Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alexander Kluge bukan sosok sutradara biasa. Ia adalah seorang doktor di bidang hukum, pernah menjadi pengacara, dan penulis buku-buku teori sosial, juga pengarang ratusan cerita pendek. Persentuhan pertama Kluge dengan dunia sinema bermula dari dorongan Theodor Adorno, seorang filsuf Neo-Marxis yang juga mentor Kluge.
Pada awal kariernya sebagai sutradara, medio akhir 1950-an, ia menyadari adanya kebutuhan akan gebrakan baru dalam dunia sinema. Ia jengah terhadap cara sineas Jerman membuat film. Sebagai respons, pada 1962 Kluge menginisiasi penandatanganan Oberhausen Manifesto. Dengan lantang dinyatakan, "Der alte film ist tot. Wir glauben an den neuen! (Film lama sudah mati. Kami percaya pada film baru!)."
Sejak saat itu, Kluge menjadi oposan film-film konvensional. Bagi dia, esensi film tak terletak pada kemampuan sutradara menyajikan gambar-gambar yang mampu bercerita. "Film yang sesungguhnya terjadi di dalam kepala penonton," kata Kluge. Gambar-gambar yang disajikan berperan sebagai impuls. Karena itu, ia konsisten mengelaborasi gaya bertutur montase. Penonton harus menggunakan imajinasinya sendiri untuk memahami kontradiksi-kontradiksi yang ada pada film.
Gaya montase itu pulalah yang diterapkan Kluge dalam film dokumenter Nachrichten aus der Ideologischen Antike-Marx/Eisenstein/Das Kapital atau News from Ideological Antiquity-Marx/Eisenstein/The Capital. Film berdurasi 570 menit alias 9,5 jam yang dirilis pada 2008 itu diputar selama dua hari dalam Festival Film Eksperimental dan Dokumenter Internasional Arkipel bertajuk "Electoral Risk", di GoetheHaus, Jakarta, 12-13 September 2014.
Kluge tak bermaksud memfilmkan Das Kapital mentah-mentah. Kurator Arkipel, Akbar Yumni, mengatakan Nachrichten adalah tafsir Kluge atas teks yang ditulis Karl Marx. Di dalamnya, Kluge juga memberi sentuhan musikal dan sastrawi. "Ia menunjukkan bagaimana Marxisme bisa ditafsir melalui gambar," kata Akbar.
Nachrichten diilhami oleh proyek sutradara Uni Soviet ternama, Sergei Eisenstein. Pada medio 1927, sutradara yang pekerjaannya amat didukung oleh Soviet itu berniat membuat film tentang Das Kapital. Namun proyek itu tak terwujud. Sebelum sempat dikerjakan, Eisenstein menjadi buta. Kluge banyak belajar pada karya Eisenstein, karena ia juga menggunakan teknik montase.
Proyek tersebut kemudian diteruskan oleh Kluge, tapi digarap dengan cara yang sama sekali berbeda dengan ide Eisenstein. Dalam catatan harian Eisenstein, diketahui ia mulanya berniat menginterpretasi Das Kapital sebagaimana James Joyce menulis novel Ulysses. Sepanjang film, ia berencana menyorot kehidupan seorang pekerja.
Apa yang terkandung dalam Nachrichten kira-kira bisa digambarkan begini: Ada ribuan slideshow kalimat yang berbicara tentang macam-macam, dari perkara komoditas hingga peperangan Prancis dan Inggris di bukit-bukit Vauquois. Ada wawancara panjang antara Kluge dan puluhan narasumber beragam latar belakang, dari profesor filsafat hingga ahli alat ledak. Ada fragmen-fragmen adegan opera, orang-orang bermain piano, hingga aktor dan aktris yang berusaha memahami teks Das Kapital. Semua dirangkai jadi satu tanpa ada cantolan jalan cerita.
Ada juga adegan-adegan puitis, seperti yang disebut oleh ahli filsafat F. Budi Hardiman, ketika Kluge menampilkan adegan seorang perempuan yang berjalan di trotoar. Kluge lantas menyorot segala benda yang ada di sekitar dan memberi penjelasan sejarah setiap benda yang ada di sekitar perempuan itu. Misalnya kunci pintu, gerendel, dan intercom apartemen. "Ada sejarah pembentukan nilai tambah di balik benda-benda remeh yang kita temukan tiap hari," kata Budi.
Saking panjangnya film dokumenter yang dibuat Kluge, tim kurator Arkipel memotong film jadi empat bagian. Pemutaran digelar selama dua hari. Jumat dua bagian pertama dan Sabtu dua bagian terakhir. Akbar mengatakan pemotongan seperti itu tak akan mengurangi nilai artistik film. Menonton dari awal ataupun di tengah-tengah tak ada bedanya lantaran setiap bagian film dapat berdiri sendiri. Tapi pemutaran film Kluge tak banyak menarik peminat. Pada hari pertama pemutaran, hadirin yang bertandang ke auditorium GoetheHaus tak sampai 20 orang. Bandingkan dengan total kapasitas ruangan yang mencapai 300 orang.
Ananda Badudu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo