Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Penyerangan Kedua

Jemmy Piran, penulis yang lahir di Sabah, Malaysia, 18 Februari. Cerpen-cerpennya tersiar di beberapa media massa.

26 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penyerangan Kedua
Jemmy Piran

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Awal Desember 1980.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hujan mulai turun. Sungai-sungai meluap. Hutan kembali rimbun. Bukit-bukit yang kerontang menghijau.

Angin musim barat dan hujan memaksa kami harus menghindar, mengungsi ke tempat yang agak lebih tinggi, mendirikan kemah-kemah di tengah hutan.

Di hutan itu beberapa regu bergabung.

Setelah melakukan pembicaraan lewat radio komunikasi dengan tim pusat, kami diminta untuk melakukan penyerangan ke tempat yang lebih jauh dengan medan yang lebih menantang. Daerah itu lebih rawan karena di sanalah sarang para Fretilin. Banyak tentara juga terbunuh di sana. Kami menjadi regu yang ke sekian setelah beberapa regu sebelumnya dipukul mundur oleh pasukan Fretilin.

Tengah malam ketika masih gerimis, kami meninggalkan markas. Kami diinstruksikan agar dalam perjalanan tanpa mengeluarkan suara dan selalu tertib. Tidak ada yang boleh keluar dari rombongan, dan selalu berada dalam barisan. Sebelum keluar, aku menyentuh sebatang pohon, meminta agar dilindungi leluhurku. Seorang tentara langsung mengambil alih berdiri di depan dan mengatur kecepatan perjalanan kami. Malam itu nyaris tidak terdengar langkah kaki, mungkin karena diredam air hujan.

Ketika hampir menjelang fajar, aku dan dua orang teman diminta untuk memimpin perjalanan kami. Diana, inilah saat yang paling mendebarkan, karena, jika diketahui atau disergap Fretilin, tubuhku pasti akan ditembusi peluru terlebih dahulu sebelum yang lain. Aku tuntun naluri untuk tetap bergerak. 

Dalam situasi seperti ini, aku memikirkanmu, Diana. Dalam keadaan begini, seharusnya aku lebih banyak berkonsentrasi, tapi aku gagal. Mati sambil mengingatmu dalam perang begini tak salah bagiku. Aku bahagia. Itu saja yang kupikirkan.

Aku mengingat masa-masa kita saling memberi diri di pondok waktu itu. Rambutmu kulepas dari kuciran adalah semak yang mesti kuterabasi. Seperti rambutmu yang kumainkan dengan jemariku karena ada rasa aman di sana, kulewati rimbun semak tanpa ada rasa takut dipatuk ular. Karena yang kubayangkan adalah di bawah semak ada kulit kepalamu yang lembut walaupun jalanku sudah mulai timpang.

Saat mulai mendaki dan agak sulit melewati jalan karena licin, yang kubayangkan adalah saat-saat aku meyakinkanmu dan kamu mengiyakan agar tanganku meloloskan semua pakaianmu. Awalnya memang agak sulit sebab kamu tetap ingin menjaga sesuatu yang berharga sampai kita sah menjadi sepasang suami dan istri di tanah Lorosae. Diberkati oleh seorang pastor di depan altar. Kita pernah membayangkan bahwa akan menjadi sepasang yang paling diberkati jika bisa melangsungkan pernikahan saat perang sedang berlangsung. Kita orang yang beruntung di kolong langit ini. 

“Percayalah bahwa kita akan tetap bersama,” aku merayu. Kamu memelas. 

Aku berhasil melewati jalan licin itu. 

Saat mulai menaiki bukit, yang kubayangkan adalah sepasang payudaramu, Diana. Dadaku seperti terpacu begitu saja. Ada hasrat yang menggerakkan sepasang kakiku. Aku ingin segera sampai di puncak bukit itu, seperti aku yang waktu itu amat terburu-buru menyesap putingmu. Ada gemuruh dalam dadaku. Seorang teman yang berada dekat aku, menggamit, karena langkahku tidak lagi seperti semula. Tanganku yang gemetar menyentuh sepasang bukitmu sama seperti kakiku yang gemetar. Sesampainya kami di bukit, degup jantungku belum benar-benar normal. 

Degup itu makin kencang, sesaat setelah aku menyadari bahwa di samping kiri, tak jauh dari tempat kami, hanya beberapa langkah terdapat jurang yang menganga. Dari ketinggian itu, seorang tentara mengarahkan telunjuknya jauh ke depan, ke sebuah titik. Kami melihat percikan api, dan setelahnya terdengar bunyi senjata yang menggema. Untuk bisa sampai ke sana, setidaknya kami harus melewati lembah yang terbentang jauh.

Rasanya aku belum siap, Diana. Aku menyandarkan tubuh pada sebatang pohon lalu menarik napas dalam. Aku punya firasat tidak baik. Aku memejamkan mata, berdoa, dan meminta leluhur menyertaiku. 

Kami kemudian bergerak turun. Tiba-tiba kepalaku pusing. Seluruh tenagaku seperti luruh. Tubuhku gemetar. Aku menarik napas lagi, membayangkanmu lagi, Diana. Aku akan mati, begitu keyakinan muncul dalam diriku. Di saat akhir begini, aku membayangkan hal-hal yang membuat aku sedikit terhibur. Lembah yang akan kami takluki ini adalah lembah liangmu yang semula kutelusuri dengan jemariku. Basah, lembap, dingin, dan berimbun. Saat menyusup makin jauh, aku membayangkan bagaimana aku menyatu dalammu, menyempurnakan cinta kita. Aku siap menghadapi perang ini.

Suara rintihanmu adalah kecipak air, bukan suara yang mesti kutakuti karena rintihan dalam perang selalu mengirimkan rasa takut atau prasangka.

Keteganganku berangsur-angsur membaik. Aku sudah tidak takut, Diana. Semua berubah dalam beberapa waktu saat membayangkanmu. Ternyata kekuatan cinta mampu mengalahkan rasa takut dan kematian. Aku tidak takut perang ini, tapi aku takut kehilanganmu. Sungguh, aku menjadi laki-laki beruntung karena telah mendapatkan cintamu. Untuk itu, terima kasih.

Dianaku, junjungan jiwaku.

Semakin menyusup ke dalam lembah, kabut-kabut makin tebal, memaksa kami bergerak lebih lamban dan hati-hati. Lama-kelamaan hawa dingin terasa semakin menusuk, meremas tulang-tulang kami. Tentara yang berada di depan kami berhenti, memberi instruksi, kami lantas merendahkan tubuh, mencari tempat untuk bersembunyi. 

Kami melihat ada sekelebat bergerak dalam kabut. Tiba-tiba muncul sesosok manusia sedang memanggul seekor babi. Sepucuk senjata bergantung di depan dadanya. Kami terus mengamati gerak-geriknya. Ia muncul entah dari mana. Tubuhnya ceking, seperti tidak terurus. Kami tahu ia salah satu anggota Fretilin. Muncul satu orang lagi, juga membawa babi.

Setelah memastikan bahwa di belakang mereka tidak ada orang lain yang menyusul, kami bergerak mengikuti. Agak jauh memang jarak antara kami dan mereka, tapi cukup bagi kami karena mereka meninggalkan jejak di tanah. Mereka adalah penunjuk jalan bagi kami untuk bisa sampai ke markas mereka.

Menjelang tengah hari, kami sampai di tempat para Fretilin. Kami menduga bahwa ini hanyalah pos, yang dijaga oleh beberapa anggota. Tak sampai sepuluh, tapi tempat mereka cukup strategis, yang memungkinkan mereka bisa memantau semua pergerakan. Kami nyaris tidak bisa bergerak mendekat. Kami terus mengendap, bersembunyi di balik pohon dan akar-akar yang mencuat di atas permukaan tanah. 

Seekor anjing tiba-tiba menyalak dari arah pos penjaga. Para Fretilin di pos itu bersiaga. Salah seorang mendekat. Langkahnya pelan, pandangannya awas dan lurus ke depan. Senapannya sudah siap menembak. Kami bergeming.
Dan pada beberapa detik kemudian, ia menghujani tembakan ke arah kami. Kami bergeser dan tindakan itu diketahui.

“Tentara,” teriaknya. 

Jeda pendek teriakannya itu disambut dengan balasan tembakan dari kami. Pertempuran tak terhindarkan. Selanjutnya, mereka memberondongi kami dengan tembakan, yang nyaris membuat kami tidak bisa membalas ke arah mereka kecuali menghamburkan tembakan ke depan atas. Rentetan tembakan itu terdengar menyalak. 

Puluhan anggota Fretilin berdatangan. Sebagian sudah berpencar ke arah sisi kiri dan kanan, tapi kami masih bisa menahan mereka sampai tidak mengambil posisi di belakang, karena formasi kami berbentuk seperti huruf V. Menyadari bahwa mereka berusaha mengepung, kami diperintahkan untuk menyelamatkan diri. Kami tidak bisa lari kecuali memberi perlawanan dan mundur sedikit demi sedikit.

Situasi semakin terdesak. Tembakan-tembakan yang dilancarkan  membuat kami agak sulit bergerak. 

Letnan memerintahkan agar kami bersiap-siap. Dalam hitungan ketiga kami harus mundur, berlari ke arah kedatangan tadi. Kami tidak menduga sama sekali, pada hitungan ketiga, kami semua berlari ke arah belakang dan letnan berlari ke arah sebaliknya. Ia ke depan.

“Allahu akbar!!!” teriaknya, kemudian memberondong tembakan ke semua arah. Tak lama berselang terdengar granat meledak.

Kami berlari semakin kencang. Darah seperti dipompa. Kami menembus kabut tipis. Belum terlalu jauh, terdengar beberapa ekor anjing menyalak, mengejar kami. Beberapa orang terdengar berteriak agar kami tidak boleh sampai lolos. Fretilin berusaha terus mendekat.

Kami terpontang-panting, terbirit-birit di tengah hutan lebat berkabut tipis. Beberapa dari kami terjerembap jatuh, tapi bangun lagi dan terus berlari.

Harus diakui bahwa Fretilin sungguh menguasai lembah itu. Tidak dibiarkan kami berbelok kecuali kembali ke bukit.

Dianaku, kami terdesak, mundur ke atas bukit. Hanya ada satu celah sempit yang bisa kami lalui, tapi itu pun harus menunggu kesempatan yang tepat. Serangan dan tembakan mereka membuat kami terjebak, nyaris tidak ada celah untuk meloloskan diri. Hampir dari semua sisi kami diserang kecuali dari atas bukit. Untuk mencapai itu, ada area yang tak terhalang batu dan pepohonan, yang memungkinkan kami bisa saja tertembak. 

Karena merasa semakin terdesak dan sulit untuk meloloskan diri, akhirnya, tentara memaksa dua orang kawanku untuk mengadang dan mengulur waktu agar sebagian dari kami bisa melarikan diri. 

Saat dua temanku itu memberi tembakan perlawanan, kami berlari melalui celah sempit itu, menuju puncak, kemudian menuruni bukit dan berlari lagi. 

Sebelum sampai di dataran rendah, kami bertemu dua regu tentara Indonesia bergerak menuju puncak. Tidak banyak percakapan, kecuali bertanya di mana titik terakhir para Fretilin berada. Mereka kemudian bergerak lebih cepat karena harus menguasai puncak. 

Kami tidak diizinkan untuk kembali ke puncak oleh salah seorang letnan karena sudah kehilangan pemimpin, tapi jika ada yang ingin bergabung diberikan kesempatan. Tiga orang tentara ikut bergabung karena memang ingin membunuh para Fretilin. 

Selepas regu kedua itu meninggalkan kami, aku sesenggukan di bawah sebatang pohon, tapi tidak terlalu lama karena seorang tentara melirik ke arahku. Ia kemudian menyentakkan popor senapannya ke sebatang pohon di dekatnya.

Aku melihat gurat kemarahan terpahat di pelipisnya. Urat-uratnya mencuat. Ia tampak tidak suka denganku. 

Di tempat kami beristirahat tetap terdengar tembakan dari atas puncak, tapi hanya sekali dua kali saja. Setelahnya kembali hening. 

Hari itu kami bertahan hingga salah satu regu turun dan mengabarkan bahwa para Fretilin telah mundur. Kami semua harus mempertahankan bukit itu. 

Setelah berdiskusi kami membuat tenda di atas bukit. Sehari setelah perang itu, kami mengambil barang-barang di markas lama. Ada beberapa anak yang datang bersama regu-regu baru, yang turut membantu kami.

Diana-ku, pertempuran dekat pos itu masih tetap kuingat dengan baik. Bukan karena nyawaku hampir melayang atau peristiwa terbunuhnya salah seorang tentara yang bertindak heroik, mengorbankan dirinya itu, atau temanku yang kami tinggalkan dan terbunuh. Hari itu setidaknya ada tiga orang kita yang kutembak tepat mengenai kepala mereka. Aku mendengar kawan-kawan mereka meneriakkan kata merdeka setelah tembakanku mengenai sasaran. 

Dalam perang, aku telah menjadi seorang pembunuh. Semoga kamu tidak menghukum aku atas kesalahan yang telah kubuat pada saudara kita. Aku hanya menjalankan perintah dan mempertahankan diri agar bukan aku yang menjadi korban. Salahkah aku, Diana?

Semoga dengan mengetahui peristiwa ini, kamu memaklumiku dan masih tetap menerima aku menjadi bagian dari hidupmu. Bukankah perang telah usai? Untuk apa kita memikirkan semua itu lagi, Diana?

Aku mencintaimu. 


Jemmy Piran, lahir di Sabah, Malaysia, 18 Februari. Alumnus PBSI pada Universitas Nusa Cendana, Kupang. Cerpen-cerpennya tersiar di beberapa media massa. Buku-bukunya yang sudah terbit terdiri atas kumpulan cerpen berjudul Obituari Sebutir Telur, Seekor Ayam, dan Babi (Basabasi, 2018) serta dua novel berjudul Wanita Bermata Gurita (Laksana, 2020) dan Dalam Pelukan Rahim Tanah (Basabasi, 2021).

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus