Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENONTON yang masuk dari pintu utama ruang pamer Taman Budaya Yogyakarta tampak ragu mengayunkan langkah. Maklum, di ambang pintu itu terhampar kain putih memanjang ke bagian tengah ruangan. Kain dengan deretan cap telapak kaki itu bak jalan ke langit yang berakhir di langit-langit ruangan.
Karya instalasi bertajuk Putri Alam ini karya kolaborasi pasangan seniman batik Agus Ismoyo dan Nia Fliam. Di kiri-kanan hamparan kain putih itu kain transparan berwarna kuning, ungu, putih, dan merah melambai-lambai ditiup angin. Kain-kain itu ada yang dibatik dengan pola tertentu, tapi ada juga yang dibolongi dalam berbagai pola.
Di sekitar karya instalasi itu digantung 43 karya batik dalam pameran bertajuk Fiber Face yang berlangsung 18-27 Oktober. Separuh di antaranya merupakan karya kolaborasi Agus dan Nia dengan seniman batik Afrika dan seniman Aborigin Australia.
Agus, 49 tahun, dan Nia, 53 tahun, dikenal sebagai seniman batik tinimbang perajin batik. Agus orang Jawa keturunan Surakarta yang lahir dan tinggal di Yogyakarta dengan tradisi membatik leluhurnya. Sedangkan Nia lahir di Denver, Amerika Serikat, dan memperoleh gelar sarjana desain tekstil dari Pratt Institute, New York.
Meski mereka pertama kali bertemu di Sanggar Taman, di kawasan turisme batik Taman Sari, Yogyakarta, pada 1985, karya batik mereka tidak dipakai sebagai benda fungsional, pakaian, tapi sebagai karya seni. ”Beberapa karya kami dibeli museum,” ujar Agus. Tak aneh, hasil karya kolaborasi mereka dalam studio Brahma Tirta Sari kerap muncul dalam perhelatan seni rupa kontemporer, baik di Indonesia maupun di luar negeri, semacam Trienal Asia Pasifik di Brisbane, Australia.
Meski label kontemporer dilekatkan pada karya mereka, jejak elemen tradisi karya batik pasangan suami-istri ini masih bisa dirunut. Pada hampir semua karya, mereka memasukkan pola batik tradisi berupa motif kawung—susunan empat bentuk geometris yang bersinggungan—atau motif batik parang. Yang terakhir ini berupa struktur yang saling terkait dalam pola miring. Bahkan Agus dan Nia masih mempertahankan pola pengulangan bentuk, yang merupakan ciri khas unsur dekoratif dalam seni batik. ”Pola tradisi ini secara filosofis menunjukkan kami tidak lepas dengan tradisi,” ujar Agus.
Toh, karya batik Agus dan Nia punya perbedaan dengan batik tradisi dalam hal ketidakberaturan menempatkan elemen bentuk. Berbeda dengan batik tradisional yang serba teratur dengan pengulangan bentuk, mereka tampak bebas meletakkan bentuk-bentuk di mana saja di atas kain sutra yang diperlakukan sebagai kanvas.
Misalnya, pada karya berjudul Tong Sampah Tradisi, pola kawung ditabrakkan dengan pola parang dengan siluet salah satu tokoh wayang di beberapa tempat. Dan pada karya Api di Malam Jelita, potret wajah orang dalam berbagai ekspresi muncul di tengah pola batik tradisi yang disusun secara tak beraturan.
Saat lain, mereka mengawinkan motif kawung dengan motif parang, tapi dengan citraan merahnya lidah api yang membakar dengan ganas percampuran dua motif itu, pada karya berjudul Api. Karya ini merupakan karya kolaborasi Agus dan Nia dengan komunitas seniman Aborigin Australia, Utopia Urapuntja. Tapi api tak selalu merah membara pada karya Agus dan Nia. Pada karya bertajuk Api Biru, lidah api dengan lembut melahap motif kawung dan parang yang berimpitan.
Bagi Agus, bentuk negatif api dan warna merah mewakili kemudaan, nafsu, keinginan akan kekayaan, dan kegilaan. Sebaliknya, dari aspek positif, api mewakili daya mengkonsumsi kehidupan duniawi dan kepentingan materialistis yang mengubahnya menjadi daya spiritual yang halus.
Daya spiritual yang membutuhkan kedalaman penghayatan terhadap laku itu tampak pada karya Agus dan Nia. Karya mereka mencitrakan struktur yang berlapis-lapis dalam satu karya yang sejatinya karya dua dimensi. Kadang struktur yang berlapis-lapis itu menghasilkan persepsi visual tentang kedalaman ruang. Padahal batik pada umumnya menggambarkan citraan yang datar.
Karya Agus dan Nia tak hanya hasil proses membatik. Mereka juga menempelkan dengan cara menjahit sobekan pola-pola batik atau sobekan kain kosong ke atas sehelai kain yang sudah dibatik. Karya tapestri ini bertajuk Rama Kehilangan Betara Asih II, yang bertaburan pola kawung dalam warna dominan cokelat dengan sejumlah citraan sosok Rama dan Sinta. Di balik karya ini muncul pola yang sama, tapi dengan warna dominan kuning.
Yang menarik, dari semua karya batik itu, tak ada yang merupakan karya individual. ”Semuanya karya kolaborasi,” ujar Agus. Bagi Agus dan Nia, kolaborasi adalah simbol tentang komitmen terhadap seni tradisi yang tak bisa hanya dipertahankan, tapi harus dikembangkan secara bersama.
Secara teknis, karya batik yang digarap secara kolaboratif lebih sulit karena batik, sebagaimana karya grafis, bukanlah karya yang langsung jadi—butuh proses dari menutup kain dengan malam dengan menorehkan bentuk tertentu yang diikuti proses pencelupan. Pada karya Agus dan Nia, biasanya proses itu berlangsung berkali-kali. Tak aneh, mereka menyelesaikan satu karya berukuran 2,5 meter dalam waktu rata-rata tiga-empat bulan.
Menurut Agus, semula proses kolaborasi memang butuh waktu lama, dimulai dengan mendiskusikan gagasan dasar karya mereka yang kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk. Pertengkaran estetis yang berkepanjangan hingga penolakan terhadap gagasan desain dan warna tertentu hal yang biasa terjadi. Tapi, ketika keduanya sudah memiliki alur getaran estetik yang sama, proses kolaborasi berjalan lebih mulus. Ego individual seniman yang biasanya kuat bisa ditekan.
Model kolaborasi pula yang mereka lakukan dengan kelompok seniman Aborigin Australia, Afrika, Amerika, dan India. Pada 1994, Agus dan Nia menerima sekelompok perupa perempuan dari komunitas Utopia Urapuntja dari Australia Tengah untuk mempelajari teknik pengecapan. Kelompok ini telah memproduksi batik sejak 1977. Dari kelompok itu, Agus dan Nia belajar membatik dari satu ujung dan berakhir di ujung yang lain tanpa sket ataupun desain. Karya kolaborasi mereka berupa garis-garis repetitif yang membentuk motif bunga, tumbuhan, atau bentuk-bentuk abstrak dikawinkan dengan motif kawung dalam ukuran kecil dan besar.
Kolaborasi dengan kelompok seniman Mali dan Nigeria pada 2005 menghasilkan karya batik dengan corak seni primitif dengan latar belakang motif kawung dan parang. Dengan proyek kolaborasi di Indonesia dan berbagai negara ini, Agus dan Nia berharap tak sekadar mempertahankan seni batik, tapi mengembangkannya.
Raihul Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo