DI antara kesibukan lalu lintas di persimpangan Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, bocah-bocah penjaja koran dan majalah sibuk mcnawarkan majalah berita dwimingguan Expo. Begitu pula para pengecer di Jalan Veteran, samping Bina Graha, dan di persimpangan Harmoni. Majalah-majalah itu seperti habis turun cetak, dan dijual, sejak awal bulan ini, dengan harga resmi Rp 1.000. Padahal, 10 Januari lalu, Surat Izin Terbit (SIT) majalah itu telah dibekukan sementara oleh menteri penerangan. Expo terbit kembali? Ternyata tidak. Menurut Ridwan Idris, pemimpin redaksi majalah itu, yang dijajakan itu adalah nomor-nomor lama yang tidak terjual habis. "Saya saja hampir terkecoh," katanya. Memang, lantaran memuat serial "100 Milyader Indonesia", majalah itu mendadak sontak terkenal. Oplahnya melonjak dari 10.000 eksemplar menjadi 40.000 eksemplar. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Namun, berdasarkan SK Menpen Nomor 11/Kep/Menpen/1984, yang ditandatangani Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika Sukarno, S.H., ia "tidak dibenarkan terbit, dicetak dan diedarkan sampai ada keputusan menteri penerangan, setelah mendengar pertimbangan Dewan Harian Dewan Pers." Akan halnya beredarnya EXPO kembali, ternyata tidak sulit untuk ditelusuri asal-muasalnya. Seorang agen majalah dan harian di Lapangan Banteng yang mengaku bermarga Aritonang berkata, majalah itu diobral dengan harga Rp 400 per eksemplar oleh Expo sendiri. Mencari majalah atau harian yang terpaksa tidak diperkenankan terbit sebenarnya bukan hal baru. "Biasanya nomor terakhir sebelum dilarang," kata Aritonang. Tapi setelah itu permintaan langsung anjlok. Seorang agen lainnya sempat menunjukkan kartu nama "Ir. Renville Siagian, Staf Redaksi Majalah Expo," sebagai sumber ia mendapatkan majalah Expo "obralan". Ridwan Idris sendiri belakangan mengakui menjual kembali majalah lama yang tidak terjual habis. "Daripada memenuhi gudang di kantor redaksi, lebih baik dilego saja." Agaknya, Ridwan Idris pun ingin mengelak dari tuduhan "mengcdarkan" kembali majalah itu. "Perusahaan hanya melakukam penjualan majalah-majalah bekas karena sudah menumpuk di gudang", ujarnya. Rupanya, tindakan itu adalah salah satu cara untuk menutupi pengeluaran selama SIT majalahnya belum dicairkan. Sebenarnya, apapun motivasinya, menurut direktur Bina Pers Departemen Penerangan Willy Laluyan, penjualan kembali majalah yang SIT-nya masih dibekukan tidak diperbolehkan. "Ini berlaku pula bagi penjualan majalah sisa," katanya menambahkan. Pihak Departemen Penerangan sendiri mensyaratkan adanya beberapa ketentuan untuk pencairan SIT itu. Antara lain, "mengembalikan wibawa jabatan pemimpin redaksi, dan menempatkan orang yang berhak," kata Willy Laluyan. Sementara itu, dalam ketentuan Peraturan Menteri Penerangan, 1969, tentang Lembaga SIT dalam Masa Peralihan bagi Penerbitan Pers yang Bersifat Umum, jelas pasalnya bahwa pembekuan SIT berarti: Larangan menerbitkan, mencetak, dan mengedarkan. Namun, bagi para bocah pngecer dan para agen, hal itu bukan persoalan. Sebab, mereka boleh tidak tahu-menahu ketentuan itu. Yang pasti, seperti kata Willy Laluyan, penjualan kembali majalah Expo itu juga menjadi salah satu pertimbangan untuk mencairkan atau tidak mencairkan SIT mereka. Pihak Expo sendiri, kata Ridwan, sudah mengirimkan surat kepada Departemen Penerangan "untuk menjelaskan kebijaksanaan pemberitaan Expo selama terbit." Sedang untuk mengisi kekosongan, para karyawan tetap masuk seperti biasa. "Ada pula staf redaksi yang mulai menulis cerpen atau buku saku" ujar Ridwan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini