Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA tiba-tiba maju berjejer. Chick Corea dengan gitar keyboard-nya, Eric Marienthal memainkan saksofon, Frank Gambale dengan gitar, dan Nathan East pada bas. Setelah permainan solo Corea yang panjang, dilatari ketukan drumer Dave Weck, bersama-sama mereka ke depan menyajikan sebuah refrain tak terduga yang menggelitik kuping.
Lagu Got a Match?--judul yang multi-arti, bisa berarti ungkapan kecocokan, melakukan pertandingan, atau mencari geretan api--adalah sebuah komposisi yang selalu menjadi klimaks dari setiap pertunjukan Chick Corea Electric Band. Komposisi itu diambil dari album pertama Chick Corea Electric Band.
Di Jakarta, Sabtu malam, 4 Maret lalu, komposisi itu diawali dengan Chick Corea mengajak penonton bersenandung menirukan nada-nada pendek yang dimainkan dari gitar keyboard Yamaha KX5 (keytar) andalannya. Hampir 4.000 penonton antusias merespons. Got a Match? menjadi ajang komunikasi Corea dengan penonton yang segar.
Biasanya posisi pemain bas Chick Corea Electric Band diisi oleh John Patitucci. Malam itu Nathan East menggantikan Patitucci. East adalah pentolan grup Fourplay, yang biasa memainkan easy jazz. Namun cabikannya terasa gahar. Bas yang dimainkannya kadang seperti tempo kaki seorang balerina yang dengan kaki jinjit mampu melangkah cepat. Saat komposisi ini selesai, seraya tersenyum lebar East langsung berpelukan dengan gitaris Frank Gambale.
MASIH hangat dalam kenangan Java Jazz tahun 2007. Saat itu Java Jazz masih berlangsung di Jakarta Hall Convention Center (JHCC). Di lobi luar JHCC, Flora Purim menyanyi diiringi perkusi Airto Moreira. Mereka berimprovisasi. Purim berdiri menyanyi lagu Latin, Moreira duduk mengiringinya dengan menggoyangkan maracas di tangan sembari mulutnya mengeluarkan berbagai macam bunyi perkusi.
Flora Purim dan Airto Moreira adalah bekas anggota Return to Forever, kelompok jazz fusion yang dimotori Chick Corea pada 1970-an. Corea, yang berdarah Spanyol, memasukkan elemen Latin ke dalam Return to Forever. Beberapa penggemar jazz yang hadir saat itu sempat ada yang mengatakan, bila Purim dan Moreira bisa datang ke Jakarta, kapan Chick Corea sendiri yang ke sini?
Kini, setelah sepuluh tahun berlalu, akhirnya Chick Corea menjejakkan kakinya di Kemayoran, Jakarta Pusat. Ia membawa Chick Corea Electric Band, yang dibentuk pada 1986 dan dianggap makin membawa free jazz ke arah avant-garde jazz. Juni nanti usia Corea genap 76 tahun. Ia tampak kurus. Corea tiba di Jakarta pada Jumat dinihari, 3 Maret lalu, dan disambut langsung oleh Peter Gontha, pendiri Java Jazz. Menurut Nikita Dompas, salah seorang programmer Java Jazz, Corea tak meminta macam-macam dalam kontraknya, kecuali pentasnya tak boleh ditayangkan secara streaming dalam semua saluran resmi Java Jazz. "Setahu saya, dia juga meminta hidangan yang less sugar dan no salt," kata Nikita.
Chick Corea dikenal sebagai pianis pertama yang mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan piano elektrik. Setelah malang-melintang bermain Latin jazz dengan musikus seperti Mongo Santamaria dan Herbie Mann atau mengiringi Sarah Vaughan, nama Corea mencuat tatkala ia menggantikan pianis Herbie Hancock dalam Miles Davis Band pada 1968. Bersama Miles Davis, Corea menghasilkan album fenomenal: Bitches Brew, yang dipandang sebagai pelopor eksperimen jazz rock.
Kemudian ia sangat produktif. Sekali waktu Corea menyatakan bahwa gerakan agama baru gereja Scientology sangat mempengaruhi dirinya menemukan jalan baru di dunia jazz. Ia membentuk banyak formasi jazz, trio atau kuartet. Ia juga berkolaborasi dengan berbagai musikus jazz dan bekerja sama dengan vokalis seperti Bobby McFerrin. Corea menghasilkan banyak album. Seorang kritikus pernah menilai, memang benar bahwa Chick Corea menghasilkan puluhan album, tapi anehnya tak satu pun albumnya yang mendapat status klasik di belantika jazz. Katakanlah seperti album Miles Davis, Kind of Blue; album John Coltrane, Giant Step; atau album Herbie Hancock, Maiden Voyage.
Tapi, tak syak, Chick Corea memiliki pengaruh besar kepada musikus jazz di mana-mana. Di Jakarta, Indra Lesmana pernah menyebutkan bahwa ia terpengaruh oleh Corea. Bersama kelompoknya, Indra Lesmana Group, Indra sekali waktu menyajikan Tribute to Chick Corea, termasuk memainkan Got a Match? dengan bergairah. Di setiap komposisinya sendiri, energi Chick Corea selalu terlihat meluap-luap. Piano kadang dimainkan seperti sebuah perkusi. Dalam sebuah wawancara dengan sebuah situs musik, Corea menyatakan sesungguhnya ia banyak terpengaruh oleh variasi dan eksplorasi permainan drum. "Sepuluh jari tangan saya ibarat sepuluh stik drum," ucapnya.
Kemampuan berpindah-pindah menggabungkan genre jazz satu dengan genre jazz lain juga kelebihan Chick Corea. Jazz oleh dia dibawa ke sebuah medan crossover yang tak terduga dan penuh suspense. Menurut pianis Idang Rasjidi, Corea adalah virtuoso dengan kemampuan artistik mumpuni dan penguasaan teknik tak tertandingi yang membuat ia memiliki warna yang dapat langsung dikenali di mana pun atau bila bermain dengan siapa pun. Musik Corea bisa dinikmati oleh mereka yang berakar jazz klasik, tapi juga oleh kalangan penggemar progressive rock karena mengandung dimensi rock. Seperti pada malam itu.
Setelah molor lebih dari satu jam, tepat pukul 00.10 Chick Corea Electric Band naik pentas dan membuka konser dengan lagu rancak Charged Particles. Selanjutnya, ia memainkan komposisi dari album 1986 hingga 1993, semacam Beneath the Mask dan Silver Temple. Komposisi Jocelyn the Commander dari album terakhir Electric Band, To the Stars (2004), dihadirkan. Semua garapannya terkesan jazz cerdas. C.T.A. juga dibawakan.
"C.T.A. adalah lagu Miles Davis," ujar Chick Corea di panggung. C.T.A. memang komposisi lawas Miles Davis. Lagu ini diaransemen ulang dan dihadirkan Corea di album Paint the World (1993). C.T.A. terasa spesial mengingat Corea pernah menjadi anggota Miles Davis Band. "C.T.A. adalah kepanjangan dari Chicago Transit Authority. Ini soal transportasi," dia menambahkan.
PEMENTASAN di Hall D2 Jakarta International Expo Kemayoran yang juga dipenuhi penonton adalah penampilan Arturo Sandoval dan Sergio Mendes. "Line Java Jazz sekarang asyik. Cenderung murni jazz," kata seorang penonton tatkala berdesak-desakan antre pertunjukan Sandoval. Menurut Nikita Dompas, setelah menerima banyak kritik pada tahun-tahun sebelumnya karena dirasa terlalu ngepop, tahun ini Java Jazz mencoba menghadirkan lebih banyak musikus jazz.
Arturo Sandoval di Kuba dicap sebagai kontrarevolusioner. Barang siapa pernah menonton film For Love or Country: Arturo Sandoval Story akan mengetahui pergulatan batin Sandoval saat di negaranya. Talenta Sandoval di Kuba tak sepenuhnya bisa terekspresikan karena larangan rezim Fidel Castro memainkan musik Barat. Aktor Jerry Garcia memerankan sosok Arturo Sandoval. Di situ digambarkan awal bagaimana ia keluar dari Kuba. Bermula dari persahabatan Sandoval dengan musikus jazz legendaris Amerika yang dikaguminya, Dizzy Gillespie. Pada 1977, Gillespie mengunjungi Kuba. Sebagai pengagum, Sandoval menemuinya. Mereka berkenalan dan kemudian bersahabat.
Pada 1989, Gillespie meminta Sandoval bergabung dengan United Nations Orchestra serta mengajaknya tur Amerika dan Eropa. Pada kesempatan tur di Roma, Sandoval kemudian mendatangi Kedutaan Besar Amerika di sana dan meminta suaka. Pada 1988, ia menjadi warga negara Amerika.
Setelah berpindah kewarganegaraan, karier Sandoval melesat. Ia sering bekerja sama dengan pemusik tenar, dari Gloria Estefan, GRP All-Star Big Band, Dave Grusin, Dave Valentin, Frank Sinatra, Tony Bennett, sampai Kurt Elling. Sejak meninggalkan Kuba, Sandoval telah meraih delapan Grammy dan enam Billboard Music Award.
Malam itu, dengan badan sedikit tambun dan mengenakan kemeja warna dasar putih kotak-kotak biru, Arturo Sandoval menyanyikan lagu yang ditunjukkan kepada mentor tercintanya: Dizzy Gillespie. Judulnya Everyday I Think of You. Ini diambil dari album Dear Diz. Sandoval menunjukkan rasa hormatnya yang mendalam kepada Gillespie, yang wafat pada 1993.
Sandoval lalu memainkan Funky Cha-Cha, Mam-Bop, Mambo Caliente, dan Shake Your Booty Babe yang riang. Ia bergantian memainkan sendiri trompet, piano, dan perkusi. "Setelah pulang ke rumah, matikan TV. Jangan menonton TV. Tapi nanti kenanglah lagu ini." Di panggung, Sandoval kemudian membawakan Smile karya Nat King Cole. Tidak dengan vokal, ia melantunkannya dengan suara trompet. Secara kocak ia juga melakukan scat singing--menyuarakan bebunyian konsonan dan fonem tanpa makna tapi enak didengar--sambil menirukan lagu-lagu dari musikus lain. "I asked Charlie Parker, what is bebop? Bebop is blah blup blup blah...."
Sergio Mendes juga mampu menarik perhatian sekitar 4.000 penonton. Ia membuka konsernya dengan lagu Magalenha, soundtrack dari film Dance with Me. Musik Mendes cenderung samba flamboyan. Barisan penyanyi latar perempuan membuat panggungnya menjadi panggung jazz dance, yang enak didengar di lantai dansa, pesta, karnaval, dan parade.
Suasana langsung terasa hangat dan romantis tatkala lagu Ipanema, yang merupakan tafsir Mendes atas lagu The Girl Ipanema (1964) karya Stan Getz dan Astrud Gilberto, dilantunkan. Serentetan Brazilian jazz dengan ketukan timpani atau perkusi yang mengajak orang melantai kemudian diusungnya: Pretty; Milagre; Upa, Neguinho; Like a Lover; Consolacao; Waters of March; Ela é Carioca; Pais Tropical, Samba da Minha Terra. Kita dibawa ke sebuah pariwisata bossa nova.
Tentu saja, sesudah Ipanema, apalagi yang bisa menyulut gemuruh dan mengentak penonton bila bukan Mas Que Nada, lagu Brasil yang populer. Ini lagu karya Jorge Ben Jor yang diaransemen ulang oleh Mendes dan menjadi hit dunia pada 1966. Liriknya mudah dan membuat perasaan gembira muncul. Nadanya merangsang dinyanyikan bersama-sama. Terutama bait pertama: Oaria oraio, Oba Oba Oba, Oaria oraio, Oba Oba Oba, Mas que nada….
Tapi coba tanyakan kepada penonton yang berjingkrak apakah mereka tahu arti Oaria oraio, Oba Oba Oba. Apakah ini onomatope? Apakah mereka mengira itu bahasa Portugis yang memiliki arti tertentu? Adalah menarik bahwa beberapa penulis mengatakan awal lirik ini sesungguhnya berkaitan dengan sebuah ritual agama lokal di Brasil. Jorge Ben Jor tertarik pada Umbanda, agama lokal campuran spiritualitas Afrika-Brasil yang pada 1920-an banyak pengikutnya di Rio de Janeiro, bahkan di Sao Paulo. Mereka menganut semacam sinkretisme antara Katolik dan agama lokal.
Kalimat Oaria oraio, Oba Oba Oba yang dinyanyikan oleh ribuan penonton di Jakarta itu sesungguhnya adalah mantra yang diucapkan jemaat agama tersebut saat memanggil dewi Oba yang kemudian dijadikan lirik oleh Ben Jor. Oba dalam kepercayaan religiositas agama Umbanda dianggap dewi cinta. Dia juga dewi penguasa sungai dan air. Oba adalah istri ketiga Xango, dewa penguasa api dan keadilan.
Spain! Spain! Beberapa penonton berteriak meminta Chick Corea memainkan Spain. Ini lagu ciptaan Corea di album Return to Forever pada 1972, Light as Feather, yang kemudian menjadi sangat tenar tatkala dinyanyikan Al Jarreau. Lagu ini berada di album Al Jarreau, This Time, yang dirilis pada 1980. Para penonton mungkin berharap Chick Corea menyanyikan lagu ini paling tidak untuk memberikan penghormatan kepada Al Jarreau yang belum lama ini (12 Februari lalu) meninggal pada usia 76 tahun.
Tapi ini Chick Corea Electric Band. Untuk membedakan dengan Return to Forever, mungkin grup musik ini tak ingin mengeksplorasi lagu yang berbau Latin atau Spanyol-spanyolan. Sepenuhnya ini avant-garde jazz yang bersih dari anasir-anasir tradisi. Sepenuhnya ini sebuah jenis jazz yang murni, yang mengatasi akar-akar etnik.
Penonton meminta encore. "We want more, we want more…." Permintaan penonton dipenuhi, tapi Chick Corea tetap tak ingin mengurangi kadar sedikit pun (Biasanya lagu yang ditampilkan di encore dalam sebuah pertunjukan musik adalah lagu yang amat dikenal penonton. Ia ibarat hadiah menyenangkan). Namun yang disajikan adalah sebuah nomor blues jazz ala Electric Band, Blue Miles, yang melodinya bukan jenis melodi funky, tapi dinamis.
Tak terasa, keluar dari Hall D2 Java Jazz, Jakarta telah larut malam. Pukul setengah tiga atau mungkin tiga pagi saat itu. Dingin. Mungkin sebentar lagi hujan. Jalanan di depan pintu gerbang Jakarta International Expo Kemayoran semrawut. Mobil, taksi, ojek, dan pedagang kerak telur berebut tempat tak beraturan.
Di jalanan masih terasa bagaimana Chick Corea, Eric Marienthal, Frank Gambale, dan Nathan East maju ke depan menampilkan refrain dengan variasi rumit tapi dengan presisi sama tepat. Jari Corea yang bagaikan sepuluh stik drum itu merayap. Frasa-frasanya cepat nan canggih, dan jazz terasa sangat intelektual. Uh, got a match? Punya korek api?
Seno Joko Suyono | Moyang Kasih Dewimerdeka | Gilang Rahadian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo