Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JARANG-jarang Gereja Anglikan, Cathedral of St. John the Divine, di Manhattan, New York, Amerika Serikat, ramai pada hari Jumat. Dua pekan lalu, sekitar seratus pria dan wanita berbaur dalam saf-saf rapi. Kebanyakan mereka berwajah khas timur tengah dan sebagian wanitanya berjilbab. Saat barisan berdiri dalam senyap, wanita yang berada di kepala barisan mengucap takbir: "Allahu akbar." Loh?
Ini peristiwa kontroversial. Amina Wadud, perempuan, profesor studi Islam di Virginia Commonwealth University, memimpin salat Jumat. Jamaknya, hanya lelaki yang boleh memimpin salat dengan jemaah pria ditambah, kadang-kadang, sedikit jemaah perempuan.
Langkah nekat Wadud dan jemaahnya ini tidaklah mulus. Sebelumnya dia berniat menggelar salat Jumat di masjid. Namun, tiga masjid di New York menolaknya. Beberapa hari sebelumnya, Wadud juga mendapat ancaman pembunuhan jika ngotot dengan niatnya. Akhirnya, hingga jam-jam terakhir sebelum salat digelar, para pengikutnya merahasiakan lokasi yang akan mereka pakai.
Tetap saja kabar itu menyebar. Saat salat dilakukan, sekitar 15 demonstran yang sebagian besar wanita menggelar protes di luar gereja. Salah seorang demonstran membawa plakat yang meminta kutukan Allah dijatuhkan kepada penyelenggara acara itu. "Dia menodai seluruh keyakinan Islam," kata seorang demonstran.
Salat Jumat itu diselenggarakan sekelompok pegiat, wartawan, dan pakar Islam yang berniat mendorong pembahasan tradisi yang memisahkan tempat salat pria dan wanita, serta menempatkan imam hanya untuk pria. Salah seorang penyelenggara, Asra Q. Nomani, mengatakan, mereka akan menantang status wanita sebagai "kelas dua" dalam kehidupan Islam.
Wadud membantah langkahnya menjadi imam salat sebagai sesuatu yang revolusioner. "Kami hanya ingin mengembalikan kepada spirit murni dalam Islam," katanya. Menurut dia, Islam merupakan agama pembebasan bagi wanita. Islam sejak awal memberikan hak-hak pada wanita, bahkan di saat wanita Eropa masih berada di abad kegelapan.
Kecaman dari banyak penjuru dunia muncul. Sayed Tantawi, Syeikh Masjid Al-Azhar, Kairo, Mesir, mengatakan, dalam Islam wanita tidak diizinkan berkhotbah untuk pria apalagi memimpin salat. "Tidak pantas makmum laki-laki melihat tubuh wanita di depannya," kata Tantawi dalam kolomnya di surat kabar Mesir, Al-Ahram.
Komentar serupa disampaikan KH Ali Mustafa Yaqub, anggota komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Prinsipnya, dalam hal muamalat semuanya diizinkan sepanjang tidak ada dalil yang melarang. Kebalikannya, dalam ibadah jika tidak ada perintah berarti dilarang. Ibadah harus mengikuti petunjuk Al-Quran dan petunjuk Rasul. Nah, sepanjang hidup Nabi tidak pernah ada wanita yang menjadi imam.
Ali mengakui ada hadits yang menceritakan seorang perempuan bernama Ummu Warakah mendapat izin Nabi untuk mengimami salat di rumahnya meskipun seorang laki-laki menjadi makmum. "Tapi lelaki itu diketahui sebagai budak. Jadi, itu keadaan khusus sekali yang tak bisa dipakai secara umum," katanya.
Siti Musdah Mulia, penggiat kesetaraan gender Islam, mengakui jika membuka hukum Islam klasik, terang-benderang bahwa hanya lelaki yang dibolehkan menjadi khatib dan imam. "Tapi saya kira prinsip-prinsip yang dipakai itu tidak lagi relevan dengan kondisi sekarang," katanya.
Siti Musdah mengaku pernah bertemu Wadud dalam beberapa kesempatan. Menurut dia, pemikiran perempuan asal Nigeria itu memang sangat progresif mengenai kesetaraan gender. Bukunya yang terkenal adalah Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman's Perspective, karya tulis yang menginterpretasikan Al-Quran dalam perspektif perempuan. Buku ini banyak dibela pemikir Islam progresif karena dianggap berhasil membongkar bias laki-laki dalam interprestasikan Al-Quran.
Meski sama-sama berpikiran liberal, Siti Musdah belum seberani Wadud. "Kalau landasannya belum terbangun, bisa buyar semua," katanya.
Agung Rulianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo