Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Dengan medali, menggendong gitar

Gordon tobing, seniman penyanyi rakyat, sudah menyanyi kelima benua. tidak mau menyanyi di bar, merasa kecewa pada pemerintah yang kurang menghargai seniman. ia membentuk vocal grup "impala".

15 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM usia 55 tahun, Gordon Tobing, tak banyak berubah. Seniman penyanyi lagu-lagu rakyat kawakan ini, masih tetap kekar. Bobotnya 73 kilogram dan suaranya masih saja lantang. Tanggal 26 Oktober yang lalu ia tampil dalam acara Musik Malam Minggu TVRI bersama istrinya --Theresia Hutabarat -- beserta putranya -- Enrico. "Supaya penggemar tahu, Gordon masih hidup dan sehat walafiat," komentarnya pada TEMPO . Ia sudah sempat melanglang buana ke lima benua, membawakan lagu-lagu rakyat Indonesia. Toh hidupnya masih sederhana. Hanya menempati sebuah rumah kecil yang memanjang 3 x 15 meter di sebuah gang di Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Itu pun bukan milik pribadi, tapi milik sang mertua. Ia mengaku hanya ikut memperbaiki dan memoles bagian rumah yang rusak. "Saya memang tak punya apa-apa," katanya polos. Fidel Castro Lelaki ini adalah anak kedua dari empat putra-putri keluarga Romulus Lumban tobing, kampiun lagu keroncong seSumatera Utara sekitar 1925-1937 . Lahir di Medan tahun 1925 dalam rumah yang bergelimang lagu-lagu gereja, karena baik ayah maupun kakeknya adalah aktivis gereja. Seluruh anggota keluarga sejak bayi seakan-akan sudah disiapkan untuk mencintai musik. Kakaknya Nelson serta kedua adiknya, Douglas dan Rosita, semua pintar menyanyi. "Hingga sekarang, kalau kami ngumpul, satusatunya hiburan yang khas bagi kami adalah tarik suara dengan piano dan gitar," kata Gordon. Pada 1950, Gordon menginjak Jakarta untuk pertama kalinya. Waktu itu ia masih bekerja di Pusat Perfilman Nasional. Setahun kemudian ia masuk RRI. Di tempat terakhir ini ia menumpahkan seluruh bakatnya. Pada 1953 ia mendapat kesempatan untuk pertama kalinya ke luar negeri, mewakili Indonesia ke Pekan Pemuda di Bukares untuk menampilkan lagu-lagu rakyat (folklore). Kembali dari Bukares, namanya jadi populer. Ini merupakan modal utamanya untuk memetik putri bungsu tuan rumah tempatnya indekos. Kebetulan memang masih ada hubungan famili. "Ketika pulang dari Bukares. saya aktif melatih menyanyi keempat putri tuan rumah saya," kata Gordon mengenangkan. Tiga dari putri itu kemudian menikah, sehingga tinggal si bungsu Theresia. "Saya sudah lama perhatikan dia. Banyak kecocokan kami. Dia pintar masak dan suka mendekor rumah, akhirnya saya putuskan menikahinya," kata Gordon sambil tertawa. Setelah menikah, nafsu menyanyi Gordon makin berkobar. Ia membenruk vokal grup "Tapian Riko Nauli" pada 1958. Dua tahun kemudian, 1960, barulah lahir Impola, yang berarti yang terbaik allas Jempolan. la bersama Istrinya serta penyanyi Koes Hendratmo, menjadi pimpinan. Koes kini tidak aktif lagi karena beragai kesibukan. Tinggal Gordon dan Istrinya. Dengan grup inilah Gordon mewakili Indonesia ke berbagai negara. Bermacam kenang-kenangan ia terima medali dari Pangeran Norodom Sihanouk, gitar dari Fidel Castro, gitar dari Kementerian P & K Jerman Barat. "Saya sedih gitar dari Fidel Castro pecah, mungkin karena perubahan temperatur, padahal suaranya bukan main," kata Gordon menyesal. Selain menyanyi, untuk menyumbat mulut dapurnya, Gordon mengajar menyanyi di beberapa instansi pemerinuh, seperti Polri, Bayangkari, BI, BDNI, BBD dan sebagainya. Jadwalnya setiap hari padat dari pagi hingga sore. Dari satu tempat kadangkala ia memperoleh antara Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu per bulan. Dikumpul-kumpul lumayanlah. Apalagi sesekali ada panggilan darl istana untuk menghibur tamu negara atau mengisi acara-acara khusus. "Saya tak mau dikontrak nyanyi di hotel dan di bar-bar. Saya hanya mau nyanyi di panggung dengan penonton yang memang datang untuk mendengarkan saya, itu prinsip saya," kata Gordon. Jika mau menyanyi di bar atau restoran sebenarnya tawaran sudah banyak. Peluang untuk kaya juga ada. Bayangkan pernah ada produser yang mau membayarnya Rp 10 juta, tapi ia tolak. Soalnya produser itu mau menentukan lagu-lagu apa yang harus dinyanyikan. "Untuk prinsip saya angkuh, terserah apa kata orang," katanya dengan suara lantang, seperti kalau menyanyi. Gordon mengaku akan tetap mempertahankan prinsipnya itu. Ia ingin hidup dari musik dan berbakti kepada negara lewat musik. "Meskipun hingga kini saya belum dapat apa-apa," katanya lebih lanjut. "Yang penting saya sehat dan bisa latihan setiap hari dengan istri." Dalam berlatih, Gordon punya cara tersendiri. Tidak selamanya diikuti dengan menyanyikan lirik. Kadang kala cukup nadanya saja, untuk menjaga kelenturan urat leher. Sedangkan dalam mencipta lagu ia pun punya patokan-patokan. Yang jelas bukan sekedar lagu yang bisa komersial. Puluhan lagu telah diciptakannya, tapi tidak dilemparkan ke pasaran. "Buat istri dan keluarga saya. Saya dokumentir, nanti mungkin berguna untuk keluarga saya, jika saya sudah tiada." ujarnya. Enrico, putra Gordon satu-satunya kini sudah berusia 22 tahun, masih berkuliah di Fakultas Hukum UI tingkat II. Tubuhnya kekar seperti Gordon. Anak muda ini juga mengikuti jejak orangtua nya, menyanyi. "Saya tidak melarang dia menyanyi, tapi untuk masa depan, sekolah harus selesai dulu," kata Gordon. Anak yang sempat dijuluki "Heince Indonesia" ini kelak akan dibiarkannya memilih masa depan sendiri. "Anak sekarang bisa diarahkan, tetapi pantang didikte," kata Gordon. Bicara tentang penghargaan pemerintah kepada para seniman, Gordon tampak kecewa. Dengan murung ia menyebut Almarhum Sam Saimun, Bing Slamet, Iskandar dan yang baru saja meninggal Aedy Moward. Yang terakhir adalah teman baiknya. Ia hampir berlinang air mata ketika menyebut nama itu. "Saya ingin pemerintah mulai memikirkan lebih serius nasib seniman yang miskin," ujarnya, "kami tidak minta apa-apa, tapi hargailah kami, itu saja cukup." Caranya? "Ya, buatlah sebuah gedung yang menamphng khusus kegiatan seni, seperti Bolshoi di Moskow. Perdengarkanlah karyanya pada setiap ulang tahunnya dengan orkestra yang lengkap," ujarnya. Lalu ia membeberkan bagaimana ia telah meninggalkan suaranya di berbagai negara yang sudah dikunjunginya. Orang luar memandangnya hebat, tetapi bertolak-belakang dengan keadaan ekonominya yang serba pas-pasan. Pernah seorang tamu luar negeri menanyakan mobil apa yang dipakainya. Gordon menjawab, "Mercedes panjang." Maksudnya bis kota. Sekarang ini di tangan Gordon sedang tergenggam sepucuk undangan dari Austria: mengundang Gordon dengan Impolanya untuk mengikuti festival lagu-lagu rakyat sedunia di Kota Krems ad Donau (Austria) 2 - 7 September 1981. "Saya antusias sekali ikut, tapi undangan hanya menyediakan akomodasi selama di sana, sedang tiket bayar sendiri, dari mana saya dapat duit?" keluh Gordon. Padahal festival yang akan dihadiri oleh 220 ribu penggemar lagu rakyat itu kelihatannya cukup berwibawa. "Mungkin mereka di sana mengira saya sudah jutawan, karena pernah melihat pertunjukan saya," kata Gordon menambahkan. Untuk kepentingan festival tersebut Gordon kini sedang mencari sponsor. Jika tak berhasil, ia mungkin akan membuat pertunjukan untuk mengumpulkan dana secara mati-matian. Untuk masa tuanya ia membayangkan: Saya ingin punya rumah luas dengan taman-taman. Ada piano, listrik dan sebagainya. Tetapi saya anggap khayal. Khayal. Terkadang semua itu jadi melodi buat saya dan dari situ tercipta sebuah lagu... "

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus