Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agus Wedi
Pengkaji Dan Peneliti Keislaman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puasa tetap wajib dilaksanakan bagi kaum muslim meski di tengah wabah pandemi Covid-19. Puasa tidak boleh di-ruhsyah atau digantikan dengan alasan apa pun. Termasuk tata cara pelaksanaannya juga tidak diperbolehkan mengalami perubahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana dengan rutinitas ibadah lainnya pada bulan Ramadan? Menurut M. Quraish Shihab dalam buku ini, selain salat wajib lima waktu dan puasa, ibadah kaifiyat-nya, seperti pelaksanaan salat tarawih, bisa dimodifikasi. Menurut dia, usaha obyektif tersebut tidak bertentangan dengan agama, bahkan dianjurkan.
Artinya, salat tarawih, yang lazimnya dilaksanakan di masjid dan di musala secara berjemaah dengan banyak orang, karena virus corona (untuk menghindari penularan-ditularkan) bisa dikerjakan di lokasi lain, seperti di rumah, kantor, atau tempat lain, dengan protokol Covid-19 dalam jumlah anggota jemaah terbatas.
Bukan karena lebih takut akan corona ketimbang takut kepada Tuhan, melainkan untuk menghindari mudarat lebih besar. Sebab, virus corona menyerang manusia tanpa melihat status sosial, bangsa, negara, dan agamanya. Ia menyerang semua umat beragama, bahkan yang tidak beragama sekalipun.
Tafsir pemuka agama yang menganggap virus corona jelmaan tentara dan azab Tuhan atas dasar tafsir literalis kitab suci Al-Quran adalah sikap penolakan terhadap ilmu pengetahuan sains dan tuna-sejarah Islam. Bahkan menempatkan virus corona dalam skema konspiratif adalah bentuk sikap serampangan dalam beragama. Implikasi pemahaman itu adalah tumbuhnya polarisasi masyarakat atas sebuah isu, kebijakan, dan ajaran. Apalagi bila dicerna kaum awam, hal itu akan menyulut rasa pesimistis, ketakutan, kesesatan, dan semacamnya.
Buku ini disusun untuk menanggapi fenomena demikian. Sekaligus sebagai bimbingan kaum muslim agar bisa memahami agama secara proporsional. Dari buku ini, diharapkan kita bisa menemukan jalan lain mengenal Tuhan dan juga menjadi titik tolak diskursus pemahaman agama yang lebih kontekstual.
Beragama, khususnya Islam, menurut Shihab, harus taktis dan punya konsep atau kehendak kuat untuk memikirkan segala sesuatu dengan optimistis. Kemampuan akal yang diberikan Tuhan selaiknya dipakai untuk melihat fenomena alam secara jernih dan rasional. Tidak memandang suatu penyakit dan agama dengan pikiran matematis, simplistik, dan free will.
Beragama disarankan, tentu saja, kembali pada panduan kalam Tuhan. Tapi beragama secara fatalis tak lebih dari ketidakmampuan ilmu dan berpikir, bahkan tak menghargai ilmu pengetahuan yang diberikan Tuhan. Alih-alih mencerahkan umat, bahkan ia menyesatkan dan mendegradasi kemahakuasaan Tuhan.
Dengan membandingkan virus corona dengan Tuhan, menurut Shihab, seseorang sudah menempatkan sejajar virus corona dengan Sang Pencipta. Selain itu, mereka bisa menyesatkan dan membahayakan banyak orang. Juga membuat ajaran agama jadi dangkal, lemah, dan pesimistis, serta belas kasih Tuhan kian direduksi, makin sempit.
Dalam konteks kedaruratan global ini, kepongahan dan kegagapan teologis harus dihentikan. Umat beragama mesti menyadari makna penting fatwa larangan tanpa melanggar syariat dari otoritas keagamaan, termasuk negara. Seperti larangan penangguhan tarawih, haji, dan salat Jumat di masjid yang hari ini masih dilakukan di banyak tempat.
Kebijakan social distancing, larangan mudik, atau isolasi diri dalam berbagai bentuk rupa dimaksudkan untuk mencegah sebaran virus corona yang lebih dahsyat. Bukan sedang ingin menurunkan derajat kesalehan umat beragama, melainkan menjaga keselamatan bersama.
M. Quraish Shihab dalam buku ini menegaskan bahwa penangguhan ibadah keagamaan, apalagi yang sunah di musim penyakit, atau melakukannya di tempat lain, dibolehkan asalkan tidak melanggar syariat. Dan itu senapas dengan yang telah diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW atas perintah Tuhan (QS. Al-Muzzammil).
Menjaga kesehatan dan memelihara kelangsungan hidup lebih diutamakan ketimbang beribadah yang berpotensi menularkan penyakit yang menyebabkan kematian. Beribadah (puasa) di tengah wabah sesungguhnya merupakan latihan pembentukan integritas, kepaduan pribadi, yang kaffah dan tawhidi. Ini adalah salah satu lokus penting untuk menyempurnakan rohani, baik di tingkat pribadi maupun publik.
Beribadah untuk mencapai derajat iman-takwa hanya bisa dicapai dengan mengalahkan hawa nafsu angkara murka dan kemudian mengaktualisasi sikap asketisme, yaitu menciptakan hawa nafsu yang tenang dan damai (al-nafs al-mutahma’innah). Sikap asketisme selalu berbuat baik kepada diri sendiri, lingkungan, umat, dan negara-bangsanya dengan rida Tuhan (Al-Fajr 27-28).
Jika beribadah, termasuk puasa, dilakukan dengan cara-cara santun demikian, apalagi dalam menghadapi masalah kemanusiaan seperti pandemi ini, dengan komitmen dan konsistensi di sepanjang tahun, insya Allah, pribadi, masyarakat, dan bangsa kita dapat meningkatkan kualitas keislaman, keimanan, keindonesiaan, dan kemanusiaannya.
Corona Ujian Tuhan: Sikap Muslim Menghadapinya
Penulis : M. Quraish Shihab
Penerbit : Lentera Hati
Cetakan I : April 2020
Tebal : 136 halaman
ISBN : 978-623-7713-26-5
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo