang penting bagi kehidupan musik kita.
Sama sekali bukan karena mereka datang dari barat. Semata-mata
karena mereka membuktikan bahwa musik masih dapat didengarkan
secara intim . Dalam penampilannya mereka tidak pernah ngotot
untuk bisa meyakinkan. Kekuatannya sudah ada dalam musiknya
sendiri, di samping penguasaan diri yang terus-menerus walaupun
sampai pada saat-saat yang paling kritis. Barangkali ini salah
satu sebab yang menghasilkan adanya hubungan mesra pendengar
dengan yang didengar. Umpama ucapan-ucapan lembut yang mempunyai
pesona yang lebih besar ketimbang iklan-iklan keras yang tak
meyakinkan.
Planetarium
Keadaan akuistik gereja Emanuel di Gambir memang sangat membantu
konser tersebut. Tidak diperlukan sama sekali pengeras suara,
sehingga kita menangkap bunyi-bunyi dari tangan pertama. Para
musisi Inggeris itu sendiri menyatakan kekagumannya bahwa
itulah tempat terbaik akuistiknya selama mereka mengembara di
Timur Tengah. Orgel yang lama terlantar dalam gereja itu,
terdengar suaranya lagi. Orang boleh teringat bahwa instrumen
itu dibangun pada tahun 1929 dan baru akhir-akhir ini dimulai
kembali usaha-usaha untuk merawatnya. Sebagai salah satu
kekayaan musik di Indonesia, hal ini tentunya menggembirakan
para pencinta musik, karena kekayaan itu mulai tidak
disia-siakan lagi. Sebagaimana diketahui dari bermacam-macam
instrumen yang ada pada masa ini, orgel tetap dapat menunjukkan
cirinya yang khas karena ia tidak melahirkan suara-suara
sintetis yang murahan.
Barangkali ada baiknya juga bahwa penampilan musik sekarang
banyak memanfaatkan gedung-gedung yang mempunyai kondisi
akuistik yang baik. Jadi tidak hanya bolak-balik di TIM dengan
kondisi gedung yang seringkali belum mcluenuhi tuntutan musik
itu sendiri. Gereja Emanuel adalah salah satu tempat yang ideal.
Di samping itu mungkin banyak orang tidak tahu - gedung
planetarium -- masih dalam kawasan TIM, mempunyai kondisi yang
musikal sekali.
Slamet A. Syukur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini