DALAM usia 55 tahun, Gordon Tobing, tak banyak berubah.
Seniman penyanyi lagu-lagu rakyat kawakan ini, masih tetap
kekar. Bobotnya 73 kilogram dan suaranya masih saja lantang.
Tanggal 26 Oktober yang lalu ia tampil dalam acara Musik Malam
Minggu TVRI bersama istrinya --Theresia Hutabarat -- beserta
putranya -- Enrico. "Supaya penggemar tahu, Gordon masih hidup
dan sehat walafiat," komentarnya pada TEMPO .
Ia sudah sempat melanglang buana ke lima benua, membawakan
lagu-lagu rakyat Indonesia. Toh hidupnya masih sederhana. Hanya
menempati sebuah rumah kecil yang memanjang 3 x 15 meter di
sebuah gang di Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Itu pun bukan milik
pribadi, tapi milik sang mertua. Ia mengaku hanya ikut
memperbaiki dan memoles bagian rumah yang rusak. "Saya memang
tak punya apa-apa," katanya polos.
Fidel Castro
Lelaki ini adalah anak kedua dari empat putra-putri keluarga
Romulus Lumban tobing, kampiun lagu keroncong seSumatera Utara
sekitar 1925-1937 . Lahir di Medan tahun 1925 dalam rumah yang
bergelimang lagu-lagu gereja, karena baik ayah maupun kakeknya
adalah aktivis gereja. Seluruh anggota keluarga sejak bayi
seakan-akan sudah disiapkan untuk mencintai musik. Kakaknya
Nelson serta kedua adiknya, Douglas dan Rosita, semua pintar
menyanyi. "Hingga sekarang, kalau kami ngumpul, satusatunya
hiburan yang khas bagi kami adalah tarik suara dengan piano dan
gitar," kata Gordon.
Pada 1950, Gordon menginjak Jakarta untuk pertama kalinya.
Waktu itu ia masih bekerja di Pusat Perfilman Nasional. Setahun
kemudian ia masuk RRI. Di tempat terakhir ini ia menumpahkan
seluruh bakatnya. Pada 1953 ia mendapat kesempatan untuk pertama
kalinya ke luar negeri, mewakili Indonesia ke Pekan Pemuda di
Bukares untuk menampilkan lagu-lagu rakyat (folklore).
Kembali dari Bukares, namanya jadi populer. Ini merupakan
modal utamanya untuk memetik putri bungsu tuan rumah tempatnya
indekos. Kebetulan memang masih ada hubungan famili. "Ketika
pulang dari Bukares. saya aktif melatih menyanyi keempat putri
tuan rumah saya," kata Gordon mengenangkan. Tiga dari putri itu
kemudian menikah, sehingga tinggal si bungsu Theresia. "Saya
sudah lama perhatikan dia. Banyak kecocokan kami. Dia pintar
masak dan suka mendekor rumah, akhirnya saya putuskan
menikahinya," kata Gordon sambil tertawa.
Setelah menikah, nafsu menyanyi Gordon makin berkobar. Ia
membenruk vokal grup "Tapian Riko Nauli" pada 1958. Dua tahun
kemudian, 1960, barulah lahir Impola, yang berarti yang terbaik
allas Jempolan. la bersama Istrinya serta penyanyi Koes
Hendratmo, menjadi pimpinan. Koes kini tidak aktif lagi karena
beragai kesibukan. Tinggal Gordon dan Istrinya. Dengan grup
inilah Gordon mewakili Indonesia ke berbagai negara. Bermacam
kenang-kenangan ia terima medali dari Pangeran Norodom Sihanouk,
gitar dari Fidel Castro, gitar dari Kementerian P & K Jerman
Barat. "Saya sedih gitar dari Fidel Castro pecah, mungkin karena
perubahan temperatur, padahal suaranya bukan main," kata Gordon
menyesal.
Selain menyanyi, untuk menyumbat mulut dapurnya, Gordon
mengajar menyanyi di beberapa instansi pemerinuh, seperti Polri,
Bayangkari, BI, BDNI, BBD dan sebagainya. Jadwalnya setiap hari
padat dari pagi hingga sore. Dari satu tempat kadangkala ia
memperoleh antara Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu per bulan.
Dikumpul-kumpul lumayanlah. Apalagi sesekali ada panggilan darl
istana untuk menghibur tamu negara atau mengisi acara-acara
khusus.
"Saya tak mau dikontrak nyanyi di hotel dan di bar-bar. Saya
hanya mau nyanyi di panggung dengan penonton yang memang datang
untuk mendengarkan saya, itu prinsip saya," kata Gordon. Jika
mau menyanyi di bar atau restoran sebenarnya tawaran sudah
banyak. Peluang untuk kaya juga ada. Bayangkan pernah ada
produser yang mau membayarnya Rp 10 juta, tapi ia tolak. Soalnya
produser itu mau menentukan lagu-lagu apa yang harus
dinyanyikan. "Untuk prinsip saya angkuh, terserah apa kata
orang," katanya dengan suara lantang, seperti kalau menyanyi.
Gordon mengaku akan tetap mempertahankan prinsipnya itu. Ia
ingin hidup dari musik dan berbakti kepada negara lewat musik.
"Meskipun hingga kini saya belum dapat apa-apa," katanya lebih
lanjut. "Yang penting saya sehat dan bisa latihan setiap hari
dengan istri."
Dalam berlatih, Gordon punya cara tersendiri. Tidak selamanya
diikuti dengan menyanyikan lirik. Kadang kala cukup nadanya
saja, untuk menjaga kelenturan urat leher. Sedangkan dalam
mencipta lagu ia pun punya patokan-patokan. Yang jelas bukan
sekedar lagu yang bisa komersial. Puluhan lagu telah
diciptakannya, tapi tidak dilemparkan ke pasaran. "Buat istri
dan keluarga saya. Saya dokumentir, nanti mungkin berguna untuk
keluarga saya, jika saya sudah tiada." ujarnya.
Enrico, putra Gordon satu-satunya kini sudah berusia 22
tahun, masih berkuliah di Fakultas Hukum UI tingkat II. Tubuhnya
kekar seperti Gordon. Anak muda ini juga mengikuti jejak
orangtua nya, menyanyi. "Saya tidak melarang dia menyanyi, tapi
untuk masa depan, sekolah harus selesai dulu," kata Gordon. Anak
yang sempat dijuluki "Heince Indonesia" ini kelak akan
dibiarkannya memilih masa depan sendiri. "Anak sekarang bisa
diarahkan, tetapi pantang didikte," kata Gordon.
Bicara tentang penghargaan pemerintah kepada para seniman,
Gordon tampak kecewa. Dengan murung ia menyebut Almarhum Sam
Saimun, Bing Slamet, Iskandar dan yang baru saja meninggal Aedy
Moward. Yang terakhir adalah teman baiknya. Ia hampir berlinang
air mata ketika menyebut nama itu. "Saya ingin pemerintah mulai
memikirkan lebih serius nasib seniman yang miskin," ujarnya,
"kami tidak minta apa-apa, tapi hargailah kami, itu saja cukup."
Caranya? "Ya, buatlah sebuah gedung yang menamphng khusus
kegiatan seni, seperti Bolshoi di Moskow. Perdengarkanlah
karyanya pada setiap ulang tahunnya dengan orkestra yang
lengkap," ujarnya.
Lalu ia membeberkan bagaimana ia telah meninggalkan suaranya
di berbagai negara yang sudah dikunjunginya. Orang luar
memandangnya hebat, tetapi bertolak-belakang dengan keadaan
ekonominya yang serba pas-pasan. Pernah seorang tamu luar negeri
menanyakan mobil apa yang dipakainya. Gordon menjawab, "Mercedes
panjang." Maksudnya bis kota.
Sekarang ini di tangan Gordon sedang tergenggam sepucuk
undangan dari Austria: mengundang Gordon dengan Impolanya untuk
mengikuti festival lagu-lagu rakyat sedunia di Kota Krems ad
Donau (Austria) 2 - 7 September 1981. "Saya antusias sekali
ikut, tapi undangan hanya menyediakan akomodasi selama di sana,
sedang tiket bayar sendiri, dari mana saya dapat duit?" keluh
Gordon. Padahal festival yang akan dihadiri oleh 220 ribu
penggemar lagu rakyat itu kelihatannya cukup berwibawa. "Mungkin
mereka di sana mengira saya sudah jutawan, karena pernah melihat
pertunjukan saya," kata Gordon menambahkan.
Untuk kepentingan festival tersebut Gordon kini sedang
mencari sponsor. Jika tak berhasil, ia mungkin akan membuat
pertunjukan untuk mengumpulkan dana secara mati-matian.
Untuk masa tuanya ia membayangkan: Saya ingin punya rumah
luas dengan taman-taman. Ada piano, listrik dan sebagainya.
Tetapi saya anggap khayal. Khayal. Terkadang semua itu jadi
melodi buat saya dan dari situ tercipta sebuah lagu... "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini