Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Bibel kring, pemilu dan ktp

Panganut agama kristen panakkasi atau bibel kring di kampung panjang, kab. asahan tak mematuhi peraturan pemerintah ri, mengikuti pemilu, ber-ktp. belum menggoncangkan stabilitas keamanan & politik. (ag)

11 Desember 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBANYAK 129 warga kepenghuluan Kampung Panjang, Kecamatan. Telawi, Kabupaten Asahan dari kampung-kampung Kandang, Gunung Rantai dan Gunung Kaluat, akhir Oktober lampau membikin repot pejabat-pejabat setempat. Mereka mengaku menganut agama Kristen Panakkasi atau libel Kring. Dan mereka menyatakan tidak mau mematuhi peraturan Pemerintah RI, yaitu tidak mau memilih dalam pemilu 1977, tak mau menaikkan bendera Merah Putih, tak mau berkartu penduduk dan emoh jadi anggota Hansip/Kamra. Lebih-lebih lagi mereka tak mau melepaskan diri sebagai penganut agama Kristen Panakkasil atau Bibel Kring yang telah dilarang Jaksa Tinggi Sumatera Utara dan Jaksa Agung RI. Tak hanya berbentuk ucapan, sikap ini mereka ujudkan dalam tindakan. Bahkan mereka nyatakan melalui sebuah surat pernyataan yang mereka tujukan kepada Musda (Musyawarah Pimpinan Daerah) Kecamatan Talawi. Tentu juga kepada Pejabat Bimas Agama Kristen Tingkat II Asahan di Tanjung Balai. Pendirian tersebut juga merupakan sikap seluruh penganut Kristen Bibel Kring yang menurut statistik berjumlah 318 orang. Mereka ini terdiri dari 65 orang laki-laki dewasa (di atas 17 tahun), 80 wanita dewasa, 84 laki-laki di bawah 17 tahun dan 89 wanita di bawah umur. Seluruhnya tergabung dalam 52 rumah tangga . "Kami sudah siap menerima tindakan pemerintah. Mau diapakan pun jadi. Penjara "Boleh", ucap Sangil Manurung, 60 tahun, dari Gunung Rantai yang juga ikut menanda-tangani pernyataan. Sangil Manurung tampaknya tak menyombong. Sebab daftar registrasi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Labuhan Ruku bisa membuktikan, dia tak boleh maun-main dengan ucapannya. Berdasarkan vonis Hakim Huzaifa Parlindungan SH dari Pengadilan Tanjung Balai (11 Maret 1971), 4 orang penganut Agama Kristen Panakkasi/Bibel Kring pernah mendekam di sana selama 1I tahun. Pasal 156 a KUHP dikenakan kepada, mereka, karena mereka menyatakan tak mau turut dalam Pemilu 1971. Dan jauh sebelumnya, di tahun 1959, 40 penganut agama serupa pernah pula dijebloskan ke penjara yang sama karena menolak kewajiban ber-KTP. Di antaranya 7 orang dihukum 2 minggu penjara, 10 orang 1 bulan penjara dan sisanya, 3 hujan penjara. Lomo Samosir Bagi penganut kepercayaan ini di penjara atau tidak bukanlah soal. Sebab "mencari sorga itu harus dengan penderitaan", ujar Sangil Manurung di rumahnya yang lebih mirip pondok perladangan itu kepada Amran Nasution dari TEMPO. "Bukankah Jesus dulu juga menderita?" tutur Sangil yang pernah disekap di penjara selama 3 bulan. Orangtua dengan 4 anak yang mengidap penyakit TBC itu tak mau jera, hingga ia turut pula menandatangani surat pernyataan tadi. Tak ada yang tahu persis bagaimana asal usul agama Panakkasi alias Kristen Bibel Kring itu. Kecuali arti Panakkasi yang dalam hahasa Batak berarti peneliti. Tapi menurut catatan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, agama tersebut berasal dari Tiga Dolok Kabupaten Simalungun dan pendirinya Lomo Samosir. Disinyalir terdapat juga di Asahan dan Kabupaten Labuhan Batu. Sehari-hari para penganut ajaran tersebut hidup dan berkembang biak di antara mereka sendiri. Mereka pergi ke ladang tanpa mengunci rumah. Karena tak khawatir barang-barang dicuri orang. Sebab mereka berependirian. "mencuri dilarang Al Kitab". Tapi mereka memang sulit berkomunikasi dengan orang yang tak sealiran. Tak mau datang ke pesta-pesta orang lain itu. Meski diundang. Umumnya keadaan mereka miskin dan berpendidikan rendah. Anak-anak mereka pun cuma sekolah Sampai SD kelas IV. Mereka tak mempunyai pemimpin karena tampaknya memang tak memerlukannya. Juga tak memerlukan gereja atau pendeta. Ibadah bersama mereka, seakan seperti mengadakan arisan. Bergilir dari rumah ke rumah. Dipimpin dan dengan pengkhotbah si tuan rumah sendiri. (Berarti setiap penganut agama ini, sekurang-kurangnya kepala rumah tangga, mesti menguasai ajaran agamanya). Mereka juga hanya kawin antara sesamanya. Dan dengan upacara sederhana sekali. Bila sepasang muda-mudi sama-sama setuju, perkawinan dilakukan di sebuah rumah dengan pemilik rumah sebagai pendetanya. Kendurinya cukup makan nasi dan ikan teri (mungkin karena mereka miskin). Lalu dilaporkan kepada Kepala Kampung. Menurut penyelidikan A. Hutagaol, Praeses HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) yang membawahi Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu, aliran Bibel Kring ini sudah ada sejak zaman penjajahan, persisnya 1943. Tak jelas kenapa disebut begitu. Tapi mungkin maksudnya, kalangan atau golongan pengikut Bibel juga (Kring dalam bahasa Belanda berarti golongan atau kalangan). Penganutnya kebanyakan berasal dari. Tiga Dolok (Kabupaten Simalungun) yang kemudian berpencar ke daerah lain. "Mereka mengaku punya Al Kitab, tapi menafsirkannya menurut selera sendiri", tutur Hutagaol. Dan seperti dituturkan Sangil Manurung yang mengaku mengananut ajaran Kring Bibel sejak 1956 tanpa melalui guru agama atau pendeta, "kepercayaan kami tak mempunyai pendeta khusus atau gereja sebagai lazimnya agama Kristen. Semua orang berganti-ganti jadi pendeta dan berkhotbah di hari Minggu. Semua ruman bisa jadi gereja buat tempat beribadat". Menurut Sangil hal itu sesuai dengan ajaran Bibel Surat Ulaon Na Postel ayat 46 (Bibel bahasa Batak). Azimat Namun semua Pernyataan dan tindakan para penganut aliran ini menurut mereka. "sesuai dengan Bibel". Misalnya mereka menolak jadi Hansip/Kamra, karena menafsirkan Surat Rum pasal I ayat 1, yang berisi seruan menyiarkan Bibel tanpa kekerasan senjata. Karena Hansip Kamra atau tentara memegang senjata, mereka menolaknya. "Kita disuruh hanya membawa buku saja", ujar Sangil lagi. Dan soal KTP, dalil mereka Surat 2 Musa 20 ayat 3 yang melarang "menjadikan ilah (Allah) lain sebagai Tuhan" . Menurut tafsiran mereka, karena pihak pemerintah seakan-akan telah menjadikan KTP sebagai azimat, maka memiliki kartu itu bagi mereka berarti "mempertuhankannya". Dalam hal pemilu mereka berpegang pada Psalmen (surat Mazmur) 75 ayat 7 dan 8 yang berisi ajaran: Tuhan lah sebenarnya yang mengangkat orang jadi pemimpin dan lainnya. Turut serta dalam Pemilu mereka tafsirkan sebagai mendurhaka kepada Tuhan. Karena mengerjakan pekerjaan yang hanya berhak dilakukan Tuhan. Sedang menolak memasang dan menghormat bendera, karena mereka berpendapat, "menghormat bendera (dalam upacara) berarti menyembahnya. "Berdosa menyembah benda mati, bendera itu kan benda mati", ujar Sangil. Dan seterusnya. Tentu saja keyakinan seperti itu sulit diterima Ishak Sitorus, Kepala Penyelenggara Bimas Kristen/Protestan Departeman Agama Asahan. "Mereka orang yang sesat, tapi tak mau disadarkan. Jangankan kepala kampung, kami sendiri kewalahan", tutur Ishak. Dan memang Maruli Sirait, sang kepala kampung sebegitu jauh tak berhasil menyadarkan mereka agar mau mematuhi peraturan pemerintah. Hanya anehnya menurut Maruli dalam hal gotong-royong dan membayar Ipeda (luran Pembangunan Daerah) mereka amat patuh. Karena menurut mereka, "membayar pajak kepada pemerintah, memang disuruh dalam Bibel". "Begitu datang tahun, mereka cepat-cepat datang membayar Ipeda", tutur Maruli pula. Belum Menggoncangkan Lalu apa saja yang dilakukan Isha Sitorus? "Kami kemukakan kepada mereka ayat-ayat Bibel yang kuat untuk merontokkan penafsiran mereka yang lemah dan salah terhadap ayat-ayat Bibel tadi", tutur Ishak. Berdasarkan keputusan Muspida Asahan, Ishak telah membentuk team di lingkungan instansinya. Dengan didampingi Musda setempat, 15, 17 dan 22 September lalu, team tersebut mendatangi kampung-kampung yang dihuni penganut agama tadi. Mereka dikumpulkan di balai desa dan mendapat ceramah agama dari Ishak. Bahkan juga berdebat. Ishak misalnya mencoba meyakinkan mereka bahwa "orang Kristen harus patuh pada pemerintah". Itu sesuai ajaran Bibel surat Titus 3 ayat 1 dan Surat Rum 13 ayat 1 dan 2. "Tak mau pemilu, tak mau berkartu penduduk, tak mau jadi Hansip/Kamra dan tak mau mengakui bendera itu berarti melawan pemerintah yang berkuasa", ujar Ishak Sitorus. "Kalau kamu nanti masuk penjara, bukan karena hukuman pemerintah, tapi hukuman Tuhan". Bagaimana hasilnya? "Tahu-tahu mereka membuat pernyataan tertulis. Kita rasanya seperti ditampar saja", kata Sitorus, sambil menyatakan bahwa sebenarnya fihaknya cuma secara tak langsung membina mereka. Sebab pembinaan sebenarnya "diserahkan pada pemimpin-pemimpin gereja". Tapi tak dijelaskan siapa atau gereja mana. Sebab bila dihadapkan kembali ke Pendeta A. Hutagaol, ternyata ia membantahnya. Meski katanya, "terpanggil juga untuk menyadarkan orang yang tergolong sesat itu". Misalnya beberapa waktu lalu mereka melakukan survey terhadap penganut-penganut agama itu. Dan Ishak Sitorus sendiri akhirnya harus mengakui: "Berat. Tak mungkin menggarap mereka dalam waktu singkat". Tampaknya memang memerlukan waktu. Sementara Pendeta A. Hutagaol merasa khawatir, "pengikut aliran itu makin bertambah banyak". Dan ia menyesalkan fihak Pakem (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) dari Kejaksaan setempat, yang katanya kurang aktif. Sesalan ini tentu saja dibantah fihak yang terakhir ini. Karena menurut fihak Pakem, fihak Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara sudah melakukan pelarangan terhadap agama tersebut (SK nomor 44/H, 2 Oktober 1970). Yang kemudian diperkuat Kqaksaan Agung 6 April 1971. Dan berdasarkan itu semua Perwakilan Kejaksaan Negeri Tanjung Balai di Labuhan Ruku, pernah melakukan razia menyita beberapa kitab suci (yang tak lain Bibel juga) dan buku-buku ajaran mereka. Juga menangkapi orang-orang yang dianggap tokohnya. Dan menghukum merek dengan hukuman penjara. Toh mereka terus berpegang pada ajaran agama tersebut. Namun sebegitu jauh, menurut Letkol Endang Wagiman, Komandan Kodim 0205 Asahan, "mereka belum sampai menggoncangkan stabilitas keamanan atau politik". Juga mereka tak aktif mengadakan kegiatan memperbesar jumlah anggota. Hingga Letkol Endang Wagiman menilai mereka sebagai "warga negara yang tidak sepenuhnya tahu akan kewajiban".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus