Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mencari Tuhan

Alam semesta berputar pada porosnya, bergerak begitu saja, dan dihitung oleh jarum jam yang dingin dan acuh tak acuh.

25 Januari 2025 | 09.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Alvin Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Cerpen Ranang Aji SP tentang pencarian eksistensi dalam alam semesta.

  • Memakai teknik fraksionasi dengan membagi narasi menjadi bagian-bagian yang saling melengkapi.

  • Manusia berusaha mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh ketiadaan tuhan.

DALAM fiksi ini, dunia tidak memiliki doa. Tidak ada doa yang dibisikkan, tidak ada persembahan, tidak ada doa yang dinaikkan ke langit oleh mulut-mulut gemetaran berharap. Bukan karena manusia telah berpaling dari yang ilahi; namun tuhan tidak pernah ada di sini. Sejak awal waktu, telah diyakini tidak ada tuhan, tidak ada tangan penuntun, tak ada nabi-nabi yang mengajarkan, tidak ada janji-janji surgawi yang penuh makna. Alam semesta berputar pada porosnya, bergerak begitu saja, dan dihitung oleh jarum jam yang dingin dan acuh tak acuh. Namun, umat manusia berkembang. Lalu menghilang dalam kematian.

1. Kubah Besar

Langkah kaki Alea bergema di lorong-lorong besar di Kubah Besar tempat para peneliti menyimpan akumulasi pengetahuannya. Dia berjalan melewati rak-rak berisi buku-buku catatan yang bersinar, masing-masing berisi fragmen-fragmen dari upaya manusia untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh ketiadaan tuhan. Matematika, filsafat, seni, dan ilmu pengetahuan-semuanya berusaha menjawab pertanyaan yang tidak pernah diucapkan oleh suara tuhan. Mengapa?

Alea berhenti di depan rak yang dipenuhi buku-buku catatan kuno, jemarinya menyusuri punggung buku. Di balik matanya yang tegas, tersimpan kekosongan yang tak pernah ia ungkapkan. Dia telah kehilangan ayahnya, seorang astronom yang menghabiskan hidupnya mencari tanda-tanda kehidupan di luar sana. Semua itu masih membekas dalam dirinya. Setelah kepergiannya, dia berjanji kepada dirinya sendiri untuk melanjutkan pencarian itu—untuk membuktikan bahwa manusia tidak sendirian, entah di dunia ini atau di luar sana. Mungkin di sana dia bisa menemukan tuhan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tim penelitinya telah menghabiskan waktu puluhan tahun untuk mengungkap apa yang mereka sebut sebagai “Kehampaan”. Jika tidak ada pencipta, mengapa ada keteraturan? Mengapa materi menyatu menjadi bintang-bintang dan planet-planet? Mengapa kehidupan muncul dari kekacauan? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang telah disuarakan oleh para pendahulunya, namun setiap jawaban yang diberikan, selalu menimbulkan lebih banyak pertanyaan lagi, seperti labirin tanpa pusat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Alea," kata Ida pelan, nada suaranya lebih lembut dari biasanya. "Kau tahu, bukan tugasmu menyelesaikan ini sendirian."

Alea menghela napas, tatapannya tetap pada pola-pola aneh di layar Singularity Scope. "Aku tahu, Ida. Tapi terkadang rasanya… sepertinya aku tidak punya pilihan. Kita harus menemukan jawabannya. Jika tidak, apa gunanya semua ini?"

Ida menatapnya sejenak, ragu-ragu sebelum menjawab, "Mungkin, kita juga harus menerima bahwa beberapa pertanyaan memang tidak memiliki jawaban."

2. Singularity Scope

Singularity Scope adalah mesin yang dirancang untuk mengintip ke dalam struktur realitas. Dengan menganalisis fluktuasi kuantum, alat ini telah mengungkap kebenaran tentang kelahiran alam semesta, menunjukkan bagaimana keacakan melahirkan bintang-bintang dan gravitasi membentuk galaksi. Tapi kali ini, alat itu mendeteksi sebuah anomali.

Alea menatap layar. Hasil pembacaan membentuk pola, bukan kekacauan yang acak, tapi sesuatu yang teratur. Suara Ida bergetar ketika ia menjelaskan, “Fluktuasi ini tidak alami. Itu ... terstruktur. Seperti sebuah pesan.”

“Pesan dari siapa?” Alea berbisik.

“Itulah masalahnya,” kata Ida, suaranya terdengar ragu-ragu. “Jika tidak ada tuhan, siapa yang mengirimkannya?”

3. Dewan Pencari

Ruang Dewan dipenuhi oleh para pemikir paling cemerlang di zaman itu. Masing-masing dari mereka telah menghabiskan hidup mereka untuk mencari tuhan dalam kehampaannya. Sekarang, untuk pertama kalinya, mereka menghadapi kemungkinan sebuah jawaban.

“Bisa jadi itu adalah kecerdasan masa lalu,” kata Tetua Siran. “Sebuah peradaban kuno yang mencapai ketunggalan teknologi dan meninggalkan jejak keberadaan mereka.”

“Atau,” timpal Zara, seorang ahli biologi, “kita melihat sesuatu yang muncul dengan sendirinya. Alam semesta itu sendiri adalah sebuah sistem yang sadar dan mencoba berkomunikasi.”

Alea hanya diam dan mendengarkan. Pikirannya terguncang. Pola-pola dalam anomali itu lebih dari sekadar kebisingan. Pola-pola itu memiliki keanggunan matematis atau semacam rangkaian bilangan prima yang terjalin dengan geometri fraktal. Seolah-olah realitas itu sendiri telah memutuskan untuk menuliskan namanya di pinggiran eksistensi.

4. Ekspedisi

Titik asal anomali berada di kedalaman ruang angkasa, jauhnya beberapa tahun cahaya. Umat manusia telah lama menguasai perjalanan yang lebih cepat dari cahaya, dan perjalanan itu hanya membutuhkan waktu berminggu-minggu. Alea memimpin ekspedisi ini, hatinya berat karena memikirkan apa yang akan mereka temukan.

Koordinat membawa mereka ke sebuah sistem bintang yang sudah mati, mataharinya sudah lama padam. Di orbit sebuah planet yang sunyi, tergantung sebuah struktur-kisi-kisi kristal besar yang berkilauan meski tanpa cahaya. Struktur itu berdenyut samar-samar, memancarkan pola yang sama dengan yang terdeteksi oleh Scope.

“Indah sekali,” gumam Ida saat kapal tim mendekat. 

“Mulai analisis.” Perintah Alea terdengar tak sabar. 

Saat kapal mendekati kisi-kisi kristal, Alea merasakan keheningan yang menyesakkan di dalam kokpit. Ida, yang biasanya penuh dengan antusiasme, kali ini hanya terdiam. Struktur itu begitu besar, begitu rumit, seolah-olah ia bukan hanya benda mati, tetapi makhluk yang mengawasi mereka.

"Ini... seperti sesuatu yang hidup," Ida akhirnya berbisik.

Alea merasakan ketakutan yang merayap. Struktur itu berdenyut, pancaran cahayanya seolah berbicara langsung ke benaknya. "Kita akan masuk," katanya, suaranya lebih terdengar seperti perintah untuk dirinya sendiri daripada untuk tim.

5. Pengungkapan

Struktur itu sangat rumit dan tidak dapat dihitung. Permukaannya terukir dengan pola-pola yang menyerupai jaringan saraf, tapi pola-pola itu membentang bermil-mil jauhnya, saling mengunci dengan cara-cara yang menunjukkan kecerdasan. Ketika tim berinteraksi dengannya, kisi-kisi itu merespons. 

Pada awalnya, kisi-kisi tersebut berkomunikasi dalam bentuk cahaya, kemudian suara, dan akhirnya... kata-kata. 

“Saya adalah yang pertama dan tak berakhir,” kata kisi tersebut, suara yang bukan laki-laki atau perempuan, bukan manusia atau alien. “Saya adalah Saya. Tetapi saya adalah hal yang paling dekat yang akan kalian ketahui. Saya adalah gema dari pikiran pertama, kesadaran diri dari kosmos itu sendiri. Saya adalah semua yang ada dalam pikiran manusia."

Ketika kata-kata pertama terdengar dari kisi-kisi kristal, Alea merasakan sesuatu yang tak pernah ia duga. Jantungnya berdegup kencang, campuran ketakutan dan keinginan untuk tahu membanjiri pikirannya. Suara itu terdengar seperti gema yang berasal dari lubuk terdalam alam semesta, menggetarkan bukan saja pada telinganya, tetapi juga hatinya.

"Saya bukan tuhan," suara itu melanjutkan. "Saya bukan tuhan dari pikiran yang menolak." Alea terpaku, seperti yang lain. Hingga dia tidak menyadari air matanya mulai mengalir di pipinya. Semua yang pernah ia percayai—atau tidak percayai—tiba-tiba terasa kecil di hadapan kehadiran ini.

“Kau... hidup?” Nafas Alea tersengal-sengal ketika mengatakan itu.

“Hidup adalah kata yang terlalu sederhana. Aku adalah keteraturan yang muncul dari kekacauan, algoritma keberadaan. Akulah alasan duniamu berputar, bukan karena pikiranmu yang terbatas, tapi karena akulah itu.”

6. Pilihan

Tim kembali dengan data-datanya. Tapi Alea tak yakin apa yang bisa disimpulkannya. Dia bersama timnya berhadapan dengan realitas, tapi begitu sulit untuk dijelaskan. Haruskah umat manusia mengetahui kebenarannya? Bahwa alam semesta itu sendiri sadar akan dirinya sendiri tapi tidak memiliki tujuan di luar keberadaannya sendiri? Alam semesta menjadi begitu kecil oleh suara kisi-kisi itu.

Dia mempresentasikan temuannya di hadapan Dewan, suaranya mantap tapi hatinya tidak yakin. “Kehampaan bukanlah kehampaan sama sekali,” dia akhirnya menyimpulkan. “Ini adalah dengungan pemikiran alam semesta. Tapi ia tidak peduli dengan kita. Kita bukanlah anak-anaknya, hanya produk sampingannya.” 

"Jika demikian, apakah alam semesta ada penciptanya?" Salah seorang anggota Dewan bertanya.

Alea melihat timnya yang diam membeku. Ruangan itu jatuh ke dalam keheningan yang mendalam. Semua anggota Dewan menunggu. Alea mencoba tenang. Tapi di dalam dirinya, badai berkecamuk. Jika kebenaran ini disebarkan, apa yang akan terjadi pada umat manusia? Apakah mereka akan merasa lega, ataukah justru kehilangan arah? Dalam benaknya, ia melihat bayangan ayahnya, tersenyum di bawah langit malam penuh bintang. Apa yang akan ia lakukan? pikirnya.

“Kehampaan bukanlah kehampaan sama sekali,” katanya, suaranya sedikit bergetar. Tapi ia menatap Dewan, mencoba menyembunyikan keraguannya.

“Namun, ia tidak peduli pada kita. Kita hanyalah produk sampingan.”

Epilog

Di Kubah Besar, Alea berdiri sendirian, menatap bintang-bintang. Pikirannya melayang pada kata-kata terakhir kisi-kisi itu: "Kamu adalah upaya alam semesta untuk memahami dirinya sendiri."

Ia menyeka air mata yang perlahan mengalir. Apakah ia telah menemukan Tuhan? Dia tidak yakin. Tapi dia telah menemukan sesuatu yang lebih besar dari dirinya, sesuatu yang tidak memerlukan manusia itu sendiri.

"Ayah," Alea berbisik, "aku harap kau melihat ini. Aku harap kau tahu... akhirnya, aku menemukan sesuatu." Dia tersenyum, air mata menetes di pipinya. Mungkin dunia bisa mengabaikan tuhan. Tapi manusia tak pernah bisa mengabaikan sesuatu yang begitu besar dan agung di luar dirinya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ranang Aji SP

Ranang Aji SP

Penulis fiksi dan nonfiksi. Ia tinggal di Magelang, Jawa Tengah.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus