Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tengah suara tabuhan yang riuh, 18 bocah itu mengangkat pundak agar kelihatan bak ”macan”. Dada mereka dibusung-busungkan. Mengenakan udeng, berkumis arang, langkah mereka disangar-sangarkan. Anak-anak ceking berumur 4 sampai 10 tahunan dari desa sekitar Borobudur tersebut seperti ”warok-warok” kelaparan.
Sebanyak 60 warga, dari anak sampai orang dewasa gabungan Desa Gejayan dari lereng Merbabu, Krogowanan, lereng Merapi, diajak komponis Sutanto untuk membuka Komunitas Salihara, sebuah kantong kesenian baru di bilangan Pasar Minggu yang didirikan oleh penyair dan jurnalis Goenawan Mohamad. Pertunjukan bising. Peluit bambu kecil-kecil ditiup-tiup di sekitar penonton. Para penari dewasa ada yang berbalut kostum ala Seribu Satu Malam, ada yang bertopeng rambut gimbal mirip rangda.
Lalu semuanya memukul trunthung. Trunthung adalah instrumen untuk mengiringi tari Soreng. Ia berbentuk seperti rebana kecil tapi dipukul dengan sebilah bambu. Suaranya keras, kering, bila dipukul bersama-sama, makin tinggi, makin tinggi menimbulkan suasana liar, trans.
”Ini pertunjukan pemanasan,” kata komponis Tony Prabowo, kurator Salihara. Anak-anak lereng Merapi-Merbabu itu telah ratusan kali tampil di sungai, jalanan, persawahan. Mereka giat meramu topeng dan kostum yang selaras dengan imajinasi mereka. Mereka tak peduli ekspresi topeng dan kostum yang campur aduk antara Jawa, Bali, dan bahkan film breakdance Hollywood. Mereka sering ”merusak” khazanah sendiri, sebuah tarian desa misalnya pernah dipentaskan dengan rambut gelung-gelung ala rasta.
”Ini fluxus dari desa,” kata Sutanto, komponis yang selalu mendampingi proses kreatif mereka. Fluxus adalah bagian dari gerakan Dada di Jerman, sekitar 1930, yang menampilkan aksi-aksi performa jalanan, penuh kejutan. Tanto menamakan demikian karena proses kreatif mereka tak terduga. Kadang ”saking fluxus-nya”, berangkat tanpa latihan. ”Cuma blocking-nya yang kami atur,” kata Tanto. Menurut dia, pertunjukan kemarin itu menambah pengalaman indoor mereka. ”Mereka senang tak perlu memakai mikrofon, seperti kalau main di alam bebas,” ujar Tanto.
Kemudian giliran perut kita dikocok oleh acappella Mataraman Yogya. Menggunakan suara mulut, Pardiman Djoyonegoro, Soimah Poncowati, dan kawan-kawan mampu menirukan bebunyian gending Jawa. Memang lucu, tapi karena terlalu banyak lawakan, unsur acappella-nya jadi kurang. Selanjutnya, Didik Nini Towok. Ia menampilkan nomor Dewi Sarag Jodag Gandrung, yang tidak sejenaka karya Dwi Muka-nya tapi tetap menunjukkan kecenderungan tari humornya.
In Front of Papua karya Jecko Siompo, yang pernah dipentaskan di Singapura dan akan ditampilkan di Hong Kong serta terinspirasi oleh mbis, juga naik panggung. Mbis adalah patung arwah Asmat yang berwujud deretan laki-laki berjajar atau tumpuk-menumpuk. Lima penari laki-laki bertelanjang dada, dengan tubuh bertotol-totol putih seperti badan suku-suku pedalaman Papua, tidur berjajar, saling memeluk membentuk barisan. Setiap terdengar suara pukulan kayu, posisi kaki penari berubah. Di antara mereka kemudian saling mengganggu, terutama setelah seorang perempuan sensual lewat di depan mereka. Perempuan itu—dimainkan oleh penari Ajeng Soelaeman—mengekspresikan gerak khas Jecko, tangan ditekuk yang, menurut Jecko, diambil dari gerak burung.
”Kesenian membuka kita untuk kembali pada pesona,” kata Goenawan Mohamad dalam pidato pembukaan. Melihat agenda acara festival yang begitu variatif dari komunitas gunung sampai tari yang berbasis multimedia, seperti Arco Renz dan Leni Baso Dance Company, terasa Salihara memang membuka diri untuk berbagai macam pesona.
Jumat pekan lalu, misalnya, Teater Lungid Surakarta mementaskan TUK karya Bambang Widoyo Sp. (almarhum). TUK adalah masterpiece realisme Indonesia, bercerita tentang masyarakat Magersaren, Solo, para penyewa rumah petak yang makin tergusur. Para awak Lungid adalah seluruh aktor tangguh Teater Gapit yang pada 1980-an memainkan TUK, seperti Pelog Trisno, Jarot Budi Darsono, atau Wahyu Inonk Widayati, pemeran Mbah Kawit yang nasibnya getir. ”Cuma Joko Bibit yang diganti Bodhod untuk peran pemuda luntang-lantung,” kata Blonthank Poer, manajer produksi.
”Kami membuka diri bagi pementasan tradisional sampai avant garde, dari tari Mangkunegaran sampai lawakan marginal,” tutur Tony. Menurut dia, satu-satunya saringan hanya kualitas. Format ruang Teater Salihara sendiri siap untuk segala kemungkinan pertunjukan. Mengambil bentuk black box, kursi-kursi bisa dipindah, dicopot. Bagian atap pun bisa menjadi teater terbuka.
Ruang Teater Salihara juga didesain untuk betul-betul representatif bagi pertunjukan musik. Tingkat akustiknya tinggi. Dinding kedap suara dan tak ada dengung. Grup musik Discus, sebuah kelompok band progressive rock, mendapat kesempatan. ”Kami akan tampil dengan materi-materi untuk album ketiga kami,” kata Fadhil Indra, pemain keyboard Discus. Album pertama mereka, Discus First, dan album kedua, Tot Licht, banyak mendapat resensi dan pujian para penggemar musik progressive rock Eropa dan Amerika. Progressive Rock Hand Book karya Jerry Lucky yang baru terbit Juli 2008, misalnya, memasukkan Discus ke daftar grup progressive rock dunia saat ini. ”Lagu baru yang akan kami mainkan adalah The Dark Landscape dan Equatorial Jazz Dance yang kental kontemporer dan jazz,” kata Fadhil.
Dengan mengundang Discus, Teater Salihara membuka diri terhadap penonton dari komunitas rock. Sementara itu, komunitas prog rock yang biasanya getol mengapresiasi psychedelic rock diharapkan juga bisa menyaksikan penampilan Argento Chamber Orchestra, New York. Argento Chamber adalah sebuah kelompok musik di New York yang dulunya betul-betul sangat ekstrem. Mereka hanya memainkan spektral musik, terutama komposisi komposer Tristan Murail asal Prancis. Konduktor Argento Chamber, Michael Galante, adalah murid Tristan saat Tristan mengajar di Universitas Columbia, New York.
”Saya bertemu dengan Galante di New York awal 2000. Mereka mulanya menolak untuk memainkan karya saya,” kata Tony. Baru dua tahun terakhir ini, menurut dia, mereka mau mempelajari karyanya. ”Dua komposisi baru saya, Music for 7 Instrument dan Quintet, akan dimainkan Argento,” ujar Tony.
Selain itu, Tony akan menampilkan opera Kali. Ini karya lama Tony bekerja sama dengan Goenawan Mohamad yang belum pernah dipentaskan di Jakarta, yang berkisah tentang kepedihan Kurawa menjelang kekalahannya. Kali adalah dewa kematian yang berduka saat anak-anak Gandari semua terbunuh. Kali menjadi alegori bagi banjir darah di Indonesia pada 1965-1966. ”Kali itu karya saya yang paling lama prosesnya dan banyak versi,” Tony menambahkan. Dalam versi yang akan dipertunjukkan kali ini, akan ada dua piano, dua pemain perkusi, dua viola, koor, dan elektronik.
Demikianlah, sebuah pusat kesenian telah lahir di bilangan Jakarta Selatan. Akan ada tamu-tamu yang telah melanglang buana di berbagai festival dunia. Akan ada ”guru-guru” tua yang datang.
Milan Sladek, pantomimer yang pa-da 1980-an pernah ke Jakarta dan pernah menjadi guru bagi Jemek Supardi di Yogyakarta, Didi Petet, dan Sena Utaya (almarhum), misalnya, akan hadir. Didi Petet mengenang, Sladek pada 1980-an beberapa kali membuat workshop di Institut Kesenian Jakarta. Didi ingat waktu itu ia bersama Sena Utaya sedang getol-getolnya belajar pantomim secara otodidak dan baru mengerti teknik-teknik pantomim ”betulan” setelah Milan Sladek datang.
”Sladek punya banyak teknik,” kata Didi. Didi pernah terpukau oleh pertunjukan Milan Sladek yang bisa menampilkan imaji lahirnya burung besar: dari telur, menetas, sampai kemudian bisa terbang. Menurut Didi, gerak pantomim Sladek berbasis pada balet. Sladek, Didi menambahkan, memiliki kemampuan menghilangkan-memunculkan karakter di panggung dengan permainan lighting atau menutup panggung dengan beledu. ”Saya juga sangat kagum saat Sladek membawakan Le Roi de Ubu (Raja Ubu),” katanya. Sladek kini bakal datang ke Salihara memainkan Le Temptation de Saint Anthony (Godaan-godaan untuk Santo Anthony).
Begitu banyak pementasan menarik yang menggoda kita untuk datang ke Salihara. Dan kita bukan Santo Anthony yang mampu menahan ”hasrat” menonton pertunjukan bermutu.
Seno Joko Suyono, Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo