SEBANYAK 129 warga kepenghuluan Kampung Panjang, Kecamatan.
Telawi, Kabupaten Asahan dari kampung-kampung Kandang, Gunung
Rantai dan Gunung Kaluat, akhir Oktober lampau membikin repot
pejabat-pejabat setempat. Mereka mengaku menganut agama Kristen
Panakkasi atau libel Kring. Dan mereka menyatakan tidak mau
mematuhi peraturan Pemerintah RI, yaitu tidak mau memilih dalam
pemilu 1977, tak mau menaikkan bendera Merah Putih, tak mau
berkartu penduduk dan emoh jadi anggota Hansip/Kamra.
Lebih-lebih lagi mereka tak mau melepaskan diri sebagai penganut
agama Kristen Panakkasil atau Bibel Kring yang telah dilarang
Jaksa Tinggi Sumatera Utara dan Jaksa Agung RI.
Tak hanya berbentuk ucapan, sikap ini mereka ujudkan dalam
tindakan. Bahkan mereka nyatakan melalui sebuah surat pernyataan
yang mereka tujukan kepada Musda (Musyawarah Pimpinan Daerah)
Kecamatan Talawi. Tentu juga kepada Pejabat Bimas Agama Kristen
Tingkat II Asahan di Tanjung Balai. Pendirian tersebut juga
merupakan sikap seluruh penganut Kristen Bibel Kring yang
menurut statistik berjumlah 318 orang. Mereka ini terdiri dari
65 orang laki-laki dewasa (di atas 17 tahun), 80 wanita dewasa,
84 laki-laki di bawah 17 tahun dan 89 wanita di bawah umur.
Seluruhnya tergabung dalam 52 rumah tangga . "Kami sudah siap
menerima tindakan pemerintah. Mau diapakan pun jadi. Penjara
"Boleh", ucap Sangil Manurung, 60 tahun, dari Gunung Rantai yang
juga ikut menanda-tangani pernyataan.
Sangil Manurung tampaknya tak menyombong. Sebab daftar
registrasi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Labuhan Ruku
bisa membuktikan, dia tak boleh maun-main dengan ucapannya.
Berdasarkan vonis Hakim Huzaifa Parlindungan SH dari Pengadilan
Tanjung Balai (11 Maret 1971), 4 orang penganut Agama Kristen
Panakkasi/Bibel Kring pernah mendekam di sana selama 1I tahun.
Pasal 156 a KUHP dikenakan kepada, mereka, karena mereka
menyatakan tak mau turut dalam Pemilu 1971. Dan jauh sebelumnya,
di tahun 1959, 40 penganut agama serupa pernah pula dijebloskan
ke penjara yang sama karena menolak kewajiban ber-KTP. Di
antaranya 7 orang dihukum 2 minggu penjara, 10 orang 1 bulan
penjara dan sisanya, 3 hujan penjara.
Lomo Samosir
Bagi penganut kepercayaan ini di penjara atau tidak bukanlah
soal. Sebab "mencari sorga itu harus dengan penderitaan", ujar
Sangil Manurung di rumahnya yang lebih mirip pondok perladangan
itu kepada Amran Nasution dari TEMPO. "Bukankah Jesus dulu juga
menderita?" tutur Sangil yang pernah disekap di penjara selama 3
bulan. Orangtua dengan 4 anak yang mengidap penyakit TBC itu tak
mau jera, hingga ia turut pula menandatangani surat pernyataan
tadi.
Tak ada yang tahu persis bagaimana asal usul agama Panakkasi
alias Kristen Bibel Kring itu. Kecuali arti Panakkasi yang dalam
hahasa Batak berarti peneliti. Tapi menurut catatan Kejaksaan
Tinggi Sumatera Utara, agama tersebut berasal dari Tiga Dolok
Kabupaten Simalungun dan pendirinya Lomo Samosir. Disinyalir
terdapat juga di Asahan dan Kabupaten Labuhan Batu.
Sehari-hari para penganut ajaran tersebut hidup dan berkembang
biak di antara mereka sendiri. Mereka pergi ke ladang tanpa
mengunci rumah. Karena tak khawatir barang-barang dicuri orang.
Sebab mereka berependirian. "mencuri dilarang Al Kitab". Tapi
mereka memang sulit berkomunikasi dengan orang yang tak
sealiran. Tak mau datang ke pesta-pesta orang lain itu. Meski
diundang. Umumnya keadaan mereka miskin dan berpendidikan
rendah. Anak-anak mereka pun cuma sekolah Sampai SD kelas IV.
Mereka tak mempunyai pemimpin karena tampaknya memang tak
memerlukannya. Juga tak memerlukan gereja atau pendeta. Ibadah
bersama mereka, seakan seperti mengadakan arisan. Bergilir dari
rumah ke rumah. Dipimpin dan dengan pengkhotbah si tuan rumah
sendiri. (Berarti setiap penganut agama ini, sekurang-kurangnya
kepala rumah tangga, mesti menguasai ajaran agamanya). Mereka
juga hanya kawin antara sesamanya. Dan dengan upacara sederhana
sekali. Bila sepasang muda-mudi sama-sama setuju, perkawinan
dilakukan di sebuah rumah dengan pemilik rumah sebagai
pendetanya. Kendurinya cukup makan nasi dan ikan teri (mungkin
karena mereka miskin). Lalu dilaporkan kepada Kepala Kampung.
Menurut penyelidikan A. Hutagaol, Praeses HKBP (Huria Kristen
Batak Protestan) yang membawahi Kabupaten Asahan dan Labuhan
Batu, aliran Bibel Kring ini sudah ada sejak zaman penjajahan,
persisnya 1943. Tak jelas kenapa disebut begitu. Tapi mungkin
maksudnya, kalangan atau golongan pengikut Bibel juga (Kring
dalam bahasa Belanda berarti golongan atau kalangan).
Penganutnya kebanyakan berasal dari. Tiga Dolok (Kabupaten
Simalungun) yang kemudian berpencar ke daerah lain. "Mereka
mengaku punya Al Kitab, tapi menafsirkannya menurut selera
sendiri", tutur Hutagaol. Dan seperti dituturkan Sangil Manurung
yang mengaku mengananut ajaran Kring Bibel sejak 1956 tanpa
melalui guru agama atau pendeta, "kepercayaan kami tak mempunyai
pendeta khusus atau gereja sebagai lazimnya agama Kristen. Semua
orang berganti-ganti jadi pendeta dan berkhotbah di hari Minggu.
Semua ruman bisa jadi gereja buat tempat beribadat". Menurut
Sangil hal itu sesuai dengan ajaran Bibel Surat Ulaon Na Postel
ayat 46 (Bibel bahasa Batak).
Azimat
Namun semua Pernyataan dan tindakan para penganut aliran ini
menurut mereka. "sesuai dengan Bibel". Misalnya mereka menolak
jadi Hansip/Kamra, karena menafsirkan Surat Rum pasal I ayat 1,
yang berisi seruan menyiarkan Bibel tanpa kekerasan senjata.
Karena Hansip Kamra atau tentara memegang senjata, mereka
menolaknya. "Kita disuruh hanya membawa buku saja", ujar Sangil
lagi. Dan soal KTP, dalil mereka Surat 2 Musa 20 ayat 3 yang
melarang "menjadikan ilah (Allah) lain sebagai Tuhan" . Menurut
tafsiran mereka, karena pihak pemerintah seakan-akan telah
menjadikan KTP sebagai azimat, maka memiliki kartu itu bagi
mereka berarti "mempertuhankannya".
Dalam hal pemilu mereka berpegang pada Psalmen (surat Mazmur) 75
ayat 7 dan 8 yang berisi ajaran: Tuhan lah sebenarnya yang
mengangkat orang jadi pemimpin dan lainnya. Turut serta dalam
Pemilu mereka tafsirkan sebagai mendurhaka kepada Tuhan. Karena
mengerjakan pekerjaan yang hanya berhak dilakukan Tuhan. Sedang
menolak memasang dan menghormat bendera, karena mereka
berpendapat, "menghormat bendera (dalam upacara) berarti
menyembahnya. "Berdosa menyembah benda mati, bendera itu kan
benda mati", ujar Sangil. Dan seterusnya.
Tentu saja keyakinan seperti itu sulit diterima Ishak Sitorus,
Kepala Penyelenggara Bimas Kristen/Protestan Departeman Agama
Asahan. "Mereka orang yang sesat, tapi tak mau disadarkan.
Jangankan kepala kampung, kami sendiri kewalahan", tutur Ishak.
Dan memang Maruli Sirait, sang kepala kampung sebegitu jauh tak
berhasil menyadarkan mereka agar mau mematuhi peraturan
pemerintah. Hanya anehnya menurut Maruli dalam hal gotong-royong
dan membayar Ipeda (luran Pembangunan Daerah) mereka amat patuh.
Karena menurut mereka, "membayar pajak kepada pemerintah, memang
disuruh dalam Bibel". "Begitu datang tahun, mereka cepat-cepat
datang membayar Ipeda", tutur Maruli pula.
Belum Menggoncangkan
Lalu apa saja yang dilakukan Isha Sitorus? "Kami kemukakan
kepada mereka ayat-ayat Bibel yang kuat untuk merontokkan
penafsiran mereka yang lemah dan salah terhadap ayat-ayat Bibel
tadi", tutur Ishak. Berdasarkan keputusan Muspida Asahan, Ishak
telah membentuk team di lingkungan instansinya. Dengan
didampingi Musda setempat, 15, 17 dan 22 September lalu, team
tersebut mendatangi kampung-kampung yang dihuni penganut agama
tadi. Mereka dikumpulkan di balai desa dan mendapat ceramah
agama dari Ishak. Bahkan juga berdebat. Ishak misalnya mencoba
meyakinkan mereka bahwa "orang Kristen harus patuh pada
pemerintah". Itu sesuai ajaran Bibel surat Titus 3 ayat 1 dan
Surat Rum 13 ayat 1 dan 2. "Tak mau pemilu, tak mau berkartu
penduduk, tak mau jadi Hansip/Kamra dan tak mau mengakui bendera
itu berarti melawan pemerintah yang berkuasa", ujar Ishak
Sitorus. "Kalau kamu nanti masuk penjara, bukan karena hukuman
pemerintah, tapi hukuman Tuhan".
Bagaimana hasilnya? "Tahu-tahu mereka membuat pernyataan
tertulis. Kita rasanya seperti ditampar saja", kata Sitorus,
sambil menyatakan bahwa sebenarnya fihaknya cuma secara tak
langsung membina mereka. Sebab pembinaan sebenarnya "diserahkan
pada pemimpin-pemimpin gereja". Tapi tak dijelaskan siapa atau
gereja mana. Sebab bila dihadapkan kembali ke Pendeta A.
Hutagaol, ternyata ia membantahnya. Meski katanya, "terpanggil
juga untuk menyadarkan orang yang tergolong sesat itu". Misalnya
beberapa waktu lalu mereka melakukan survey terhadap
penganut-penganut agama itu. Dan Ishak Sitorus sendiri akhirnya
harus mengakui: "Berat. Tak mungkin menggarap mereka dalam waktu
singkat".
Tampaknya memang memerlukan waktu. Sementara Pendeta A. Hutagaol
merasa khawatir, "pengikut aliran itu makin bertambah banyak".
Dan ia menyesalkan fihak Pakem (Pengawas Aliran Kepercayaan
Masyarakat) dari Kejaksaan setempat, yang katanya kurang aktif.
Sesalan ini tentu saja dibantah fihak yang terakhir ini. Karena
menurut fihak Pakem, fihak Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara sudah
melakukan pelarangan terhadap agama tersebut (SK nomor 44/H, 2
Oktober 1970). Yang kemudian diperkuat Kqaksaan Agung 6 April
1971. Dan berdasarkan itu semua Perwakilan Kejaksaan Negeri
Tanjung Balai di Labuhan Ruku, pernah melakukan razia menyita
beberapa kitab suci (yang tak lain Bibel juga) dan buku-buku
ajaran mereka. Juga menangkapi orang-orang yang dianggap
tokohnya. Dan menghukum merek dengan hukuman penjara. Toh
mereka terus berpegang pada ajaran agama tersebut.
Namun sebegitu jauh, menurut Letkol Endang Wagiman, Komandan
Kodim 0205 Asahan, "mereka belum sampai menggoncangkan
stabilitas keamanan atau politik". Juga mereka tak aktif
mengadakan kegiatan memperbesar jumlah anggota. Hingga Letkol
Endang Wagiman menilai mereka sebagai "warga negara yang tidak
sepenuhnya tahu akan kewajiban".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini